Dalam adat Minangkabau, dibuang sepanjang adat adalah sanksi sosial terhadap individu yang melakukan pelanggaran adat. Individu tersebut dapat dikucilkan dari pergaulan dan tidak diikutsertakan dalam kegiatan kemasyarakatan, walaupun ia masih diizinkan tinggal di tempat tinggalnya.[1] Hukuman ini diberikan oleh dewan penghulu dalam nagari atau sekarang bernama Kerapatan Adat Nagari lewat mekanisme musyawarah.[2]
Pelaku pelanggaran adat dihukum buang selama periode tertentu hingga tak terbatas. Tingkatan hukuman diistilahkan dengan buang siriah, buang biduak, dan buang tingkarang. Buang siriah memiliki masa tempo. Buang biduak dapat ditebus dengan membayar denda atau memenuhi tuntutan yang diberikan. Adapun buang tingkarang berlaku selama-lamanya.[3][4][5]
Di antara yang termasuk pelanggaran adat seperti mencuri, berzina, membunuh, dan merampok karena menyebabkan keteraturan, ketertiban, serta keamanan lingkungan menjadi terganggu.[6] Hukum buang juga bisa diberikan untuk pelanggaran lain. Di Koto Gadang, majalah Sunting Melayu melaporkan seorang wanita mendapat hukuman buang tingkarang lantaran menikah dengan laki-laki dari luar Koto Gadang. Hal ini keluar dari kebiasaan masyarakat Koto Gadang yang menikah hanya dengan pasangan yang berasal dari Koto Gadang untuk menjaga kemurniaan adat istiadat dan keturunan.[7]
Pengucilan akibat hukum ini digambarkan ibarat dibuang ke bukit yang tidak berangin, ke lurah yang tidak berair.[6]
Lihat pula
Referensi