Desa Cepogo terdiri dari 22 dukuh yang bernaung dalam 4 dusun[1]:
Dusun
Dukuh
I
Cepogo, Jambean, Bendosari, Wates, Kupo dan Banaran
II
Sidomulyo, Wonosari, Tumang, Tegalrejo
III
Tumang Gunungsari, Tumangsari, Tumang Kukuhan, Tumang Kulon dan Dukuhan
IV
Wonosegoro, Daleman, Dalemrejo dan Gatak
Sejarah
Asal muasal Desa Cepogo tidak tercatat dalam sejarah secara tertulis, namun keberadaan Desa Cepogo tidak akan terlepas dari keberadan Dukuh Tumang yang di jadikan pusat pemerintahan desa, sehingga sejarah Tumang lebih menonjol, hal ini tidak terlapas dari keberadaan Dukuh Tumang yang merupakan dukuh industri kerajinan logam yang lebih dikenal di masyarakat luas baik dalam negeri maupun luar negeri di banding nama Cepogo.
Pada abad ke-9 pada masa Kerajaan Mataram Kuno, Dukuh Tumang merupakan hutan belantara, lokasi tersebut sering di pergunakan sebagai tempat pembakaran mayat pada masa peradaban hindu, pancaran api dari pembakaran mayat tersebut tampak dari kejauhan, sehingga di kalangan masyarakat sekitar timbul dugaan dimana sumber pancaran tersebut merupakan mahluk halus yang biasa di sebut Hantu Kemamang. Dengan semakin bertambahnya penduduk yang tadinya merupakan hutan belantara lambat laun mulai dirambah masyarakat sebagai perkampungan maupun lahan pertanian dan perkebunan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Unsur kata Tumang di ambil dari kata-kata masyarakat yang dahulu sering melihat adanya pancaran yang berasal dari pembakaran mayat, di mana masyarakat pada waktu itu masih mempercayai bahwa pancaran api tersebut merupakan roh halus atau Hantu Kemamang.
Pada sekitar dasawarsa 1930an, saat Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh Pakubuwana X, tersiar kabar bahwa salah satu pusaka keraton yang hilang (bahasa Jawa: Murco), berdasarkan informasi ahli nujum keraton mengatakan bahwa pusaka keraton yang murco tersebut berada di Dukuh Tumang, tepatnya berada di sekitar Makam Kyai Ageng Rogosasi. Dari informasi tersebut PB X beserta jajarannya melacak keberadaan pusaka tersebut ke wilayah Tumang, dengan mengadakan berbagai ritual cara keraton. Pada saat Raja Paku Buwono X mengambil Pusaka tersebut, beliau melihat aktivitas warga di wilayah Tumang, khususnya di Dukuh Gunungsari sedang bekerja membuat dan memperbaiki alat dapur yang berbahan baku Tembaga, melihat aktivitas warga yang berbeda dengan mayoritas warga di wilayah Keraton Surakarta, Raja memberikan nasihat dan pesan sebagai berikut "Wis terusno, besuk bakal dadi dalan rejekimu" (bahasa Indonesia: "Teruskan, kelak akan menjadi jalan rejekimu"), pada saat itu, titah raja merupakan perintah bagi warganya yang harus di laksanakan dan di junjung tinggi. Sampai saat ini kerajinan tembaga masih di tekuni masyarakat Dukuh Tumang dan bahkan sekarang berkembang dengan pesat tidak sebatas logam Tembaga namun juga yang berbahan alumunium, kuningan dan besi, demikian pula dari segi hasil kerajinannya, di mana yang dulu hanya pembuatan alat dapur sudah berkembang ke arah yang lebih modern, dengan menghasilkan hiasan kaligrafi, dan lain-lain.
Geografi
Desa Cepogo mempunyai luas 3.950.900 Hektar, tanah kas Desa 584.30 ha. Desa Cepogo berada di ketinggian 900 mdpl. Letak desa ini berjarak 3 km dari kantor kecamatan, 14 km ke ibukota kabupaten dan 150 menuju ibukota provinsi.
Wilayah desa ini sebagian besar merupakan lahan kering baik berupa tegalan, pekarangan dan perkebunan. Desa Cepogo merupakan salah satu desa di Kecamatan Cepogo yang memiliki potensi galian tipe C.