Ekor adalah bagian belakang sebuah pesawat udara yang umumnya terdiri dari bidang ekor (penstabil melintang) dan sirip ekor (penstabil membujur).[1] Oleh karena itu, ekor merupakan salah satu bidang kendali yang berperan untuk mengatur arah gerak pesawat. Kebanyakan ekor mengatur pergerakan terhadap sumbu anggul dan sumbu geleng. Meskipun demikian, terdapat beberapa pesawat udara yang tidak memiliki ekor. Selain memberikan kendali, ekor juga berperan penting dalam trim dan kestabilan.[2]
Bangun
Bidang ekor atau penstabil melintang adalah bagian mendatar dari ekor. Bidang ekor berperan untuk memberikan kestabilan anggul. Terkadang-kadang terdapat pesawat udara yang menggabungkan bidang ekor dan kemudi tukik sehingga seluruh bidang ekor bergerak untuk memberikan dampak yang sama seperti yang kemudi tukik berikan, yakni pergerakan anggul. Gabungan antara bidang ekor dan kemudi tukik tersebut dikenal sebagai bidang ekor bergerak.
Kemudi tukik terletak pada bagian belakang bidang ekor. Kemudi tukik merupakan lempeng sayap yang dapat digerakkan dan dapat mengendalikan pergerakan dalam arah anggul, gerakan naik dan turunnya hidung sebuah pesawat udara.
Sirip ekor atau penstabil membujur adalah bagian depan dari bagian melintang ekor pesawat udara yang mengatur pergerakan geleng, yakni pergerakan hidung pesawat udara ke kiri dan ke kanan.
Kemudi belok terletak di bagian belakang sirip ekor. Layaknya kemudi tukik, kemudi belok juga merupakan lempeng sayap. Kemudi belok digunakan untuk melakukan pergerakan geleng. Ketika digunakan bersama dengan kemudi guling, pesawat akan mengalami belok miring.
Penyeimbangan adalah penyesuaian letak bidang-bidang kendali pesawat agar pesawat dapat terbang tunak. Oleh karena itu, keadaan seimbang dapat dikatakan tercapai ketika pesawat tidak berputar terhadap pusat gravitasinya.[3] Saat terbang jelajah, pesawat dapat memanfaatkan penyeimbangan agar pilot dan komputer tidak usah memberikan tekanan terus-menerus terhadap bidang ekor dan sirip ekor.
Bidang penyeimbang adalah salah satu perangkat penyeimbang yang paling awam dan biasanya terletak di sela-sela kemudi tukik dan kemudi belok.[4] Bidang penyeimbang dapat diatur melalui roda di ruang kemudi atau engkol. Tak jarang pula penstabil-penstabil di peswat dapat diatur kemiringannya sebesar sekian derajat; dikenal sebagai pensatabil mampu laras.[5] Terdapat pula tali banji yang memanfaatkan gaya pegas untuk memberikan pembebanan mula; bidang antiservo yang memberikan rasa gaya kendali tambahan; dan bidang servo itu sendiri yang juga dapat berperan sebagai bidang penyeimbang selain sebagai bidang kendali utama.[6]
Susunan
Terdapat berbagai susunan ekor, antara lain ekor biasa, silang, T, V dan bertiang.
Seperti namanya, ekor biasa atau ekor rendah adalah susunan ekor yang paling umum ditemui di pesawat udara, khususnya pesawat terbang. Ekor biasa terdiri dari bagian meluar yang terdiri dari bidang ekor di samping bawah dan sirip ekor di tengah dan atas bidang ekor.[7] Pada pesawat baling bermesin satu, susunan biasa memanfaatkan bilas baling untuk mendapatkan dorongan tambahan saat lepas landas sehingga kecepatan putar () dapat diperkecil. Terkadang pula bidang ekor diletakkan sedemikian rupa agar bilas sayap pada sudut serang tinggi mengenai ekor. Hal ini akan membuat ekor berayun sehingga tercipta umpan balik alami yang berperan sebagai peringatan bagi pilot bahwa hilang angkat akan terjadi.[8]
Ekor silang umumunya digunakan oleh pesawat dengan mesin yang diletakkan di ekor. Dengan kata lain, ekor silang adalah jalan tengah antara pemenuhan kebutuhan ekor biasa dan ekor T. Susunan ini memungkinkan pesawat angkut untuk membongkar muat muatannya melalui ekor. Kekurangan dari susunan ini adalah beban puntir yang lebih besar dibandingkan dengan ekor biasa sehingga dibutuhkan bangun yang lebih berat (kukuh), walaupun tak seberat ekor T. Selain itu, kemudi tukik harus dirancang lebih kecil untuk meleluasakan pergerakan kemudi belok.[9] Contoh pesawat yang menggunakan susunan ini adalah British Aerospace Jetstream.
