Hilifarono, Onolalu, Nias Selatan
Hilifarono merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Onolalu, kabupaten Nias Selatan, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Sebelumnya menjadi bagian wilayah kecamatan Teluk Dalam sebelum Onolalu mekar menjadi satu kecamatan[a]. Latar BelakangSejarah Desa Hilifarono tidak jauh beda dengan sejarah-sejarah daerah lain di Nias. Menurut sumber lisan nenek moyang Hilifarono berasal dari Idanö Tae di daerah sekitar gomo, kemudian dia pindah ke Gomo, pindah lagi ke Ono Mohi, pindah lagi ke Tetehösi sekitar abad ke-16, dan terakhir pindah ke daerah selatan di bukit yang disebut Hilifalagö (Hili = Bukit/Gunung; dan Falagö = menaungi/menyelubungi) yang sekarang menjadi wilayah Desa Hilifalago. Selama waktu berpindah-pindah di beberapa tempat tersebut, berlangsung selama 18 Keturunan (Na'ötö). Menurut sumber lisan dan berbagai media lain mengatakan bahwa Hia W̃alangi memiliki banyak putra dan cucu-cicit mereka di antaranya adalah Lalu yang tinggal menetap dan menguasai wilayah yang sekarang disebut sebagai Öri Onolalu. Amada Lalu mempunyai 3 (tiga) anak laki-laki dan beberapa anak perempuan. Anak laki-lakinya pertama tinggal menetap bersama orang tuanya di Hilifalagö. Putranya yang kedua mendapat bagian wilayah dan mendiami daerah yang sekarang disebut Hilinamöza'uwa. Sementara putranya yang ketiga mendapat bagian wilayah dan mendiami daerah yang sekarang disebut Hilimondregeraya. Itulah sebabnya wilayah daerah tersebut dikenal sebagai Öri Onolalu. Sejarah SingkatSelanjutnya amada Lalu memiliki banyak keturunan. Dari Amada Lalu sampai ke keturunan di Hilifarono, berlangsung selama sebelas generasi. Berikut penguraiannya:
Selanjutnya Lawajihönö memiliki 3 orang putera bernama Baju'a, Badugö, dan Fanaetu. Baju'a kemudian memperanakkan Gasa Januwö, Gasa Januwö memperanakkan Buageho, Buageho memperanakkan Maera Januwö dan Saitö Lela. Maera Januwö kemudian merebut kekuasaan Saitö Lela adik perempuannya sendiri. Akibat konflik tersebut Banua Hilifalagö terbagi menjadi dua wilayah kekuasaan (Fa'asi'ulu), yaitu Hilifalagö dan Bawönidada (sekarang Desa Hilifalagö Raya). Mereka membuat sebuah perjanjian yang berbunyi:
Maera Januwö sebagai yang tertua mengalah dan memindahkan Desa Bawönidada ke Bukit Gabölata (Hiligabölata) dengan nama Hilifarono yang kemudian tempat itu hingga sekarang dikenal sebagai Banua Satua. Sistem pemerintahan masih keras sehingga terjadi sebuah peristiwa bencana mengerikan dimana halaman desa terbelah dua, sambil keluar asap tebal dan mengatakan: "Fabua dumba ba Fabua Gafore" artinya Ganti Dumba (takaran beras) dan Afore (pengukur ternak babi). karena dulu masih menggunakan Lauru sebagai takaran (1 Lauru = 6 Dumba; 1 Dumba = 8 Teko, standar kaleng susu kental) yang dapat merugikan masyarakat biasa saat melakukan pembayaran pajak kepada pihak bangsawan[b]. Secara harafiah, Kata Afore (artinya Aturan) bukan hanya dimaksud sebagai takaran, namun juga merujuk pada tuntutan agar hukum dan aturan adat diubah. Setelah kejadian itu, Desa ini pindah lagi ke bagian bawah Hiligabölata dengan nama Hilifarono. Beberapa tahun kemudian terjadi Longsor besar dimana sebagian desa runtuh ke bawah dan memakan ratusan korban dan pada tahun yang sama terjadi wabah penyakit diare dimana penduduk setempat menyebutnya Talu Soyo. Dengan kejadian tersebut kemudian