El Al Penerbangan 1862
Pada tanggal 4 Oktober 1992, El Al Penerbangan 1862, sebuah pesawat kargo Boeing 747 yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan Israel El Al, jatuh ke kompleks apartemen Groeneveen dan Klein-Kruitberg di lingkungan permukiman Bijlmermeer (biasa disebut "Bijlmer"), yang berada di wilayah Amsterdam-Zuidoost, Amsterdam, Belanda. Dikarenakan lokasinya di Bijlmermeer, lokasi jatuhnya pesawat dikenal dalam bahasa Belanda sebagai Bijlmerramp (Musibah Bijlmer). Sebanyak 43 orang dinyatakan tewas menurut laporan resmi, termasuk ketiga awak kokpit, seorang penumpang yang duduk di jump seat, dan 39 orang di darat.[1][2] Di samping korban tewas, 11 orang mengalami luka serius dan 15 orang mendapat luka ringan.[1][2][3] Jumlah pasti banyaknya korban tewas di darat tidak dapat dipastikan, karena apartemen tersebut menjadi tempat tinggal sejumlah imigran tanpa dokumen.[4] Kecelakaan ini merupakan kecelakaan penerbangan terburuk yang terjadi di Belanda.[2] KronologiPada tanggal 4 Oktober 1992, sebuah pesawat kargo Boeing 747-258F,[a] registrasi 4X-AXG, terbang dari Bandar Udara Internasional John F. Kennedy, New York, Amerika Serikat menuju Bandar Udara Internasional Ben Gurion, Tel Aviv, Israel, dengan perhentian di Bandar Udara Schiphol, Amsterdam, Belanda. Selama penerbangan dari New York menuju Amsterdam, terdapat tiga masalah yang diketahui: fluktuasi pada pengaturan kecepatan autopilot, masalah radio, dan fluktuasi tegangan generator elektrik pada mesin nomor tiga, mesin bagian dalam pada sayap kanan yang kemudian terlepas dari pesawat dan memulai rangkaian kecelakaan.[butuh rujukan] Pesawat mendarat di Schiphol pukul 14:40 untuk menaikkan sejumlah muatan kargo dan pergantian awak penerbangan.[1] Pesawat juga mengisi bahan bakar dan sejumlah masalah yang diketahui juga diperbaiki, setidaknya untuk sementara waktu. Awak penerbangan terdiri dari Kapten Yitzhak Fuchs, Kopilot Arnon Ohad, dan Juru mesin Gedalya Sofer. Kapten Fuchs merupakan pilot berpengalaman, ia pernah terbang sebagai pilot pesawat tempur-pembom di Angkatan Udara Israel pada tahun 1950-an.[5] Kapten Fuchs telah mengumpulkan lebih dari 25,000 jam terbang, termasuk 9,500 jam di Boeing 747.[1] Kopilot Ohad memiliki pengalaman yang lebih sedikit dari kedua rekannya dengan 4,288 jam terbang, termasuk 612 jam di Boeing 747.[1] Juru mesin Sofer merupakan awak yang paling berpengalaman dalam penerbangan ini, dengan lebih dari 26,000 jam terbang, termasuk 15,000 jam di Boeing 747.[1] Seorang penumpang tunggal bernama Anat Solomon juga ikut dalam penerbangan; ia merupakan karyawan El Al di Amsterdam dan sedang dalam perjalanan untuk menikahi pasangannya yang sesama karyawan El Al.[6] PenerbanganEl Al 1862 dijadwalkan berangkat pukul 17:30, namun keberangkatannya tertunda sampai pukul 18:20. Pesawat lepas landas dari landasan pacu 01L (saat ini dikenal sebagai landasan pacu 36C) mengarah ke utara pada pukul 18:22. Setelah lepas landas, pesawat berbelok ke kanan mengikuti rute keberangkatan. Sesaat setelah berbelok, pada pukul 18:27, di atas Gooimeer, sebuah danau di dekat Amsterdam, saksi mata yang berada di darat mendengar suara ledakan keras dan melihat sejumlah puing berjatuhan, jejak kepulan asap dan kilatan api sekilas pada sayap kanan ketika pesawat mengudara di ketinggian 1.950 meter (6.400 kaki).