Jalur LRT Bukit Panjang (bahasa Inggris: Bukit Panjang LRT line; disingkat BPLRT) merupakan jalur LRT di Kota Bukit Panjang, Singapura. Jalur ini merupakan satu-satunya jalur LRT Singapura yang dioperasikan oleh SMRT Trains. Jalur ini melayani setidaknya 13 stasiun yang berada di daerah antara Bukit Panjang dengan Choa Chu Kang.
Jalur LRT Bukit Panjang merupakan jalur LRT pertama yang dioperasikan di Singapura. Jalur ini diresmikan pada tanggal 6 November 1991 oleh Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Singapura, Tony Tan.[a] Sistem pengangkut orang otomatis (APM) ini sepenuhnya berada di jalur layang. Layanan ini menggunakan sarana perkeretaapian Innovia APM 100 C801 dan C801A produksi Bombardier yang dijalankan dengan formasi dua unit kereta setiap rangkaian.
Sejarah
Rencana LRT Bukit Panjang pertama kali diusulkan tahun 1991. Pada tahun 1994, Pemerintah Singapura secara resmi memutuskan sistem LRT akan diujicobakan di kota tersebut. Konstruksinya sendiri secara resmi dimulai pada tahun 1996. Sistem LRT ini memiliki beberapa hal yang membedakan dari sistem MRT, yaitu:
Jalur ini merupakan jalur yang pertama kali mengoperasikan kereta otomatis tanpa pengemudi.[b]
Memiliki 13 stasiun yang membentuk jalur looping di Bukit Panjang.
Terdapat pengembangan terintegrasi di Stasiun Ten Mile Junction, dimana stasiun tersebut juga berfungsi sebagai depo dan pusat perbelanjaan. Namun, stasiun tersebut telah ditutup permanen sejak tahun 2019.[c]
Menurut Low Seow Chay, perencanaan LRT harus dibangun layang untuk menghindari masalah keselamatan sistem trem yang memotong jalur jalan serta menghindari halangan perpotongan jalur dengan KTM. Mengingat kembali kemacetan lalu lintas yang parah di persimpangan Jalan Woodlands dengan Jalan Choa Chu Kang selama awal dekade 90-an, ia juga menjelaskan bahwa, "Penduduk Bukit Panjang kesulitan meraih akses menuju Stasiun MRT Choa Chu Kang dan terminal bus dan termasuk akses menuju kota karena arus lalu lintas yang sangat buruk." Setelah itu, Jalan Tol Kranji dibuka tahun 1994 yang mengurai sebagian kepadatan arus lalu lintas serta menyelesaikan masalah tersebut. Low Seow Chay juga mengusulkan adanya viaduk yang dikhususkan untuk bus untuk mengurai kemacetan, namun usulan tersebut ditolak karena LRT merupakan pilihan utama saat itu.
Pada tahun 1994 juga, Menteri Transportasi Mah Bow Tan mengatakan kepada parlemen tentang perlunya transportasi umum yang "efisien dan terjangkau" serta potensi LRT sebagai layanan pengumpan internal sedang dikaji. Ada maksud lain dari pengoperasian LRT yaitu untuk menggantikan bus-bus pengumpan. Saat ini, masyarakat sekitar telah memiliki LRT Bukit Panjang dengan rute bus pengumpan yang lebih sedikit.
Pada 5 Agustus 1997, Otoritas Angkutan Darat telah memberikan izin kepada SMRT Trains untuk mengoperasikan jalur ini karena telah berpengalaman mengoperasikan jalur MRT.[2]
Pada tanggal 10 Desember 2010, Stasiun Ten Mile Junction ditutup hingga 30 Desember 2011 karena proses perkuatan stasiun. Pada tanggal 13 Januari 2019, stasiun ini ditutup yang menjadikannya stasiun kereta pertama di Singapura yang ditutup permanen. Karena penutupan stasiun tersebut, rute C yang beroperasi mulai dari Stasiun Ten Mile Junction menuju jalur loop melalui Stasiun Senja juga diberhentikan pengoperasiannya.
Rute
Di jalur ini terdapat dua rute yang berbeda, yakni rute A dan rute B. Keduanya berterminus di Stasiun Choa Chu Kang.
