Sabar atau derana adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh.[1] Sabar merupakan kemampuan mengendalikan diri yang juga dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya.[2] Semakin tinggi tingkat kesabaran yang dimiliki seseorang maka semakin kokoh juga ia dalam menghadapi segala macam masalah yang terjadi dalam kehidupan.[2] Sabar juga sering dikaitkan dengan tingkah laku positif yang ditonjolkan oleh individu atau seseorang.[2]
Dalam sebuah pernyataan pendek, dikatakan bahwa sabar itu "...seperti namanya, adalah sesuatu yang pahit dirasakan, tetapi hasilnya lebih manis daripada madu."[3]
Pandangan agama
Islam
Salah satu dalil tentang kesabaran menurut Islam adalah dalam Qur'an, sungguh Allah Berfirman: "Bersabarlah kalian. Sungguh Allah bersama orang-orang yang sabar."[4] Dalil ini menunjukkan bahwa sabar itu wajib. Dalam hal ini, seseorang menahan diri dari segala ujian yang menimpanya dan itu dianggap berat olehnya; tapi dengan dia menahan diri dengan jalan bersabar, maka dia menjauhkan dirinya dari kemarahan terhadap segala yang menimpanya demi menjaga keimanannya.[3]
Keutamaan Sabar (Al-Hilm)
Ketahuilah, bersabar lebih utama daripada menahan marah. Sebab menahan marah berarti memaksa diri untuk bersabar—dan inilah yang dibutuhkan oleh orang yang sedang berkobar marahnya. Namun, apabila seseorang terbiasa menahan marah, marahnya tidak lagi mudah berkobar. Apabila kembali berkobar, ia tidak lagi kesulitan untuk memadamkannya. Itulah yang dinamakan al-biln kesabaran. Sifat ini adalah indikasi kesempurnaan nalar seseorang dan tunduknya sifat marah pada nalar.[5]
Rasulullah Saw. bersabda, "Carilah kedudukan yang tinggi di Sisi Allah." Para sahabat lantas bertanya, "Bagaimana caranya, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Sambunglah silaturrahim dengan orang yang memutuskanmu, bersedekahlah kepada orang yang tidak mau memberimu, dan bersabarlah terhadap orang yang berlaku buruk kepadamu."17 Allah berfirman, Jadilah orang-orang rabani (rabbäniyyin) (QS Ali 'Imran: 79). Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan rabbåniyyin adalah orang-orang alim yang penyabar. Allah juga berfirman, Apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (yaitu hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih, dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan "salam" (QS Al-Furqän [25]: 63). Mengenai ayat ini, diriwayatkan dari Hasan bahwa apabila orang-orang penyabar diperlakukan dengan buruk, mereka tidak membalasnya dengan keburukan. Mengenai firman Allah yang berbunyi, Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati ... (QS Al-Furqan: 63), Atha' bin Abi Rabah mengatakan' mereka adalah orang-orang yang penyabar.[5]
Ibnu Abi Hubaib mengatakan, "Kata kahlan dalam Surah Ali lmran ayat 46 berarti orang yang sangat penyabar. Allah berfirman, Apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya. Menurut Mujahid, maknanya adalah apabila disakiti, mereka memaafkan dengan lapang dada. Rasulullah Saw. juga pernah bersabda kepada seorang sahabat yang bernama Asyaj, "Wahai Asyaj,18 sesungguhnya di dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya." Asyaj bertanya, "Demi ibu dan bapakku ya Rasulullah, dua sifat apakah itu? Beliau menjawab, "Kesabaran dan kehati-hatian. "19 Dalam riwayat Abu Dawud terdapat tambahan, "Apakah dua sifat itu adalah akhlak yang aku usahakan atau keduanya adalah dua akhlak yang telah Allah tetapkan pada diriku?" Rasulullah menjawab, "Keduanya adalah dua akhlak yang Allah tetapkan pada dirimu." Asyaj berkata, "Segala puji hanya milik Allah yang telah menetapkan pada diriku dua sifat yang dicintai oleh-Nya dan Rasul-Nya."[5]
Sayyidina Ali karramallâhu wajhah wa radhiyallâhu 'anhu mengatakan, "Kebaikan bukanlah banyaknya harta dan anakmu. Akan tetapi, kebaikan adalah apabila melimpah ilmumu, melimpah kesabaranmu, dan engkau tidak membanggakan ibadahmu kepada orang lain; apabila engkau berbuat baik, engkau memuji Allah; dan apabila engkau berbuat salah, engkau meminta ampun kepadaNya." Uktsum bin Shaifi mengatakan, "Penopang akal adalah kesabaran; pengumpul segala kebaikan juga kesabaran."