[1] Mesin nomor tiga terlepas dari sayap kanan pesawat, terhempas ke depan, merusak flap sayap, lalu terhempas ke belakang dan menghantam mesin nomor empat, merobek dan melepaskannya dari sayap. Kedua mesin terlepas dari pesawat dan juga merusak bilah depan sayap sepanjang 10 meter (33 kaki). Ledakan keras tersebut menarik perhatian sejumlah pelayar kapal kecil di Gooimeer. Para pelayar memberitahu Penjaga Pantai Belanda tentang dua benda yang mereka lihat berjatuhan dari langit. Seorang pelayar yang merupakan petugas kepolisian mengatakan ia awalnya mengira dua benda yang berjatuhan tersebut adalah penerjun payung, namun begitu benda tersebut mendekati daratan ia melihat bahwa kedua benda tersebut adalah mesin pesawat.[7] Kopilot membuat panggilan mayday kepada pemandu lalu lintas udara (ATC) dan memberitahu bahwa mereka ingin kembali ke Schiphol.[b] Pukul 18:28:45, kopilot melaporkan: "El Al 1862, lost number three and number four engine, number three and number four engine." (El Al 1862, kehilangan mesin nomor tiga dan nomor empat, mesin nomor tiga dan nomor empat.) Baik ATC dan awak penerbangan belum mengetahui seberapa parah keadaan daruratnya. Meskipun awak penerbangan mengetahui mereka telah kehilangan daya dari mesin pesawat, mereka tidak melihat bahwa dua mesin pesawat telah benar-benar terlepas dan sayapnya rusak.[c] Mesin bagian luar pada sayap Boeing 747 bisa terlihat dari kokpit dengan susah payah dan mesin bagian dalam tidak dapat terlihat sama sekali. Mengingat pilihan yang dibuat oleh awak penerbangan setelah kehilangan tenaga mesin, komisi penyelidikan parlemen Belanda yang kemudian menyelidiki kecelakaan ini menyimpulkan bahwa awak pesawat tidak mengetahui bahwa kedua mesin telah lepas dari sayap kanan. Pada malam terjadinya kecelakaan, landasan yang digunakan untuk pendaratan di Schiphol adalah landasan pacu 06. Awak penerbangan meminta landasan pacu 27 – landasan pacu terpanjang di Schiphol – untuk melakukan pendaratan darurat, meskipun itu berarti pesawat harus mendarat dengan angin dari belakang berkecepatan 21 knot.[d] Pesawat masih terlalu tinggi untuk mendarat ketika berputar-putar kembali menuju bandara. Pesawat terpaksa terus berputar di langit Amsterdam sampai bisa menurunkan ketinggian yang diperlukan untuk melakukan pendekatan akhir menjelang mendarat. Pada putaran kedua, flap sayap diturunkan. Trailing edge flap bagian dalam juga diturunkan karena masih dapat digerakkan oleh sistem hidraulik mesin nomor satu yang masih berfungsi, namun trailing edge flap bagian luar tidak dapat diturunkan karena digerakkan oleh sistem hidraulik mesin nomor empat yang rusak ketika mesinnya terlepas dari sayap. Konfigurasi flap yang tidak sama pada kedua sayap menyebabkan pesawat mendongak lebih tinggi dari biasanya selama pesawat menurunkan ketinggian. Slats pada sayap kiri bisa digerakkan, namun pada sayap kanan tidak bisa karena rusak berat ketika kedua mesin terlepas, yang juga sangat mengganggu aliran udara di atas sayap kanan. Perbedaan konfigurasi pada kedua sayap menyebabkan sayap kiri memiliki daya angkat yang lebih besar dari sayap kanan yang telah rusak, terutama ketika pesawat mendongak naik selagi kecepatan pesawat di udara menurun. Meningkatnya daya angkat pada sayap kiri meningkatkan kecenderungan pesawat untuk berguling ke kanan, karena aileron sayap kanan yang tidak berfungsi dan daya dorong dari kedua mesin di sayap kiri yang dinaikkan dalam upaya untuk mengurangi pengaruh pesawat turun terlalu cepat. Selagi pesawat melambat, kemampuan awak pesawat atas kendali yang ada untuk melawan pengaruh pesawat berguling ke kanan semakin berkurang. Awak pesawat pada akhirnya kehilangan hampir seluruh kemampuan untuk mencegah pesawat berguling ke kanan. Pesawat berguling ke kanan hampir sejauh 90 derajat sebelum menghantam kompleks apartemen.