Marsekal Muda TNI Ian Fuady[1] (lahir 15 Maret 1972) adalah seorang perwira tinggi TNI-AU yang sejak 18 Oktober 2024 mengemban amanat sebagai Asrena Kasau.[2]
Ian Fuady, merupakan lulusan terbaik Akademi Angkatan Udara dan peraih Adhi Makayasa tahun 1993. Jabatan terakhir jenderal bintang dua ini adalah Staf Khusus Kasau.[3]
Ian Fuady merupakan penerbang yang pernah meraih 1000 dan 2000 jam terbang dengan F-16 Fighting Falcon, sebelumnya menjabat Kabinlat Wing 3 Lanud Iswahjudi, merupakan lulusan terbaik AAU (Akademi Angkatan Udara) dan peraih Adhi Makayasa tahun 1993 dan Sekolah Penerbang TNI AU tahun 1995. Selain F-16 Fighting Falcon “Hyena”, juga pernah menerbangkan beberapa jenis pesawat diantaranya AS 202 Bravo, T-34 Charlie, KT-IB/Wong Bee, dan pesawat Hawk MK-53 sehingga memiliki total jam terbang 2389 jam 20 menit.[4]
Riwayat Pendidikan
- AAU (1993)
- Sekbang (1996)
- Sekkau (2002)
- Seskoau (2007)
- Sesko TNI (2019)
Riwayat Jabatan
- Kabinlat Wing 3 Lanud Iswahjudi
- Danskadron 3 Lanud Iswahyudi[5] (2009—2011)
- Pabandya Jakstra Paban I Renstra Srenaau (2011)
- Kadispers Lanud Iswahjudi[6] (2013—2014)
- Atase Pertahanan KBRI Jepang (2014—2018)
- Pamen Sopsau (Diksesko TNI) (2018—2019)
- Asops Kaskohanudnas[7] (2019—2020)
- Pangkosekhanudnas II/Makassar[8] (2020—2021)
- Dirdik Kodiklatau[9] (2021—2022)
- Komandan Lanud Roesmin Nurjadin (2022—2023)
- Asops Kaskoopsudnas (2023)
- Staf Khusus Kasau (2023—2024)
- Asrena Kasau (2024—Sekarang)
Insiden Bawean 2003
Ian termasuk salah satu pilot F-16 TNI AU yang pernah terlibat dalam peristiwa duel udara dengan pesawat-pesawat F/A-18 Hornet, Angkatan Laut Amerika Serikat yang terjadi di wilayah udara Pulau Bawean, pada 3 Juli 2003. Pada saat itu radar Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia dan Pusat Operasi Pertahanan Nasional menangkap ada lima titik mencurigakan yang terbang dalam formasi rapat dan tidak teridentifikasi. Namun ketika satu flight pesawat tempur TNI AU dikirimkan untuk melakukan identifikasi, tidak ditemukan obyeknya. Dua jam kemudian, terlihat manuver-manuver pesawat terbang tanpa identitas dan ada laporan dari para penerbang pesawat Bouraq Indonesia Airlines, bahwa manuver-manuver mereka yang berkecepatan tinggi sudah membahayakan kesalamatan dan keamanan penerbangan sipil berjadual. Pesawat-pesawat itu juga tidak melakukan komunikasi dengan menara pengatur lalu-lintas penerbangan nasional.[10][12][13]
Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia, saat itu dijabat Marsekal Muda TNI Teddy Sumarno, mengirimkan dua F-16 B untuk melakukan misi mencegat, mengidentifikasi dan mengusir mereka dari wilayah udara nasional. Penerbangan ini memiliki call sign Falcon Flight. Pemimpin penerbangan bersandikan Falcon 1, bernomor ekor TS-1603 yang diawaki oleh Kapten PNB Ian Fuady dan Kapten PNB Fajar Adriyanto. Falcon 2, bernomor ekor TS-1602, diawaki oleh Kapten PNB Mohamad Tonny Harjono dan Kapten PNB M. Satrio Utomo. Dalam misinya, mereka bertugas untuk identifikasi visual dan menghindari konfrontasi, dengan cara tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam.[10][12][13]
Ketika Falcon Flight tiba di lokasi, mereka langsung disambut oleh dua pesawat F/A-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat sehingga mereka terlibat dalam perang radar (radar jamming). Dalam peristiwa itu, salah satu penerbang tempur TNI AU sudah dalam posisi terkunci secara radar oleh penerbang tempur A AL AS. Sedang pesawat lainnya sedang saling berkejaran dalam posisi dog fight cukup ketat. Pesawat TNI AU kemudian berinisiatif melakukan gerakan menggoyang sayap (rocking wing) yang menyatakan bahwa mereka tidak dalam posisi mengancam pesawat AL AS.[10][12][13]
Ketika komunikasi berhasil dibuka, diketahui bahwa kedua pesawat AL AS dan jajaran kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Carl Vinson (CVN-70), merasa bahwa mereka berlayar di wilayah perairan internasional dan meminta agar kedua pesawat TNI AU untuk menjauh. Namun disampaikan oleh pesawat TNI AU bahwa mereka, pesawat-pesawat AL AS berada dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia sesuai dengan Deklarasi Djuanda. Falcon Flight meminta mereka untuk segera mengontak ke ATC setempat, Bali Control, yang hingga saat itu tidak mengetahui keberadaan mereka. Mengetaui adanya itu, pesawat-pesawat AL AS itu kemudian terbang menjauh.[10][12][13]
Referensi