turunan Maera Januwö memindahkan lagi Desa Hilifarono ke Bawözohahau. Pada awal Pemerintahan RI, untuk mengenang asal usul masyarakat desa serta peristiwa pilu yang telah dialami oleh para leluhur, maka nama Bawözohahau diubah lagi menjadi Desa Hilifarono sampai sekarang[c]. Si'ulu dan SalawaDalam sistem masyarakat adat di Nias bagian Selatan sebelum terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia, ada istilah Si'ulu (Bangsawan) dan Salawa (petinggi) sebagai pemegang kekuasaan hukum tertinggi atas suatu desa, atau sekarang disebut sebagai pemerintah desa atau Kepala Desa. Berikut nama-nama Si'ulu dan Salawa Desa Hilifarono dari awal sampai sekarang dan sekilas jasa-jasanya pada desa sebagai berikut:
Lihat catatan kaki untuk artikel bagian ini.[d] Alam dan GeografisKeadaan alam di desa ini memiliki curah hujan yang tinggi dan terletak di lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit di antaranya bukit A'awa. Tentunya untuk sampai di lokasi ini dapat di tempuh rute darat dari Teluk Dalam dengan Jarak 10 km jika lewat Desa Bawödobara dan 8 km jika lewat Desa Hiliamuri (Lazafvahowu) dengan kendaraan roda dua dan empat. Kondisi jalan sudah cukup memadai, lewat rute ini kita bisa sampai langsung ke kampung induk dgn kendaraan pribadi dan tentunya sepanjang jalan anda akan menyaksikan luasnya perkebunan karet sebagai mata pencaharian utama desa ini. Secara geografis terletak pada koordinat 0°36′41″N 97°50′24″E / 0.61139°N 97.84000°E dengan luas 3,12 km² termasuk wilayah perkebunan dan tanah kosong dengan ketinggian 30mdpl di atas permukaan air laut. Posisi perkampungan memanjang dari utara ke selatan dan berhadapan antara perumahan dari Timur dengan Barat. Lebih terperinci lorong-lorong desa membentang dari tiga bagian membentuk segitiga, di antaranya Mazö, Hiliamaigila (sebelumnya Mbombode'u) dan Bawözohahau (kampung induk). Sementara itu di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Hilifalagö, disebelah Timur berbatasan dengan Desa Hiliganöwö, disebelah Barat berbatasan dengan Desa Hiliamuri dan disebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bawödobara. Budaya dan Mata PencarianBerbicara soal budaya leluhur di Desa Hilifarono kini sudah mulai Punah 98% sementara hukum adat masih ketat. Pembangunan Rumah adat sudah tidak dilestarikan lagi, bahkan orang yang punya rumah adat diruntuhkannya menjadi Rumah beton. Tercatat pada (April 2016) sisa rumah adat tertinggal 2, sementara yang satu hampir roboh juga, sementara saat ini tidak ada lagi rumah adat yang berdiri kokoh. Desa Hilifarono sangat dipengaruhi oleh budaya Global secara pesat. Tarian adat (Mogaele, Moluaya, dan Tari Moyo) sudah tidak ada lagi, yang tersisa adalah Tari Maena yang diadakan saat ada acara besar misalnya acara pernikahan. Mata pencarian mereka 98% Patani; 1% Peternak; 0,5% Pedagang; 0,5% sebagai Guru dan PNS, yang lainnya sebagai tukang kayu dan bangunan. PariwisataKarena kehilangan budaya seni, maka kemungkinan tidak ada lagi yang terlalu dijadikan sebagai objek wisata. Paling tidak melihat acara Lompat Batu tiap ada permintaan dari Turis Mancanegara, bahkan itupun dilakukan tanpa memakai Pakaian adat. Sebenarnya jika generasi muda membangun kembali, masih banyak tempat-tempat yang cocok dijadikan tempat wisata di sana, seperti Lubo Nadoya di Ndraso, Air Terjun di Mavoi, dll. Catatan kaki
Referensi
|