[1] Pada pukul 18:35:25, kopilot memberitahu ATC: "Going down, 1862, going down, going down, copied, going down." (Jatuh, 1862, jatuh, jatuh, dimengerti, jatuh.) Kapten pesawat terdengar memberi instruksi dalam bahasa Ibrani kepada kopilot untuk menaikkan flap dan menurunkan roda pendaratan.[1] KecelakaanPukul 18:35:42 waktu setempat, pesawat jatuh menukik tajam dan menghantam dua kompleks apartemen di lingkungan permukiman Bijlmermeer, Amsterdam, di bagian sudut dimana komplek gedung Groeneveen dan Klein-Kruitberg saling bertemu. Pesawat meledak dan membuat bola api besar yang menyebabkan gedung apartemen runtuh sebagian ke dalam dan menghancurkan sejumlah unit apartemen. Kokpit pesawat terlempar ke bagian timur gedung apartemen, diantara gedung apartemen dan sebuah viaduk dari jalur 53 Amsterdam Metro; ekor pesawat terputus dan terlempar ke belakang oleh kuatnya ledakan.[butuh rujukan] Pada saat-saat terakhir penerbangan, beberapa pertugas pemandu lalu lintas udara melakukan sejumlah upaya darurat untuk menghubungi pesawat. Pemandu kedatangan penerbangan Schiphol bekerja dari sebuah gedung tertutup di Schiphol timur, tidak jauh dari menara pemandu. Pukul 18:35:45, menara pemandu melaporkan kepada pemandu kedatangan: "Het is gebeurd" ("Sudah terjadi (jatuh)"). Pada saat itu kepulan asap besar yang membumbung dari lokasi kecelakaan terlihat dari menara pemandu. Pesawat telah hilang dari radar pemandu kedatangan. Para petugas pemandu kedatangan melaporkan bahwa pesawat terakhir kali tampak berada di 15 kilometer (9,3 mi; 8,1 nmi) barat Weesp dan personel darurat segera dikirimkan ke lokasi.[butuh rujukan] Pada waktu terjadinya kecelakaan, dua petugas kepolisian sedang berada di Bijlmermeer untuk memeriksa laporan perampokan. Mereka melihat pesawat itu jatuh dan segera membunyikan alarm peringatan. Mobil pemadam kebarakaran dan penyelamat pertama sampai di lokasi kecelakaan sesaat setelah pesawat jatuh. Beberapa rumah sakit terdekat diminta untuk bersiap menghadapi ratusan korban. Kompleks apartemen tersebut sebagian besar ditinggali oleh imigran dari Ghana, Suriname, dan Aruba, dua negara terakhir merupakan bekas jajahan Belanda, dan banyaknya korban tewas sulit untuk dipastikan dalam beberapa jam setelah kecelakaan.[8][9] Pasca kecelakaanDetik-detik jatuhnya pesawat juga disaksikan oleh petugas dari sebuah stasiun pemadam kebakaran di jalan Flierbosdreef. Pertolongan pertama segera datang ketika api sebesar ukuran lapangan sepak bola atau 120 meter (130 yd; 390 ft) dengan cepat menyambar kesepuluh lantai gedung apartemen. Tidak ada korban selamat yang ditemukan di titik pusat tabrakan, hanya mereka yang berhasil menyelamatkan diri dari gedung apartemen yang bisa selamat dari musibah.[10] Beberapa saksi mata juga melaporkan mereka melihat sejumlah orang melompat dari gedung apartemen untuk menyelamatkan diri dari kobaran api.[11] Ratusan orang kehilangan tempat tinggal akibat musibah tersebut; Pemerintah menggunakan bus-bus kota untuk membawa korban selamat ke tempat pengungsian sementara. Pemadam kebakaran dan kepolisian juga terpaksa menangani banyaknya laporan pencurian di daerah tersebut.[10] Perdana Menteri Ruud Lubbers dan Ratu Beatrix mengunjungi lokasi kecelakaan pada sore keesokan harinya. Perdana Menteri Lubbers mengatakan, "Musibah ini telah mengguncang seluruh negeri."