H.Desmond Junaidi Mahesa, S.H., M.H. (12 Desember 1965 – 24 Juni 2023) adalah seorang aktivis dan politikus Indonesia. Ia menjabat sebagai Anggota DPR RI sejak 2009 hingga wafatnya pada 2023 mewakili daerah pemilihan Kalimantan Timur (2009–2014) dan Banten II (2014–2023). Desmond merupakan kader Partai Gerakan Indonesia Raya.
Ia menjabat wakil ketua Komisi III DPR pada periode 2014–2019 sebagai anggota dari daerah pemilihan Banten II dengan mengantongi 61.275 suara dalam Pemilu legislatif 2014. Sebelumnya, ia duduk di kursi Komisi III DPR RI mewakili dari daerah pemilihan Kalimantan Timur dengan mengantongi 13.439 suara dalam Pemilu legislatif 2009. Ia terakhir terpilih dalam Pemilu 2019 dari Banten II dan mengantongi 103.837 suara.
Namanya mulai dikenal publik sejak menjadi salah satu korban penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1997 hingga 1998. Saat itu dirinya tercatat sebagai salah satu aktivis dan mahasiswa yang berjuang menegakkan keadilan dan demokrasi pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.[1]
Terakhir ia juga menjabat Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Gerindra.[2] Ia meninggal dunia pada 24 Juni 2023 pukul 04.00 WIB di Rumah Sakit Mayapada, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan.[3]
Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965, dengan nama kecil Junaidi. Kedua orangtuanya dikenal bersahaja. Ayahnya, Muchtar (alias Tarlan) bin Sirin, adalah seorang petani dan buruh kasar. Sedangkan ibunya, Sa'diah binti Ubak, dikenal sebagai pedagang telur di pasar Batuah, Kota Banjarmasin.
Junaidi menempuh pendidikan di SD Karya Masyarakat, Kabupaten Banjar (1975–1981), SMP Negeri 7 Banjarmasin (1981–1983), dan SMA Negeri 7 Banjarmasin (1983–1986).[4][5]
Junaidi tumbuh besar di Sungai Tabuk dan Pasar Batuah, sebuah kawasan yang padat dan terbilang “kumuh”. Sejak kecil, untuk anak seusianya, ia bekerja keras sambil sekolah sehingga seorang keluarga jauh membiayainya sekolah. Namun, ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Junaidi muda mencoba mandiri. Banyak pekerjaan kasar dilakukannya untuk biaya hidup dan kuliah, termasuk kuli bangunan dan cleaning service di kantor, hingga menarik becak pada malam hari di sekitar Pasa Batuah dan Belauran.
Di kampus Junaidi aktif di Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unlam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kelompok Studi Islam (KSI), Angkatan Muda Baitul Hikmah dan Lingkungan (KSHL). Ia juga aktif menulis artikel untuk Koran Banjarmasin Post dan Dinamika Berita. Garis nasib mulai berubah ketika ia dipercaya dalam Program Lingkungan Hidup GTZ (kerjasama Indonesia-Jerman) antara 1989 dan 2004 di Kalimantan Timur.
Setelah hijrah ke Pulau Jawa, Junaidi bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusantara di Bandung (1996) dan Jakarta (1998) sebagai Direktur. Suatu hari ketika ia menghadiri sidang di pengadilan, kedatangan Junaidi di permasalahkan oleh hakim dan Jaksa karena yang datang bukan Junaidi sebagaimana yang tercantum dalam surat kuasa, tetapi Desmond. Padahal antara Junaidi dan Desmond itu orangnya sama. Oleh karena peristiwa tersebut, Junaidi kemudian mengusulkan perubahan nama di pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi Desmond Junaidi Mahesa sampai meninggalnya. Selain aktif di LBHN, Desmond Junaidi Mahesa juga aktif di Presidium Nasional Walhi (1995–1996), Konsorsium Pembaruan Agraria (1994), Forum Demokrasi (Fordem), dan SPIDE (Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Untuk Perjuangan Demokrasi). Setelah bebas dari penculikan, bersama aktivis kampusnya ia mendirikan Yayasan Dalas Hangit (Yadah) di Banjarmasin pada Mei 1998. Ia juga tercatat sebagai Ketua Yayasan LBH Banjarmasin.
Setelah penculikan dan kembali ke Jakarta, Desmond membuka Kantor Hukum Des & Des di Jakarta pada 1998. Pada tahun 2000 kantor Hukum ini berganti nama menjadi “TREAD’S & Associate”. Di antara kasus yang pernah ditangani adalah kasus Planet Bali, Kartini di Uni Emirat Arab, Bank CIC dan kasus Bank Kesawan. Dan yang mengagetkan, di antara kliennya ada yang bernama Tomy Winata, salah satu pemilik Group Artha Graha. Desmond mendampingi TW dalam rapat dengar pendapat umum Komisi I DPR pada 27 Maret 2003. Dalam pada itu ia menyelesaikan studi S2 di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam, Jakarta, 2004, dengan tesis mengenai reklamasi dan perlindungan lingkungan hidup.
Tanggal 1 Oktober 2009 Desmond Junaidi Mahesa dilantik menjadi anggota DPR RI mewakili rakyat Kalimantan Timur. Ia duduk di komisi III dan Badan Anggaran DPR RI. Diurus Desmond, fraksi langsung tancap gas. Fraksi partai Gerindra menjadi satu-satunya fraksi yang menolak Rancangan APBN 2010. Gerindra pula yang secara resmi dalam jumpa pers Fraksi menyatakan tak tertutup kemungkinan DPR menempuh jalan konstitusional pemakzulan sebagai konsekuensi pengguna Hak Angket DPR untuk pengusutan kasus Bank Century. Sikap kritis demikian ternyata mengagetkan sejumlah kolega dari Sekretaris Fraksi.
Tapi, sikap kritis tak lantas mati. Ia orang pertama di Senayan yang mempertanyakan legalitas jaksa Agung Hendarman Supandji dalam rapat resmi Komisi III DPR, Mesi 2010. Jauh sebelum Prof. Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan permohonan judicial review-nya yang fenomenal ke Mahkamah Konstitusi soal legalitas Jaksa Agung. Ia juga menandatangani lembar Hak Menyatakan Pendapat untuk tindak lanjut kasus bank Century. Selama di Senayan, 3 buku telah diterbitkan, yakni: Presiden Offside, Kita Diam atau Memakzulkan (Mei 2012), Menggugat Logika APBN: Politik Anggaran Partai Gerindra (ditulis bersama Fary Djemy Francis, Juli 2012), dan DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia (2013).
Awal Oktober 2012, Desmond mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Akhir Oktober 2012, Desmond dipercaya menjadi Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI. Dan untuk Pemilu 2014, Desmond mendapat amanah partai untuk maju sebagai calon anggota DPR RI dari daerah pemilihan Banten II yang meliputi Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon.