Penglipuran adalah salah satu desa adat dari Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, Indonesia. Desa ini terkenal sebagai salah satu destinasi wisata di Bali karena masyarakatnya yang masih menjalankan dan melestarikan budaya tradisional Bali dalam kehidupan mereka sehari-hari. Arsitektur bangunan dan pengolahan lahan masih mengikuti konsep Tri Hita Karana, filosofi masyarakat Bali mengenai keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, dan lingkungannya. Mereka berhasil membangun pariwisata yang menguntungkan seluruh masyarakatnya tanpa menghilangkan budaya dan tradisi mereka. Pada tahun 1995, desa Penglipuran juga mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah Indonesia atas usahanya melindungi hutan bambu di ekosistem lokal mereka.[1]
Total area dari desa ini mencapai 112 hektar dengan ketinggian 500-600 meter di atas permukaan laut dan berlokasi sekitar 5 kilometer dari kota Bangli atau 45 kilometer dari Kota Denpasar. Desa ini dikelilingi oleh desa adat lainnya, seperti Desa Kayang di utara, Desa Kubu di timur, Desa Gunaksa di selatan, dan Desa Cekeng. Temperatur bervariasi dari sejuk sampai dingin (16-29 °C) dan curah hujan rata-rata 2000 mm pertahun. Permukaan tanah termasuk rendah dengan ketinggian 1-15 meter.[2]
Sejarah
Desa Penglipuran dipercaya mulai berpenghuni pada zaman pemerintahan I Dewa Gede Putu Tangkeban III.[1] Hampir seluruh warga desa ini percaya bahwa mereka berasal dari Desa Bayung Gede. Dahulu orang Bayung Gede adalah orang-orang yang ahli dalam kegiatan agama, adat dan pertahanan. Karena kemampuannya, orang-orang Bayung Gede sering dipanggil ke Kerajaan Bangli. Namun, karena jaraknya yang cukup jauh, Kerajaan Bangli akhirnya memberikan daerah sementara kepada orang Bayung Gede untuk beristirahat. Tempat beristirahat ini sering disebut sebagai Kubu Bayung. Tempat inilah kemudian yang dipercaya sebagai desa yang mereka tempati sekarang. Mereka juga percaya bahwa inilah alasan yang menjelaskan kesamaan peraturan tradisional serta struktur bangunan antara desa Penglipuran dan desa Bayung Gede.[1][2]
Mengenai asal mulai kata Desa Penglipuran, ada 2 persepsi berbeda yang diyakini oleh masyarakatnya. Yang pertama adalah Penglipuran berarti “pengeling pura” dengan “pengeling” berarti ingat dan “pura” berarti tempat leluhur.[3] Presepsi yang kedua mengatakan bahwa penglipuran berasal dari kata “pelipur” yang berarti hibur dan “lipur” yang berarti ketidakbahagiaan. Jika digabungkan maka penglipuran berarti tempat untuk penghiburan. Persepsi ini muncul karena Raja Bangli pada saat itu dikatakan sering mengunjungi desa ini untuk bermeditasi dan bersantai.[1][2]
Masyarakat
Populasi
Berdasarkan catatan Kelihan Dinas (pejabat pemerintahan di bawah lurah yang khusus menangani administrasi pemerintahan), pada tahun 2002 sampai bulan Juli terdapat sebanyak 832 individu yang bermukim di Desa Adat Penglipuran. 832 individu tersebut terdiri dari 425 orang laki-laki dan 407 orang perempuan dan terdapat 197 Kepala Keluarga yang terbagi menjadi 76 Kepala Keluarga dengan status Pangayah /Karma Pangarep (Anggota tetap dengan hak dan kewajiban penuh dalam adat) dan 121 Kepala Keluarga Pangayah/Krama Roban (Anggota sementara yang keberadaannya menjadi tanggung jawab salah satu Pangayah Pangarep).[1]
Data terbaru pada awal 2012 menunjukan kenaikan jumlah individu yang tidak terlalu banyak, yaitu 980 individu yang tergabung dalam 229 keluarga (76 Kepala Keluarga), dilaporkan oleh I Wayan Kajeng, Ketua Administratif dari Desa Adat Penglipuran). Dalam 12 tahun jumlah penduduk di Desa ini bertambah sebanyak 200 orang.[2]
Pendidikan dan Pekerjaan
Pada tahun 2002, sebanyak 426 orang dari Desa Adat Penglipuran menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD), sementara 91 orang memiliki jenjang pendidikan hingga SLTP, 156 orang menamatkan SLTA, dan 68 orang berhasil menyelesaikan sampai jenjang tertinggi yaitu Perguruan Tinggi.[1]
Pekerjaan yang banyak dilakoni oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran sendiri adalah petani. Sebanyak 140 orang bekerja menjadi petani. Pekerjaan terbanyak kedua yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah menjadi pegawai swasta. Sedangkan sisanya terbagi antara PNS/ABRI, pedagang, peternak, pengrajin, dan buruh.[1]