[9] Beberapa hari setelah musibah tersebut, sejumlah jasad korban ditemukan di lokasi kecelakaan. Walikota Amsterdam memerintahkan pembersihan reruntuhan bangunan dan puing-puing pesawat dari lokasi kejadian, dan para penyelidik menemukan baut pengunci dari penyangga mesin yang terlepas di sebuah tempat pembuangan akhir. Dua mesin yang lepas dari pesawat beserta bagian bilah tepi depan dari sayap kanan sepanjang 30 kaki (9 meter) ditemukan di Gooimeer.[7] Sisa-sisa puing pesawat kemudian dibawa ke Schiphol untuk dianalisa. Perekam data penerbangan (FDR) pesawat ditemukan dalam kondisi rusak berat, dengan pita rekamannya terpotong menjadi empat bagian, khususnya pada bagian pita yang memuat rekaman data dua menit 30 detik terakhir penerbangan. Perekam data tersebut diterbangkan ke Amerika Serikat untuk dibuka dan berhasil diekstraksi untuk dianalisa.[7] Meskipun pencarian intensif terhadap perekam suara kokpit (CVR) telah dilakukan, rekaman suara kokpit tidak pernah ditemukan, walaupun pihak dari El Al mengklaim bahwa rekaman suara kokpit terpasang di dalam pesawat.[1] PenyebabKetika terjadi beban berlebih pada mesin atau penyangga mesin pada Boeing 747, baut pengunci yang menahan nasel mesin ke sayap pesawat didesain agar retak dengan rapi, supaya mesin dapat terlepas dari pesawat tanpa merusak sayap atau tangki bahan bakar di sayap. Pada umumnya, pesawat terbang didesain agar dapat tetap terbang seandainya terjadi kegagalan mesin atau mesinnya terlepas, supaya pesawat dapat mendarat dengan selamat. Kerusakan pada sayap atau tangki bahan bakar di sayap pesawat dapat berakibat malapetaka. Badan Keselamatan Penerbangan Belanda menemukan bahwa baut pengunci di pesawat ini bukannya langsung gagal menahan beban, tetapi mengalami keretakan akibat kelelahan terlebih dahulu sebelum gagal menahan beban.[7] Badan Keselamatan Penerbangan Belanda menyimpulkan urutan kemungkinan peristiwa lepasnya mesin nomor tiga dari pesawat:
Urutan kegagalan yang berturut-turut ini menyebabkan mesin nomor tiga beserta penyangganya terlepas. Arah terhempasnya mesin nomor tiga dan penyangganya setelah terlepas dari sayap mengarah ke mesin nomor empat sehingga mesin nomor empat beserta penyangganya ikut terlepas dari sayap. Lepasnya kedua mesin tersebut juga menyebabkan kerusakan serius pada bilah depan di sayap kanan.[7] Hilangnya tenaga hidraulik dan rusaknya sayap kanan menghambat pengoperasian flaps yang kemudian dicoba oleh awak pesawat untuk diturunkan. Sebuah penelitian mengindikasikan bahwa awak pesawat pada awalnya mampu mempertahkan pesawat di udara karena pesawat melaju dengan kecepatan tinggi (280 knot), meskipun kerusakan pada sayap kanan, yang menyebabkan pengurangan daya angkat, membuat pesawat lebih sulit untuk diseimbangkan. Pada kecepatan 280 knot (520 km/h; 320 mph), masih ada daya angkat yang cukup di sayap kanan untuk menjaga pesawat tetap terbang. Namun ketika pesawat harus mengurangi kecepatan untuk mendarat, daya angkat pada sayap kanan tidak cukup untuk mempertahankan keseimbangan, sulit bagi pesawat agar dapat mendarat dengan aman. Pesawat kemudian berguling tajam ke kanan dengan kemungkinan selamat yang sangat kecil.[1] Kemungkinan penyebab pasti dari kecelakaan menurut laporan resmi adalah:[1]
