Pada tanggal 3 Juli 2003 sekitar jam 11:38, Military-Civil Coordination (MCC) di Bandara Ngurah Rai, Bali mendeteksi pergerakan tanpa izin dari sejumlah pesawat terbang di barat laut Pulau Bawean atau 66 mil laut (122 km; 76 mi) dari Surabaya.[2] Dalam pemantauan melalui radar, jumlah dari pesawat terbang tersebut berubah-ubah antara empat hingga sembilan unit. Ketinggian dari pesawat terbang tersebut juga berubah-ubah antara 15.000 kaki hingga 30.500 kaki dengan kecepatan hingga 450 knot. Pesawat terbang tersebut terkadang juga menghilang di radar dan kemudian muncul kembali.
Pada jam 15:00, awak dari satu unit Boeing 737-200 milik Bouraq Indonesia Airlines, yang sedang dalam perjalanan menuju Surabaya, pun melaporkan pergerakan dari pesawat terbang tersebut ke pemandu lalu lintas udara di Bali karena dirasa membahayakan. Laporan tersebut kemudian diteruskan ke Panglima Kohanudnas, Wresniwiro. TNI Angkatan Udara sebenarnya telah mendeteksi pergerakan tersebut dan juga menganggapnya sebagai pergerakan dari pesawat terbang tidak dikenal, karena tidak tercatat dalam laporan penerbangan manapun.[3][4][5][6][7]
Walaupun sebenarnya Pangkohanudnas berada di bawah kendali Panglima TNI, tetapi karena situasi saat itu membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat, KSAUChappy Hakim akhirnya menyetujui terlebih dahulu usulan dari Pangkohanudnas untuk mencegat pesawat terbang tersebut dan kemudian melaporkannya kepada Panglima TNI. Panglima Koopsau II, Teddy Sumarno lalu memerintahkan dua unit F-16 Fighting Falcon yang berada di Pangkalan Udara Iswahyudi, yakni dengan nomor ekor TS-1602 yang diawaki oleh Mohamad Tony Harjono dan M. Satrio Utomo dan TS-1603 yang diawaki oleh Ian Fuady dan Fajar Adriyanto, untuk mengidentifikasi pesawat terbang tersebut sambil menghindari konfrontasi dengan tidak melakukan penguncian radar.[4][7]
Setelah berada dalam jarak yang cukup dekat, F-16 berhasil mengidentifikasi pesawat terbang tersebut sebagai F/A-18 Hornet. Kemudian terjadi peperangan elektronik antara F-16 dan F/A-18. Dua unit F-16 pun memisahkan diri, sehingga dua unit F/A-18 akhirnya hanya melakukan penguncian radar terhadap satu unit F-16, yang kemudian melawannya dengan mengaktifkan penangkal elektronik. Dua unit F/A-18 tersebut sebenarnya dapat ditembak oleh satu unit F-16 yang lain, tetapi tembakan tidak dilakukan, sesuai dengan arahan sebelumnya dari Pangkoopsau II. Tiga unit F/A-18 lain lalu lepas landas dari USS Carl Vinson untuk membantu dua unit F/A-18 tersebut. Ketegangan akhirnya mereda setelah satu unit F-16 yang sempat dikunci radar menggoyangkan sayapnya untuk mengisyaratkan bahwa mereka tidak bermaksud mengancam F/A-18.[4]
Setelah komunikasi radio berhasil dibuka, F/A-18 mengklaim bahwa mereka masih terbang di atas perairan internasional dan meminta agar F-16 untuk menjauh. F-16 kemudian menanggapi bahwa F/A-18 telah terbang di atas perairan Indonesia dan meminta agar F/A-18 segera menghubungi pemandu lalu lintas udara di Bali, yang hingga saat itu belum mengetahui keberadaan mereka. F/A-18 kemudian terbang menjauh dan melaporkan pergerakan mereka ke pemandu lalu lintas udara di Bali.[4][7]
Investigasi dan dampak
Setelah F-16 tiba kembali di Pangkalan Udara Iswahyudi sekitar jam 18.15, TNI Angkatan Udara mendapat informasi dari pemandu lalu lintas udara di Bali bahwa F/A-18 tersebut adalah bagian dari pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat dan bahwa F/A-18 tersebut baru saja menghubungi pemandu lalu lintas udara di Bali untuk melaporkan pergerakan mereka.
Lima unit F/A-18 yang dicegat tersebut ternyata berasal dari kapal induk USS Carl Vinson yang sedang berlayar dari barat ke timur bersama dua unit fregat dan satu unit kapal perusak. Dari hasil pantauan TNI Angkatan Udara dengan menggunakan satu unit Boeing 737-200, konvoi Angkatan Laut Amerika Serikat tersebut berlayar di dekat Pulau Bawean dengan kecepatan 20 knot (37 km/h; 23 mph) serta melintasi Pulau Madura dan Pulau Kangean 12 jam kemudian.
Karena tidak meratifikasi UNCLOS 1982, Amerika Serikat pun tidak mengakui Laut Jawa sebagai perairan Indonesia.[butuh rujukan]
Pasca insiden ini, Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, untuk mengirim nota keberatan kepada pemerintah Amerika Serikat. Dari foto pantauan yang berhasil diambil, pemerintah Indonesia memprotes Amerika Serikat yang memasuki perairan Indonesia tanpa izin.[2]
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyatakan bahwa konvoi tersebut telah meminta izin kepada pemerintah Indonesia, bahwa pesawat terbang tersebut tidak melanggar hukum internasional, dan bahwa mereka telah memberitahu otoritas di Indonesia mengenai latihan yang mereka lakukan. Indonesia kemudian menyatakan bahwa mereka belum menerima pemberitahuan tersebut dan belum mengeluarkan izin untuk konvoi tersebut.[8][9] Pangkohanudnas Wresniwiro kemudian menyatakan bahwa Angkatan Laut Amerika Serikat sebenarnya memang telah mengajukan izin, "tetapi birokrasi kami terlalu lambat untuk mengeluarkan izin tersebut."[10]
USS Carl Vinson rencananya tiba di Perth pada tanggal 14 Juli 2003. Kapal tersebut kemudian direncanakan tiba di Hong Kong pada tanggal 6 Agustus melalui Laut Jawa dengan rute yang sama.[11][12] Selama tahun 2003, skadron VFA-22, VMFA-314, VFA-146, dan VFA-147 ditugaskan di USS Carl Vinson untuk mengoperasikan F/A-18C/D Hornet.[13] Namun, belum jelas skadron mana yang terlibat dalam insiden ini.
Referensi
^Unknown (August 2003). "Unknown". Angkasa, Aviation Magazine. Vol. 13 no. 11. Indonesian Air Force Information Service (DISPENAU). ISSN0126-0707.
^Dudi, Sudibyo (04 Juli 2003). "Lima Pesawat F-18 AS Bermanuver di Bawean". KOMPAS.Periksa nilai tanggal di: |access-date=, |date= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
^Dudi, Sudibyo (07 Juli 2003). "Perang Elektronika di Kawasan Bawean: Beberapa manuver dalam perang elektronika antara F-16 TNI AU dengan F-18 Hornet AL AS". KOMPAS.Periksa nilai tanggal di: |access-date=, |date= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)