Pernikahan
Perkawinan dan jalinan garis keturunan bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah sesuatu yang tenget sehingga sangat ditaati oleh seluruh masyarakat. Mayoritas penduduk Desa Adat Penglipuran melakukan pernikahan dengan sesama warga desa. Oleh sebab itu, sebagian besar penduduk masih terikat hubungan darah antara satu sama lain. Jika terdapat laki-laki dari Desa Adat Penglipuran yang menikahi gadis dari klen/keluarga diluar warga Penglipuran, maka dia tetap harus melakukan kewajiban yang dimilikinya sebagai warga Desa Adat Penglipuran.[1]
Pengolahan Lahan Konsep Wilayah Tri Mandala
Pengolahan lahan Desa Penglipuran sangat dipengaruhi oleh Tri Mandala. Menurut konsep Tri Mandala, lahan dibagi menjadi 3 zona sesuai dengan nilai kesuciannya. Zona tersebut kemudian akan ditempatkan sesuai dengan orientasi spiritual yang bernama “Kaja-Kelod”. Hal yang dianggap paling suci akan ditempatkan menuju Gunung Agung (tempat yang paling suci di Bali) dan kebalikannya hal yang paling tidak suci akan ditempatkan menuju laut.[1][2]
Utama mandala/Jeroan adalah tempat yang paling suci dan berada di paling utara. Tempat ini berisikan tempat penyembahan dewa yang disebut sebagai Pura. Pura Puseh Desa digunakan untuk memuja Dewa Brahma (dewa pencipta) dan Pura Bale Agung untuk memuja Dewa Wisnu (dewa pemelihara).
Madya mandala/Jaba Tengah adalah zona untuk manusia. Di sini masyarakat Desa penglipuran akan tinggal bersama dengan keluarganya di sebuah unit bangungan yang disebut sebagai “pekarangan”.
Nista mandala/Jaba Luar berada di bagian paling selatan dan merupakan zona yang dianggap tidak suci. Oleh karena itu, zona ini berisikan Pura Pasetran Prajapati (kuburan desa, Pura Kuburan dan Pura Dalem atau tempat pemujaan Dewa Siwa (dewa pelebur).[1][2]
Jumlah pekarangan di desa ini adalah 77 buah dengan 1 buah “Karang Memadu” Pekarangan ini bagi masyarakat desa Penglipuran digunakan atau diperuntukkan untuk orang yang beristrikan lebih dari satu dan orang tersebut hidup dikucilkan dari masyarakat dan tidak boleh keluar dari pekarangan ini sampai dia taubat atau menyadari kesalahannya karena memperistri lebih dari satu, “Karang Kerti”. Karang Kerti berarti tempat pengabdian diri kepada tuhan dengan kehidapan berumah tangga yang baik.[1]
Sama seperti struktur tata letak desa, struktur tata letak satu unit pekarangan juga mengikuti konsep Tri Mandala. Utama mandala/Jeroan di sebuah pekarangan akan berisi pura keluarga untuk menyembah dewa serta leluhurnya, Madya mandala/Jaba Tengah akan digunakan untuk aktivitas kehidupan sehari-hari (dapur, kamar tidur, dan lain lain). Terakhir, nista mandala/Jaba Luar biasanya digunakan untuk mengeringkan baju dan penyimpanan hewan ternak.[2]
Salah satu bahan utama dari seluruh bangunan adalah bambu. Mereka menggunakkan 4-5 lapisan bambu yang dikaitkan satu sama lain untuk membangun atap sirap dan menganyam bambu untuk dijadikan dinding pembatas ruangan. Namun, belakangan ini masyarakat penglipuran sudah mulai menggunakkan konstruksi modern karena banyaknya bambu yang ditebang. Pekarangan dapat dimasuki melalui dua sisi dengan pintu utamanya yang berbentuk gerbang dan bernama “angkul-angkul" atau pemedal.[2]
Awig-Awig
Untuk mencapai keharmonisan bersama dalam bermasyarakat, warga Desa Adat Penglipuran mempunyai 2 jenis hukum yang mereka taati dan ikuti yaitu Awig (peraturan tertulis) dan Drestha (adat kebiasaan tak tertulis).[1]
Monogami
Bagi masyarakat Desa Penglipuran, mempunyai lebih dari satu istri merupakan hal yang dilarang. Jika seseorang mempunyai lebih dari satu istri maka ia dan istri-istrinya harus pinda dari karang kerti ke karang memadu (masih di dalam desa tetapi bukan bagian utama). Hak dan kewajibannya sebagai warga Desa Adat Penglipuran juga akan dicabut. Setelah orang tersebut pindah, maka akan dibuatkan rumah oleh warga desa tetapi mereka tidak akan boleh melewati jalanan umum ataupun memasuki Pura dan mengikuti kegiatan adat.[1]
Kewajiban beribadah di Pura
Tidak semua pura dapat didatangi oleh setiap orang untuk beribadah kecuali pura utama yaitu Pura Besakih. Oleh sebab itu, warga Hindu Bali mempunyai pura yang mereka puja dan datangi masing-masing. Pura ini dibedakan berdasarkan keluarga masing-masing, tidak terkecuali Desa Adat Penglipuran. Terdapat 3 kewajiban memuja yang harus diikuti oleh warga Desa Adat Penglipuran.[1]