KorbanSebanyak 43 orang dinyatakan tewas dalam musibah ini: empat orang yang berada di dalam pesawat (tiga awak pesawat dan satu penumpang khusus) dan 39 orang di darat.[1] Angka ini lebih rendah dari yang diperkirakan: kepolisian awalnya memperkirakan lebih dari 200 orang tewas[11] dan Walikota Amsterdam Ed van Thijn mengatakan bahwa 240 orang dinyatakan hilang.[8][9] Dua puluh enam orang menderita luka dengan 11 diantaranya cukup serius untuk mendapat penanganan rumah sakit.[1] Sebuah informasi mengungkap kepercayaan yang masih bertahan bahwa angka sebenarnya dari korban tewas dalam musibah ini jauh lebih tinggi dari laporan resmi. Bijlmermeer merupakan daerah yang menjadi tempat tinggal sejumlah imigran ilegal, khususnya dari Ghana dan Suriname, dan beberapa anggota komunitas Ghana menyatakan mereka kehilangan sejumlah penghuni tanpa dokumen resmi yang tidak dihitung sebagai korban tewas.[12] MemorialSebuah memorial yang didesain oleh arsitek Herman Hertzberger dan Georges Descombes dibangun di dekat lokasi jatuhnya pesawat dengan nama-nama korban.[13] Bunga-bunga diletakkan di sebuah pohon yang berhasil bertahan dari musibah ini, disebut sebagai "pohon yang melihat semuanya" (de boom die alles zag). Sebuah memorial terbuka bagi umum digelar setiap tahun untuk mengenang musibah ini; tidak ada pesawat yang melintas di atas daerah ini selama satu jam untuk menghormati para korban.[4][14] Masalah kesehatan
Pelayanan kesehatan mental setelah kecelakaan disediakan kepada semua penghuni dan petugas penyelamat yang terdampak. Sekitar setahun setelah musibah, banyak penghuni dan petugas penyelamat yang mulai mendatangi dokter dengan keluhan kesehatan fisik, yang oleh para pasien disebabkan oleh kecelakaan ini. Insomnia, pernapasan kronis, infeksi, rasa nyeri dan ketidaknyamanan umum, impotensi, perut kembung, dan keluhan usus semuanya dilaporkan. Sekitar 67% dari pasien yang melapor ditemukan terinfeksi dengan mycoplasma, dan menderita gejala yang mirip dengan Sindrom Perang Teluk atau Sindrom keletihan kronis. Pejabat pemerintah Belanda dari Departemen Transportasi dan Kesehatan Masyarakat menegaskan bahwa pada saat kecelakaan, diketahui tidak ada risiko kesehatan dari muatan kargo di pesawat; Els Borst, menteri kesehatan masyarakat, menyatakan bahwa "geen extreem giftige, zeer gevaarlijke of radioactieve stoffen" ("tidak ada bahan yang sangat beracun, berbahaya, atau radioaktif") di dalam muatan pesawat. Pada bulan Oktober 1993, yayasan penelitian energi nuklir Laka melaporkan bahwa bagian ekor pesawat mengandung uranium terdeplesi seberat 282 kilogram (622 pon) sebagai bahan pengurang berat pesawat, seperti pada Boeing 747 pada umumnya saat itu; hal ini tidak diketahui selama proses penyelamatan dan penemuan di lokasi kecelakaan.[15][16] Penelitian terhadap gejala yang dirasakan korban selamat dan petugas penyelamat sempat disarankan, tetapi selama beberapa tahun saran ini diabaikan karena tidak ada alasan praktis untuk mengaitkan keluhan kesehatan dari korban selamat dan lokasi kecelakaan Bijlmer. Pada tahun 1997, seorang ahli yang bersaksi di parlemen Israel menyatakan bahwa zat dari bahan berbahaya akan dilepaskan selama proses deplesi uranium di bagian ekor Boeing 747. Penelitian pertama terhadap gejala yang dilaporkan korban selamat, yang dilakukan oleh Academisch Medisch Centrum dari Universitas Amsterdam, dimulai pada bulan Mei 1998. AMC menyimpulkan bahwa puluhan kasus penyakit autoimun di antara korban selamat dapat dihubungkan dengan peristiwa kecelakaan tersebut dan pemberitahuan kesehatan disebarkan ke seluruh dokter di penjuru Belanda dengan permintaan perhatian lebih kepada pasien dengan gejala penyakit autoimun, khususnya jika pasien memiliki hubungan dengan lokasi kecelakaan Bijlmer. Penelitian