Ekor T adalah susunan ekor kedua yang paling umum digunakan. Pada susunan ini, bidang ekor diletakkan di atas sirip. Oleh karena itu, bidang ekor terhindar dari alun mesin dan kendali gerak dalam sumbu angkat lebih baik. Ekor T pun memilki perbandingan layang yang baik dan lebih sangkil untuk pesawat udara berkecepatan rendah. Bila dibandingkan dengan susunan biasa, ekor T memiliki kekakuan puntir yang jauh lebih tinggi sepanjang bentangnya sehingga kecepatan kibar pesawat dapat ditingkatkan.[10] Meskipun demikian, susunan ekor T harus lebih kuat sehingga membutuhkan sanggahan yang lebih kukuh. Hal ini menambah berat pesawat dan membawa pusat gravitasi pesawat ke belakang. Selain itu, pesawat berekor T berpeluang lebih tinggi kehilangan angkat dan sukar pulih dari perputaran. Karenanya, terkadang terdapat sebuah penstabil kecil kedua yang akan bekerja saat pesawat jatuh bebas.[11] Ekor T pun membuat pesawat memiliki penampang lintang radar yang lebih besar. Contoh pesawat terbang yang menggunakan susunan ini adalah IPTN N-250 dan McDonnell Douglas DC-9 (kemudian Boeing 717).
Ekor V adalah gabungan antara bidang ekor dan sirip ekor. Dengan rancangannya yang miring, ekor V dapat menghasilkan pergerakan arah sumbu anggul dan sumbu geleng sekaligus. Bidang kendali yang bekerja pada susunan V ini dikenal sebagai kendali belok tukik yang bergerak secara masing-masing untuk memberikan gerak geleng dan bergerak secara bersamaan dalam memberikan kendali anggul.
Pembebanan
Beban yang terjadi pada ekor suatu pesawat udara dapat dibagi menjadi dua, yakni beban pada bidang ekor dan beban pada sirip ekor. Pada bidang ekor, bekerja beban yang berasal dari gaya-gaya aerodinamika dan lembam yang berasal dari bagian-bagian pesawat yang lain. Sementara itu, beban yang bekerja pada sirip ekor berasal dari pergeseran kemudi belok, pergeseran kemudi guling, badai samping, dan dorongan mesin yang tidak seimbang.[12]
Rujukan
Catatan kaki
^"empennage". Pasti (Padanan Istilah). Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Diakses tanggal 10 Maret 2024.
Sadraey, Mohammad H. (2013). Aircraft Design: A Systems Engineering Approach. John Wiley & Sons, Ltd. ISBN978-1-119-95340-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Santika, Putu M.; Pramandoro; Sunaryo, Adi; Nureni, Isti (2003). Glosarium Teknik Kapal Terbang. Jakarta: Pusat Bahasa. ISBN979-685-325-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
MacDonald, Sandy A. F. (1991). From the Ground Up. Aviation Book Company. ISBN978-0-9680390-5-2.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Niu, Michael C.Y. (1988). Airframe Structural Design. Hong Kong: Conmilit. ISBN978-1-61-344661-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Gudmundsson, Snorri (2014). General Aviation Aircraft Design: Applied Methods and Procedures. Elsevier. ISBN978-0-12-397308-5.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)