Rute memutar dari dan menuju Stasiun Ten Mile Junction Berjalan searah jarum jam
Stasiun
Jalur ini memiliki total 14 stasiun dengan 13 stasiun yang beroperasi. Semua stasiun kecuali Stasiun Choa Chu Kang memiliki dua peron sisi di sebelah kiri dan kanan rel. Sementara itu, Stasiun Choa Chu Kang memiliki peron pulau seperti kebanyakan stasiun di layanan MRT Singapura. Semua stasiun di jalur ini memiliki pintu peron agak tinggi yang dipasang antara tahun 2016 dan 2017. Stasiun Choa Chu Kang saat ini memiliki dua peron tambahan serta satu set gerbang tiket baru untuk mengurangi kepadatan pada saat jam sibuk.
Ditutup permanen sejak 13 Januari 2019[c] Depo LRT
Armada
Layanan LRT ini menggunakan rangkaian Bombardier Innovia APM 100, serupa dengan armada yang digunakan Kalayang Bandara Changi hingga 2006. Kereta tersebut dibagi menjadi dua kode yaitu C801 dan C801A. Rangkaian dengan kode C801 telah beroperasi sejak dibukanya layanan ini pada tahun 1999, sementara rangkaian dengan kode C801A mulai dikirim dan beroperasi tahun 2014. Setiap unit kereta memiliki panjang 12,8 meter.
Formasi kereta
Sejak 2015, kebanyakan rangkaian disusun atas dua kereta di setiap rangkaian (M-M). Saat ini, formasi dua kereta di setiap rangkaian tidak lagi digunakan pada jam sibuk saja, namun juga pada pengoperasian normal. Hal ini disebabkan bertambahnya okupansi penumpang dan banyaknya apartemen di sekitar Bukit Panjang. Jumlah kereta dibatasi maksimal dua kereta setiap rangkaian mengingat keadaan panjang stasiun yang kurang mencukupi untuk dilayani rangkaian dengan jumlah kereta lebih dari itu.
Penggandengan kereta biasanya dilakukan di depot Ten Mile Junction. Penggandengan ini biasanya dilakukan untuk kereta dengan kode yang sama, contohnya C801 dengan C801 dan C801A dengan C801A. Terkadang, kedua kereta dengan kode berbeda digabungkan karena alasan penyelamatan ataupun pengujian.
Kendali kereta
Layanan ini menggunakan sistem persinyalan blok tetap Bombardier CITYFLO 550 untuk kontrol kereta otomatis (ATC) di bawah operasi kereta otomatis (ATO) GoA 4 (UTO).[3] Subsistem pengendalian kereta terdiri atas proteksi kereta otomatis (ATP) untuk mengatur kecepatan kereta, pengawasan kereta otomatis (ATS) untuk melacak lokasi dan menjadwalkan kereta, serta sistem interlocking berbasis komputer (CBI) untuk mencegah kesalahan pengaturan sinyal dan track points.
Insiden
Sebuah kereta LRT dengan 20 penumpang menabrak kereta kosng di Stasiun Phoenix pada tanggal 19 November 2000 setelah seorang petugas operasi gagal melakukan pemeriksaan jalur secara manual sebelum memulai kembali sistem jaringan. Akibatnya seluruh penumpang yang berdiri maupun duduk terjatuh ke lantai kereta dan menyebabkan lima korban luka-luka. Layanan terganggu selama tujuh jam dan diperbaiki secara bertahap. Layanan dapat berfungsi penuh kembali pada pukul 14.30 hari yang sama. Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Yeo Cheow Tong kemudian mengunjungi tempat kejadian setelah diberitahu tentang hal tersebut. Penyebab utama dari kecelakaan tersebut masih belum terungkap hingga saat ini.[4]
Pada jam sibuk malam hari tanggal 9 Maret 2015, pengoperasian LRT Bukit Panjang dihentikan selama 24 jam. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kebakaran di Stasiun Senja. Kebakaran tersebut disebabkan adanya lonjakan arus listrik secara tiba-tiba. Kotak sekring gagal mengaktifkan prosedur keamanan untuk menangani lonjakan arus tersebut dan malah terbakar. Masalah tersebut diidentifikasikan sebagai sebuah masalah busur api yang menyebabkan arus listrik naik secara tiba-tiba. Namun, penyebab bagaimana mulainya kebakaran tersebut masih belum terungkap hingga saat ini.[5]
