Hotel Dibya Puri
Hotel Dibya Puri adalah sebuah hotel terbengkalai yang terletak di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Hotel ini terletak dekat dengan Alun-Alun Kauman yang dahulu merupakan pusat Kota Semarang, sebelum statusnya dialihkan ke Alun-Alun Pancasila Simpang Lima pada tahun 1969.[2] Hotel Dibya Puri menggunakan pencahayaan alami dengan memanfaatkan atrium. Di bagian kiri dan kanan gedung, terdapat tangga yang terbuat dari kayu dan diukir dengan sangat detail. Hotel Dibya Puri memakai ubin yang disertai dengan alat penjepit karpet pada bagian tangga. Pada ruang makan hotel terdapat tempat duduk yang mampu menampung 150 orang. Sementara itu, di bangunan utama, terdapat sebuah dinding lukisan yang terbuat dari kawat berwarna, dan membentuk gambar pemandangan alam, sungai, hewan dan manusia.[3] Hotel ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Cikal bakal Hotel Dibya Puri dapat ditelusuri hingga tahun 1847, ketika hotel pertama kali dibuka oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan nama Du Pavilion. Hotel ini merupakan tempat yang diminati baik oleh pejabat Belanda yang sedang melakukan dinas ke Kota Semarang, maupun bangsawan Belanda dan pribumi yang sedang liburan; Kartini tercatat pernah singgah di sana. Pada tahun 1913, perombakan Hotel Du Pavilion diadakan secara menyeluruh di semua bagian bangunannya; listrik mulai dipasang di dalam gedung saat perombakan, bagian dalam hotel dihiasi dengan lampu-lampu modern, dan setiap kamar di dalam hotel dilengkapi dengan fasilitas sanitasi dan kamar mandi. Setelah diadakan perluasan, jumlah kamar bertambah menjadi 50 kamar tidur, dan di tiap kamar dilengkapi dengan sejumlah mebel mewah. Setahun setelah renovasi, hotel menyambut tamu-tamu yang akan menghadiri perhelatan berbentuk pameran yang diberi nama Koloniale Tentoonstelling.[4] Saat Hindia Belanda takluk kepada Kekaisaran Jepang pada tahun 1942, hotel Du Pavilion sempat dikuasai oleh pasukan Jepang dan dijadikan markas tentara. Pasca Perang Dunia II dan Revolusi Nasional Indonesia, hotel diambil alih oleh Pemerintah Indonesia. Perusahaan Hotel dan Tourist Nasional (Natour) ditugaskan sebagai badan usaha milik negara yang melakukan nasionalisasi atas hotel-hotel milik Belanda. Hotel Du Pavilion diganti namanya menjadi Hotel Dibya Puri, dan mulai dikelola oleh PT Natour pada awal dekade 1970an. Hotel ini sempat mengalami kejayaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, karena setiap pejabat pemerintah pusat yang berkunjung ke Kota Semarang harus menginap disana. Baik Presiden Soekarno maupun Soeharto pernah menginap di Dibya Puri.[5] Kejayaan Hotel Dibya Puri mulai redup pasca kejatuhan Orde Baru. Hotel ini tidak bisa bersaing dengan kemunculan berbagai macam hotel-hotel baru di Semarang sebagai akibat dari Reformasi. Hotel sempat berganti nama menjadi Inna Dibya Puri setelah Natour bergabung dengan Hotel Indonesia International untuk membentuk Hotel Indonesia Natour (HIN), namun pergantian ini hanya bertahan selama beberapa tahun saja. Pada bulan Mei 2008, HIN mengumumkan penutupan Inna Dibya Puri untuk yang terakhir kalinya. Gedung hotel dibiarkan terbengkalai dan dimakan usia hingga sekarang.[4] Salah satu mantan karyawan hotel dipekerjakan oleh HIN untuk menjadi juru kunci dan penjaga pekarangan hotel yang dialihfungsikan sebagai lahan parkir umum.[1] Referensi
|