Gajah sumatera merupakan sub spesies dari gajah asia.[1] Spesies gajah sumatera hanya ditemukan di Sumatera.[2] Populasi gajah sumatera dapat ditemukan mulai dari Provinsi Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Sumatera Utara sampai ke Provinsi Aceh.[3] Gajah sumatera menjadikan beberapa jenis hutan di Pulau Sumatera sebagai habitatnya. Penyebarannya dimulai dari hutan basah berlembah dan hutan payau. Gajah sumatera juga ditemukan di dekat pantai sampai hutan pegunungan pada ketinggian lebih dari 2000 mdpl.[4]
Habitat asli gajah sumatera adalah di Taman Nasional Tesso Nilo.[5] Habitat gajah sumatera juga ditemukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Populasinya menyebar di wilayah Sukaraja Atas, Tampang-Belimbing, Suoh, Pemerihan, dan Kubu Perahu.[6] Pada tahun 1993, Departemen Kehutanan Republik Indonesia memperkirakan bahwa populasi gajah sumatera antara 2.800 sampai 4.800 ekor dan tersebar dalam 44 kelompok. Sebanyak 13 kelompok berada di Lampung, 8 kelompok di Sumatera Selataan, 5 kelompok di Jambi, 2 kelompok di Bengkulu, 11 kelompok di Riau, 1 kelompok di Sumatera Barat, 1 kelompok di Sumatera Utara bagian barat dan 4 kelompok di Aceh.[7]
Gajah kalimantan
Gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) adalah salah satu sub-spesies gajah asia. Habitatnya di Pulau Kalimantan. Di Indonesia, gajah kalimantan dapat ditemukan di Kalimantan Utara. Habitatnya berada di ketinggian 300–1500 mdpl dengan tanaman hutan Dipterocarpaceae. Beberapa kelompok gajah kalimantan membentuk habitat di lahan perkebunan dan pemukiman. Ukuran tubuh gajah kalimantan lebih kecil dibandingkan dengan jenis gajah asia yang lainnya. Perbedaan ukurannya antara 72–90% dari gajah lainnya.[8]
Ancaman
Konversi kawasan hutan
Peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan ekonomi berlangsung pesat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan pada dekade 1990-an dan 2000-an. Migrasi penduduk terjadi ke kedua pulau tersebut. Konsekuensi dari pertambahan penduduk di kedua pulau tersebut adalah diadakannya kegiatan pembangunan. Pembangunan ini kemudian meningkatkan konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan kehutanan dan non kehutanan. Akibatnya, habitat mamalia besar seperti gajah di kedua pulau ini mengalami pengurangan luas. Dua mamalia besar yang terdampak adalah gajah sumatera dan gajah kalimantan. Berkurangnya luas habitat ini menyebabkan konflik langsung antara gajah dan manusia.[9]
Konflik antara gajah dan manusia
Konflik umumnya terjadi antara gajah sumatera dengan manusia pada lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman.[7]Dana Dunia Untuk Alam Indonesia mencatat sebanyak 36 ekor gajah sumatera ditemukan mati sejak tahun 2012 hingga 2015 di Aceh. Sebagian besar penyebabnya karena diracun, sementara beberapa kasus kematian disebabkan terkena setrum atau jerat di perkebunan kelapa sawit. Total kematian gajah sumatera di seluruh Pulau Sumatera selama periode 2012–2015 hampir mencapai 200 ekor gajah. Jumlah gajah sumatera yang mati lebih dari 10% total populasi Gajah Sumatera di alam.[10] Pada tahun 2015–2016, konflik antara gajah dan manusia terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Selama konflik ini sebanyak 12 gajah mati dibunuh.[11]
Perlindungan
Gajah Sumatera adalah salah satu satwa yang terancam punah dengan populasi yang sangat sedikit. Spesiesnya terdaftar dalam Daftar merah IUCN. Gajah sumatera juga dimasukkan dalam Appendix I dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Perlindungan atas gajah sumatera telah diberlakukan sejak tahun 1931 dalam Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Nomor 134. Kemudian, perlindungan ini diperkuat oleh Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 234/Kpts/Um/1972 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.[4]
Kebijakan pemerintah
Pemusatan populasi gajah
Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan pengelolaan gajah sumatera. Ini untuk mengatasi masalah pengurangan luas habitatnya akibat konversi kawasan hutan. Di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan, Pemerintah Indonesia membuat pengaturan lokasi populasi gajah sumatera yang dianggap mengganggu permukiman transmigrasi.[12]
Pusat pelatihan gajah
Pada tahun 1995, kebijakan konservasi dan pengelolaan gajah sumatera dikaji ulang. Hasilnya, diadakan pemanfaatan gajah dengan membentuk pusat pelatihan gajah untuk keperluan pengangkutan kayu dan wisata alam.[13] Pusat pelatihan gajah yang pertama kali didirikan di Indonesia adalah Pusat Konservasi Gajah Way Kambas pada tahun yang sama. Gajah yang dilatih adalah gajah sumatera. Gajah-gajah dilatih dan dimanfaatkan untuk wisata sehingga mereka mampu melakukan traksi permainan sepak bola dan berenang. Pawang gajah menemani pengunjung yang ingin menunggang gajah. Selain itu, pelatih mendidik gajah liar agar mampu bermain bola, menari, berjabat tangan, memberi hormat, mengalungkan bunga, dan tarik tambang.[14]
Kemudian pada tahun 2004, diadakan pelatihan kerja sama antara Dana Dunia untuk Alam dengan Balai Taman Nasional Tesso Nilo dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau. Kerja sama ini untuk mendirikan Skuad Penerbangan. Tujuannya untuk menangani konflik antara manusia dan gajah dan mengurangi jumlah kematian gajah liar di Taman Nasional Tesso Nilo. Skuad Penerbangan ini terdiri dari gajah sumatera yang telah dilatih di Pusat Latihan Gajah Minas Riau. Gajah yang telah jinak diajar untuk mengusir dan menggiring gajah liar yang masuk kedalam lahan masyarakat.[11]