Kewajiban kepada Pura utama – Gebog Doma (Antar regional)
Mengingat masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah pendatang yang bertempat tinggal di daerah baru maka mereka harus memuja pada pura yang terdekat dari kawasan mereka yaitu Pura Kehen yang merupakan pura terbesar di Kawasan Bangli.[1]
Kewajiban kepada Kahyangan Tiga (Antar desa)
Kewajiban yang paling penting unuk masyarakat Bali adalah memuja “Kayangan Tiga” yang terletak di desa masing-masing. Pada Desa Adat Penglipuran kewajiban tersebut terbagi pada:
Pura Penataran – Pura untuk memuja Dewa Brahma sebagai pembuat seluruh alam semesta ini. Pura tersebut terletak di pusat desa, di sebelah Pura Puseh.[1]
Pura Puseh – Pura untuk memuja Dewa Wisnu sebagai penopang seluruh kehidupan. Pura ini terletak pada tempat yang paling suci di Desa Adat Penglipuran, dan merupakan pura pertama yang dibangun di desa ini.[1]
Purah Dalem – Pura untuk memuja Dewa Siwa sebagai dewa pelebur. Oleh sebab itu, Pura ini terletak pada bagian bawah desa, mengarah pada laut. Hal ini ditujukan agar memudahkan jiwa-jiwa warga desa yang sudah meninggal untuk kembali ke tempatnya.[1]
Pada setiap 210 hari sekali berdasarkan kalender Bali, terdapat perayaan Galungan yang diselenggarakan oleh anggota Kahyangan Tiga. Setiap warga harus menyiapkan seserahan, makanan, dan hal-hal yang diperlukan untuk perayaan tersebut.[1]
Kewajiban pada Pura Keluarga
Pada setiap pekarangan rumah keluarga terdapat Sanggah atau pura kecil yang ditujukan untuk leluhur-leluhur dari keluarga tersebut.[2]
Sistem Pemerintahan Desa Adat
Sistem Pemerintahan Desa Adat Penglipuran disusun dalam satu Lembaga Kepemimpinan Adat yang disebut Prajuru Desa Adat Penglipuran. Lembaga ini terdiri dari dua bagian yaitu Kanca Roras dan Bendesa atau Kelihan Adat.[1]
Kanca Roras – majelis perwakilan yang beranggotakan 12 orang. Kanca Roras diambil dari kata Ka-anca yang berarti ditugasi dan roras/rolas yang artinya dua belas. Kanca roras mempunyai fungsi menyerupai majelis perwakilan atau badan legislatif dan pembentukannya berdasarkan urutan kesenioran yang bernamakan sistem ulu-apad.[1]
Kelihan Adat – orang-orang yang dipilih dan dituakan dalam adat. Kelihan adat merupakan pejabat eksekutif yang pengangkatannya dilakukan melalui pemilihan dalam suatu rapat umum (kajudi ring paruman desa). Kelihan Adat mempunyai tugas hanya jika mendapat mandat dari Kanca Roras saja.[1]
Bambu Desa Penglipuran
Bambu dari Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu bambu terbaik yang terdapat di Bali. Masyarakat Penglipuran memercayai bahwa hutan tersebut tidak tumbuh sendiri melainkan ditanam oleh pendahulu mereka. Oleh karena itu, bambu dianggap sebagai simbol akar sejarah mereka.[2]
Hutan bambu yang tumbuh di Desa Adat Penglipura mempunyai luas sebesar 37.7 ha (sebelumnya 50 ha) dan terdiri dari 15 spesies bambu yang seluruhnya berstatus milik desa. Sebagian dari hutan tersebut dikelola langsung di bawah Adat Desa sebagai Laba Pura (diperuntukan untuk pemeliharaan bangunan pura), sedangkan sebagian dikelola oleh beberapa penduduk dengan status hak pakai.[1]
Bambu juga dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran sebagai bahan untuk membuat bangunan maupun rumah. Berikut adalah beberapa bangunan yang dibangun menggunakan bambu:
Pawon – Bangunan yang berfungsi sebagai dapur yang didalamnya terdapat lumbung padi serta tempat kecil untuk beristirahat. Pawon dibangun keseluruhannya menggunakan bambu termasuk atap, dinding, tempat tidur, bahkan peralatan makan yang terdapat di dalamnya.[4]
Bale Sakenem – Bangunan tempat dilaksanakannya upacara agama yang hanya dikhususkan untuk keluarga. Upacara yang sering dilakukan pada Bale Sakenem ini adalah upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dan upacara Manusa Yadnya. Bangunan ini memakai bambu sebagai atapnya.[4]
Bale Banjar – Bangunan yang dapat digunakan bersama oleh seluruh masyarakat adat di Penglipuran. Bangunan ini tidak memiliki dinding, hanya memiliki tiang penyangga dan digunakan untuk prosesi upacara Ngaben massal dan pertemuan warga.[4]