Pada dini hari tanggal 28 Juli 2016, sebuah kereta seperti biasa berangkat dari Stasiun Segar menuju Stasiun Jelapang di Rute B. Namun, kereta tersebut tidak dapat berhenti dan malah melaju melintasi Stasiun Jelapang, Senja, serta Bukit Panjang. Salah satu penumpang mengatakan bahwa tombol berhenti darurat (emergency stop) tidak berfungsi serta tidak ada respon di telepon darurat. Menurut seorang penumpang, kereta akhirnya berhenti sebelum stasiun Phoenix setelah penumpang lain berhasil melakukan panggilan melalui ponselnya. Penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa kereta memiliki kerusakan di bagian antena yang mengakibatkan pihak stasiun tidak dapat menerima informasi tentang kereta. Hal inilah yang menyebabkan kereta tidak dapat berhenti di stasiun.[6][7]
Pada dini hari tanggal 24 Maret 2017, seorang pria tewas dalam kecelakaan kereta setelah kereta terakhir meninggalkan Stasiun Fajar. Penduduk melaporkan tidak ada yang aneh pada waktu kejadian, sementara jasad tersebut ditemukan ketika seorang staf naik ke lantai peron untuk pemeriksaan rutin. The Straits Times mengatakan bahwa sebelumnya juga terdapat dua kasus kecelakaan yang terjadi di sepanjang jalur tersebut. Pada tahun 2000, See Chau Lai, seorang asisten hawker, meninggal setelah ia tertabrak oleh kereta api di dekat Stasiun LRT Jelapang. Sebuah pemeriksaan koroner menemukan bahwa dia berjalan di sepanjang rel setelah terlalu banyak minum minuman keras. Kejadian ini merupakan kejadian yang memakan korban jiwa pertama setelah jalur LRT ini pertama kali dibuka. Pada tahun 2010, seorang teknisi LRT bernama Chia Teck Heng meninggal karena luka yang dideritanya setelah ditabrak oleh kereta api di Stasiun LRT Phoenix. Saat itu, teknisi tersebut sedang memeriksa rel ketiga (rel aliran listrik) antara stasiun Phoenix dan Bukit Panjang.[8]
Pengembangan lanjutan
SMRT dan Otoritas Angkutan Darat (LTA) telah mengumumkan rencana untuk merombak keseluruhan sistem BPLRT karena umur layanan yang sudah mencapai 20 tahun. Salah satu alasan perombakan sistem karena layanan yang telah mengalami beberapa masalah sejak pertama kali dioperasikan pada tahun 1999. Selain itu, juga karena jalur ini merupakan salah satu dari dua sistem di dunia yang masih menggunakan kereta jenis CX-100 (dimana kebanyakan lainnya menggunakan Miami MetroMover).[9] Mulai 8 Maret 2017, LRT Bukit Panjang akan ditingkatkan menjadi sistem LRT konvensional baru meliputi catu daya, persinyalan, sarana perkeretaapian, rel, stasiun, serta pembaruan dan peningkatan sistem persinyalan. Proses peningkatan ini juga menghindari pembongkaran seluruh sistem atau mengubah sistem ke kendaraan berpemandu otomatis yang menggunakan tenaga sendiri. Hal itu dihindari karena akan menyebabkan kemacetan lalu lintas yang besar.[10]
Kontroversi
Pada 12 September 2017, Menteri Perhubungan Khaw Boon Wan berpidato pada acara memperingati selesainya proyek peningkatan rel listrik untuk jalur MRT NSEW berujar bahwa pembangunan LRT Bukit Panjang harus dijadikan "renungan" akibat tekanan politik.[11] Khaw Boon Wan mengatakan bahwa sistem layanan kereta dirancang dengan cara "masokis" yang memaksa penumpang untuk naik-turun dengan tikungan dan belokan. Ia juga membandingkan perjalanan LRT ini dengan roller coaster, mengatakan bahwa perjalanan tersebut menyebabkannya pusing.[12] Menurut seorang komentator, pidato tersebut menyiratkan bahwa pendahulunya Mah Bow Tan keliru dalam menyetujui sistem LRT. Ia juga menganggap Mah Bow Tan meremehkan pekerjaan dan kontribusi para insinyur perkeretaapian. Yang paling kritis, hal ini menyiratkan bahwa pemerintahan PAP telah menyerah pada tekanan politik dan menghabiskan ratusan juta dolar tanpa pertimbangan yang serius dan perencanaan yang matang.[13]