Ali karramallâhu wajhah juga mengatakan, "Ganjaran pertama yang diberikan kepada orang sabar atas kesabarannya adalah semua orang menjadi penolongnya atas (perilaku) orang-orang bodoh." Sebagian orang mengatakan, "Aku pernah mencaci seseorang dari Basrah. Tetapi orang itu justru berbuat baik kepadaku, lalu menjadikanku pembantunya selama beberapa waktu."[5]
Arabah bin Aus pernah ditanya, "Bagaimana engkau memimpin kaummu?" Arabah menjawab, "Aku berlaku sabar kepada orang yang bodoh, berlaku dermawan kepada orang yang dan berusaha memenuhi semua kebutuhan mereka. Siapa yang berlaku sepertiku, maka ia sepadan denganku. Siapa yang berbuat lebih baik, ia lebih utama daripada aku. Dan siapa yang berbuat lebih buruk berarti aku lebih baik daripada dia." Pernah ada seseorang mencaci Ibnu Abbas r.a. Ketika orang itu sudah selesai mencaci, Ibnu Abbas berkata (kepada pembantunya), "Wahai Ikrimah. Apakah orang itu (yang mencaci) memerlukan sesuatu yang bisa kita bantu?" Orang itu langsung menundukkan kepala menanggung malu. Ali bin Husain bin Ali pun pernah dicaci orang. Ali bin Husain lantas memberikan baju hitam yang dipakainya kepada orang itu dan ia memerintahkan agar orang itu diberi uang sebesar seribu dirham. Sebagian orang mengatakan, "Terkumpul pada diri beliau (Ali bin Husain) lima hal, yaitu bersabar, tidak mengganggu orang, menyelamatkan orang dari hal-hal yang menjauhkannya dari Allah, menghantarkannya untuk menyesal dan bertobat, dan berbaliknya ia dari mencaci menjadi memuji. Semua itu ia beli dengan sedikit dunia."[5]
Seseorang pernah mengadu kepada Ja'far bin Muhammad, "Aku mempunyai perselisihan dengan suatu kaum. Aku sebenarnya ingin meninggalkan perselisihan itu, tetapi aku khawatir dikatakan bahwa tindakanku adalah suatu kehinaan." Ja'far lalu mengatakall "Sesungguhnya orang yang hina adalah orang yang zalim. Nabi Isa a.s. pernah melewati sekumpulan orang Yahudi• Mereka lantas berkata tidak baik kepadanya, tetapi ia membalasnya dengan perkataan yang baik. Nabi Isa pun ditanya, "Mereka mengatakan hal-hal yang buruk kepadamu, tetapi engkau mengatakan yang baik-baik kepada mereka!?" Nabi Isa menjelaskan, "SetiaP orang mengeluarkan apa yang dimilikinya." Seorang lelaki memukul kul kaki seorang bijak dan membuatnya terluka, tetapi orang bijak itu tidak marah. Ada yang bertanya tentang sikapnya itu. Lantas ia menjelaskan, "Aku menganggapnya sebagai batu dan aku tersandung dia. Lalu, aku membuang kemarahanku."[5]
Ketahuilah. Penggunjingan tidak boleh dibalas dengan penggunjingan; tindakan memata-matai juga tidak diboleh dibalas dengan memata-matai; penghinaan pun tidak boleh dibalas dengan penghinaan. Yang boleh dibalas secara sepadan hanyalah soal qisas dan utang-piutang, tetapi sesuai dengan ketentuan syariat. Rasulullah Saw. bersabda, "Apabila seseorang membuka aib yang ada pada dirinya."[5]
Referensi
- ^ "Konsep Sabar". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-27. Diakses tanggal 2014-05-27.
- ^ a b c "Kesabaran" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2014-05-27.
- ^ a b Al-Juraisy, Khalid; Thalib, Ustadz Muhammad (penerjemah) (Rajab 1424 H/September 2003 M, Cetakan Pertama). Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Sunci: Tauhid, Syirik, Kufur & Bid'ah. hal.48. Yogyakarta:Media Hidayah.
- ^ Qur'an. Surah al-Anfal (8): 46.
- ^ a b c d e f g Ringkasan Ihya Ulumiddin. Jakarta: Noura Books. 2022. ISBN 978-623-242-293-3.