Pura Kehen yang terletak di Desa Cempaga, Bangli, memiliki banyak keunikan.[3] Selain letaknya yang strategis, pada pintu masuk pura tidak menggunakan candi bentar seperti pada Pura Kahyangan Jagat umumnya. Pintu masuk Pura Kehen memang agak berbeda, yakni menggunakan candi kurung. Di samping itu, keberadaan Bale Kulkul pada batang pohon beringin turut memberi warna lain bagi Pura Kehen yang menjadi salah satu objek pariwisata unggulan Bangli.[4][5]
Sejarah
Sulit untuk menentukan kapan tepatnya Pura Kehen didirikan. Namun, terdapat tiga prasasti tembaga yang menyangkut keberadaan Pura tersebut.[6] Salah satunya yaitu, prasasti ketiga yang memuat mengenai petunjuk-petunjuk untuk para penduduk sekitar saat upacara-upacara besar di Pura Kehen, bertarikh Saka 1126 (1204 Masehi). Prasati ini memuat nama Raja Sri Dhanadhiraja yang merupakan putra dari Raja Bhatara Parameswara dan cucu dari Bhatara Guru Sri Adhikunti beserta permaisurinya Bhatara Sri Dhanadewi. Prasasti pertama yang terdiri dari 18 baris dan berbahasa Bali Kuno ada menyebutkan nama “Hyang Karinama”. Hyang Api di Desa Simpat Bunut (“Wangunan pertapaan di Hyang Karinama jnganangan Hyang Api di Wanua di Simpat Bunut- Hyang Tanda”). Prasasti ini diperkirakan berangka tahun 804-836 Saka (882-914 Masehi). Dan prasasti kedua terdiri dari 10 baris dan berbahasa Jawa Kuno menyebutkan nama Senapati Kuturan, Sapatha dan nama-nama pegawai raja. Prasasti ini diperkirakan dalam tahun Saka 938-971 (1016-1049 Masehi).
Nama Hyang Api yang termuat dalam prasasti pertama menjadi Hyang Kehen dalam prasasti ketiga dan selanjutnya menjadi Pura Kehen. Ini berarti bahwa Pura Kehen telah ada pada tahun Saka antara 804-836 (antara tahun Masehi 882-914 Masehi). Jadi, Pura Kehen sudah ada pada akhir abad IX atau permulaan Abad X Masehi. Keberadaan Pura Kehen yang memiliki keterikatan dengan sejarah Desa Bangli termuat dalam prasasti No. 705 Prasasti Pura Kehen C.
Dalam perjalanan sejarahnya, desa, banjar, atau Pura yang berada di wilayah Desa Bangli bersatu dalam satu kesatuan yang utuh dikenal dengan istilah Gebog Domas. Dalam Gebog Domas ini seluruh banjar atau desa memiliki tanggung jawab terhadap keberadaan Pura Kehen, krama, dan lingkungan di Desa Bangli. Ditambah dengan kuatnya rasa persatuan dari beberapa desa diluar Gebog Domas, dikenal pula istilah bagi desa-desa yang juga menjadi pengemong Pura Kehen sebagai Bebanuan Pura Kehen. Bebanuan Pura Kehen meliputi Banjar Blungbang, Banjar Pule, Banjar Kawan, Banjar Pande, Banjar Tegallalang, Banjar Geria, Banjar Nyalian, Banjar Penatahan, Banjar Tanggahan Peken, Banjar Pukuh, Banjar Demulih, Banjar Pengelipuran, Banjar Kubu, Banjar Bebalang, Banjar Tegal, Banjar Sedit, Banjar Gancan, Banjar Sembung, Banjar Petak, Banjar Gunaksa, Banjar Pekuwon, Banjar Tegal Suci, dan Banjar Sidembunut.[7]
Wadah Gebog Domas dan Bebanuan Pura Kehen menjadi simbol bahwa banjar-banjar di wilayah Desa Bangli adalah sebuah kesatuan, dia juga menjadi simbol keunikan dan kekhasan Bangli dengan desa-desa di wilayah atau daerah lain. Semangat kebersamaan dan kerukunan secara turun-temurun mewarnai setiap aktivitas yang terkait dengan keberadaan Pura Kehen. Bebanuan menjalankan kewajiban dan mengemban tanggung jawab masing-masing.[8]
Berdasarkan penuturan Jero Gede Kehen dan penglingsir Puri Agung Bangli, Anak Agung Gede Bagus Ardhana, pada zaman kerajaan, seiring sejalan dengan peran Bebanuan, pihak puri atau raja secara khusus memberi pengayoman, dukungan moral dan material setiap penyelenggaraan upacara di Pura Kehen. Pasca zaman kerajaan, pengayoman dan dukungan itu kemudian diberikan pihak Pemerintah Kabupaten Bangli.
Pohon beringin
Pohon beringin yang tumbuh sangat besar di areal Pura Kehen sangat disakralkan oleh masyarakat. Masyarakat lokal percaya bahwa jika batang pohon beringin tersebut patah, itu berarti sebuah musibah (grubug) akan terjadi.[9] Kesimpulan ini diambil dari banyaknya peristiwa yang telah terjadi turun temurun sejak ratusan tahun silam. Bahkan, letak batang yang patah juga diyakini sebagai pertanda bahwa seseorang akan mengalami musibah.[10]
Sebagai contoh, ketika Raja Bangli meninggal dunia, batang pohon yang terletak di Kaja Kangin (timur laut) akan patah. Bila batang pohon sebelah Kaja Kauh (barat laut) yang akan patah, maka yang meninggal adalah seorang pendeta. Pertanda bagi masyarakat umum jika musibah menimpa adalah batang pohon sebelah Kelod Kangin (tenggara) maupun Kelod Kauh (barat daya) yang akan patah.[11]
Fungsi khusus
Berdasarkan isi prasasti Pura Kehen B dari tahun 1049 M, pada saat itu, ketika pemerintahan Raja Anak Wungsu, Pura Kehen memiliki fungsi khusus yaitu tempat suci yang dipergunakan sebagai tempat "penyumpahan" bagi para pejabat kerajaan. Dalam upacara tersebut bagi pejabat kerajaan yang tidak setia kepada kewajibannya akan kena "Sapata" atau kutukan yang sangat menyeramkan, seperti Hina, Papa, Hancur keluarga dan seketurunannya, selalu terbelit noda, sengsara dan malapetaka, tidak akan menemukan kebaikan apapun.[12]
Dewa yang dipuja dalam upacara penyumpahan tersebut adalah Hyang Api atau Hyang Kehen yaitu Dewa Agni sebagai saksi dalam wujud sebagai Dewa Api.
Sehingga fungsi Pura Kehen sebagai tempat suci dalam upacara penyumpahan didukung oleh adanya sebuah bejana, yang dibelit empat ekor ular naga yang disebut "Bejana Sarpantaka". Sampai saat ini bejana tersebut ditempatkan dalam sebuah bangunan berbentuk gedong yang terletak di sebelah timur dari meru tumpang 11 di jeroan. Bejana Sarpantaka pada saat dilaksanakan upacara penyumpahan berfungsi sebagai tempat "Tirta Sarpantaka" yaitu Air Suci Sumpah yang diberikan kepada mereka yang disumpah.
Lihat pula
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Pura Kehen.