lain, yang dilakukan oleh Institut Nasional untuk Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan (Rijksinstituut voor Volksgezondheid en Milieu) yang berada di bawah Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan dan Olahraga, menyimpulkan bahwa meskipun bahan beracun telah dilepaskan ke udara pada saat kecelakaan, kecil kemungkinan timbul risiko tambahan terhadap kanker, sekitar satu atau dua tambahan kasus dari sepuluh ribu orang yang terpapar. RIVM juga menyimpulkan bahwa kecil kemungkinan adanya korban mengalami keracunan uranium. Muatan kargoBeberapa saat setalah kecelakaan, diberitahukan bahwa pesawat mengangkut ragam buah-buahan, parfum, dan komponen komputer. Menteri Hanja Maij-Weggen menegaskan bahwa ia yakin pesawat tidak mengangkut muatan kargo militer. Keluhan kesehatan oleh korban selamat setelah kecelakaan menimbulkan banyaknya pertanyaan tentang muatan kargo. Pada tahun 1998, juru bicara maskapai El Al Nachman Klieman memberikan pernyataan publik bahwa pesawat juga mengangkut 190 liter dimetil metilfosfonat dan sebuah bahan kimia tingkat dua yang pada banyak penggunaannya dapat digunakan sebagai bahan sintetik dari gas saraf Sarin. Israel menyatakan bahwa bahan-bahan tersebut tidak beracun, telah digunakan untuk menguji penyaring yang melindungi dari senjata kimia, dan telah terdaftar di daftar muatan kargo sesuai dengan peraturan internasional. Kementerian Luar Negeri Belanda mengkonfirmasi bahwa mereka telah mengetahui keberadaan bahan kimia di dalam pesawat. Pengiriman itu berasal dari sebuah pabrik kimia di Amerika Serikat dan ditujukan kepada Institut Riset Biologi Israel di bawah lisensi Departemen Perdagangan Amerika Serikat.[17][18] Menurut situs senjata berbahan kimia CBWInfo, banyaknya bahan yang ada di dalam muatan kargo pesawat "terlalu sedikit untuk mempersiapkan banyaknya Sarin yang dibutuhkan untuk keperluan militer, tetapi banyak tersebut akan konsisten dengan membuat jumlah kecil untuk menguji metode pendeteksi dan pakaian pelindung."[19][20] Kecelakaan terkait dan dampakKecelakaan ini merupakan satu dari sejumlah kecelakaan yang disebabkan oleh masalah pada penyangga mesin Boeing 707 and 747 yang secara desain sangat identik:[1]
Setelah peristiwa kecelakaan ini, Boeing mengeluarkan arahan perbaikan kepada seluruh pengguna Boeing 747 terkait baut pengunci di penyangga mesin. Mesin dan penyangganya harus dilepas dan dilakukan pemeriksaan terhadap kecacatan di baut penguncinya. Jika terdapat keretakan, baut tersebut harus segera diganti. TayanganKecelakaan ini dibuat menjadi tayangan dokumenter di National Geographic Channel yaitu Seconds from Disaster episode "Amsterdam Air Crash" dan Air Crash Investigation episode "High Rise Catastrophe". Episode "High Rise Catastrophe", yang juga ditayangkan oleh Discovery Channel, menampilkan grafik komputer yang salah dalam mengecat pesawat dengan livery pesawat penumpang El Al, padahal pada kenyataannya, pesawat yang jatuh tersebut tidak memiliki livery bendera Israel dan tulisan El Al, hanya kata "Cargo" yang ditampilkan di kedua sisi pesawat yang sebenarnya. Sebuah film yang dirilis pada tahun 2013, In Het Niets (secara harfiah artinya "Dalam Ketiadaan"), menceritakan sebuah kisah fiksi tentang dua imigran ilegal dari Ghana yang tinggal di gedung apartemen tersebut pada saat terjadinya musibah.[25] Lihat juga
Catatan
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai El Al Penerbangan 1862. Wikimedia Commons memiliki media mengenai 4X-AXG.
|