Saat ini, agama Hindu dianut oleh 9739 jiwa di Poso, membuat Hindu sebagai agama terbesar ketiga di Poso, didahului oleh agama Kristen dan Islam, serta diikuti oleh Katolik dan Buddha.[2]
Sejarah
Agama Hindu disebarkan di wilayah Kabupaten Poso pada awal tahun 1960-an oleh para transmigran yang sebagian besar berasal dari Bali. Pada akhir tahun 1990-an, Kerusuhan Poso terjadi dan dengan cepat menjadi konflik antar-agama. Kerusuhan Poso tidak sampai menjalar dan meluas hingga ke kabupaten lain di Sulawesi Tengah, atau di daerah Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Poso. Hal itu disebabkan karena adanya kantong-kantong desa transmigran dari Bali, seperti di wilayah Kabupaten Parigi Moutong maupun di daerah Luwu. Kantong-kantong transmigran asal Bali ini, yang biasanya memiliki sistem pertanian yang maju, menjadi buffer zone yang mencegah meluasnya konflik.[3]
Kekerasan
Pada 13 September 2015, kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso membunuh dan memenggal I Nyoman Astika (60), seorang transmigran asal Buleleng, Bali. Dia tewas usai diserang lima orang tak dikenal (OTK) di kebunnya di pegunungan Baturiti, Sausu, Parigi Moutong. Pemenggalan itu diduga sebagai aksi balas dendam setelah terjadi kontak tembak dengan Polri sebelumnya.[4]
Migrasi ini dilakukan didasari oleh keinginan untuk mendapatkan tanah dengan kadar kesuburan yang lebih baik dari yang masih belum diolah. Untuk mampu bertahan di wilayah yang baru, para migran dari Bali ini memutuskan untuk hidup secara berkelompok.
Desa Meko di kecamatan Pamona Barat, adalah salah satu contoh kasus, memperlihatkan para petani eks transmigran Tolai asal Bali yang tidak memiliki lahan, berpindah untuk perburuan lahan baru sejak pertengahan 1990-an.[6]
Budaya
Pura Agung Jagad Natha Stana Narayana adalah pura terbesar di Kabupaten Poso dan merupakan lokasi pusat dari perayaan Hari RayaNyepi yang diadakan setiap tahun. Lokasi pura ini juga berhadapan langsung dengan Teluk Tomini. Proses upacara umat Hindu di Poso diawali dengan upacara Melasti. Ritual ini dilakukan dengan memberikan persembahan ke laut, dan dimaksudkan untuk menyucikan diri sendiri dan menetralisir alam dari segala bentuk sesuatu yang jahat. Upacara ini merupakan tradisi yang dilakukan setiap menjelang hari raya Nyepi dan diteruskan dengan proses Tawur Agung dan sembahyang di pura.[7]