Tidak jelas kota di sisi Hydaspes mana yang dinamai Boukefala ataupun Nikaia. Dibangun di lokasi pertempuran, kota di sisi timur Hydaspes tampaknya dinamai Nikaia (dari nike, terj. har. "kemenangan"), sementara nama kota di sisi barat Hydaspes diyakini diambil dari nama kuda Aleksander, Bukefalus, yang mati saat atau setelah pertempuran. Pembangunan Boukefala dan Nikaia diawasi oleh Krateros, salah satu jenderal utama Aleksander. Kedua kota tersebut awalnya rusak akibat hujan muson Asia Selatan. Boukefala tampaknya memiliki peninggalan yang lebih menonjol daripada Nikaia. Disebut oleh Plinius Tua dan Ptolemi, Boukefala muncul dalam manuskrip abad ke-1 M Periplus Maris Erythraei dan kemudian di peta Tabula Peutingeriana. Letak pasti dari Boukefala dan Nikaia tidak diketahui, tetapi Boukefala diperkirakan terletak di dekat Jalalpur saat ini, sementara Nikaia diperkirakan terletak di dekat Mong saat ini.
Catatan sejarah
Pendirian
Aleksander Agung, raja Makedonia (m. 336–323 SM), menginvasiKekaisaran Akhemeniyah Persia pada tahun 334 SM. Ia lalu mengalahkan raja Persia Darius III (m. ca 380 – 330 SM) dalam pertempuran Issus (333 SM) dan Gaugamela (331 SM), sehingga ia berhasil menguasai sebagian besar Asia Barat. Aleksander kemudian berhasil melawan Bessus, satrapBaktria, yang telah membunuh Darius dan mengangkat dirinya sendiri menjadi Artakserkses V dari Persia. Setelah menangkap dan mengeksekusi Bessus, Aleksander bergerak ke arah selatan menuju sungai Indus untuk mengalahkan penguasa-penguasa lokal. Setelah berhasil merebut benteng Aornos, yang kini berada di Pakistan bagian utara, pada bulan April 326 SM, Aleksander menyeberangi Indus untuk memulai pertempuran di India bagian utara. Ia lalu melakukan serangkaian manuver untuk menyeberangi sungai Hydaspes (kini Jhelum) dan mengalahkan raja India Porus dalam Pertempuran Hydaspes.[1]
Cerita mengenai pendirian Boukefala dan Nikaia usai Pertempuran Hydaspes muncul dalam lima catatan besar yang masih ada—Arrian, Plutark, Diodorus, Kurtius Rufus, dan Yustinus. Lima catatan tersebut sama-sama menyatakan bahwa Aleksander mendirikan dua kota, masing-masing di tiap sisi Indus, yang mana salah satunya diberi nama Nikaia dan satu lainnya diberi nama Boukefala.[2]Krateros, salah satu jenderal utama Aleksander, kemudian ditunjuk untuk membangun dan membentengi dua kota baru tersebut, sebuah tugas yang juga ia lakukan beberapa bulan sebelumnya di Arigaion (sebuah kota kuno yang mungkin terletak di Nawagai saat ini). Diodorus menambahkan catatan bahwa dua kota tersebut dapat dibangun dengan cepat karena tersedia banyak tenaga kerja di sana.[3] Sebelum kembali bergerak untuk melanjutkan kampanye India, Aleksander merayakan kemenangan dan pembangunannya dengan apa yang Arrian sebut sebagai "kontes kuda dan senam" di dekat kota barat.[4] Aleksander kembali ke dua kota tersebut beberapa bulan kemudian setelah tentara Makedonia melakukan dahagi di Hyphasis (kini Sungai Beas) dan memaksanya untuk kembali. Ia kemudian memerintahkan pasukannya untuk membantu memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh muson, sebuah fenomena yang sebelumnya tidak diketahui oleh pihak Makedonia, karena bangunan-bangunan di sana tidak dirancang untuk menahan hujan deras.[5]
Terdapat sejumlah perdebatan mengenai apakah Alexander berniat mendirikan dua kota tersebut untuk dijadikan kota yang berkembang cepat atau dijadikan garnisun militer guna mengendalikan wilayah yang telah berhasil dikuasai. Sejarawan N. G. L. Hammond berteori bahwa Boukefala dan Nikaia, didirikan di tepi sungai besar, pasti didirikan dengan mempertimbangkan rute perdagangan.[6] Menurut Arrian, Aleksander mungkin juga mendirikan galangan kapal di Boukefala, walaupun Kurtius Rufus menyatakan bahwa galangan kapal tersebut terletak di Acesines (kini Sungai Chenab).[7] Boukefala dan Nikaia juga memiliki keunikan di antara sejumlah kota yang didirikan oleh Aleksander, yakni tidak berada di dalam atau di dekat benteng atau ibukota provinsi yang telah ada sebelumnya.[8]
Namun, sumber-sumber yang ada tidak dapat menjelaskan pendirian dan penamaan dua kota tersebut secara rinci. Arrian memisahkan klausa-klausa yang merinci letak dan penamaan dari dua kota tersebut, sehingga meskipun pembacanya mengetahui bahwa salah satu dari dua kota tersebut dinamai Nikaia, sementara satu kota lainnya dinamai Boukefala, tidak jelas kota mana yang dinamai demikian. Meskipun opini kritis cenderung menyatakan bahwa Nikaia adalah kota yang terletak di bagian timur, sejarawan A. B. Bosworth mencatat bahwa opini tersebut bersifat tentatif karena ketidakjelasan tata bahasa.[9] Sumber-sumber lain juga tidak dapat memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai hal tersebut, dan kemungkinan Arrian sendiri juga tidak mengetahui kota mana yang dinamai dengan nama yang mana.[2]
Terdapat juga kebingungan mengenai waktu kematian Bukefalus, kuda Aleksander, yang menjadi cikal bakal dari nama Boukefala. Yustinus menulis bahwa Bukefalus mati pada awal Pertempuran Hydapses.[10] Namun, Plutarkh menyebut bahwa Bukefalus mati entah akibat luka atau usia tua, "bukan saat itu, tetapi beberapa waktu setelahnya".[11] Arrian juga menyatakan bahwa Bukefalus, yang berusia sekitar 30 tahun, mati akibat usia tua.[12] Diodorus dan Kurtius Rufus memisahkan pendirian dua kota tersebut dengan penamaannya, mungkin karena Bukefalus baru mati setelah keberangkatan Aleksander ke arah timur, dan permukiman tersebut baru dinamai setelah Aleksander kembali ke wilayah tersebut.[2]
Sejarah selanjutnya
Boukefala tampaknya berhasil bertahan selama beberapa abad di bawah kendali dari Kekaisaran Maurya (eksis pada tahun 320–185 SM), sementara kehadiran kerajaan India-Yunani (eksis pada tahun 170 SM–10 M) di sana kemudian juga membantu Boukefala untuk bertahan.[13] Pada abad ke-20, klasikis Inggris William Woodthorpe Tarn mengklaim bahwa Boukefala adalah ibu kota dari wilayah yang dikuasai oleh raja India-Yunani abad ke-1 SM Hippostratus, karena keberadaan dari sebuah simbol di koinnya yang William klaim hanya dapat dicetak di sebuah kota Yunani. Namun, teori tersebut dianggap cacat, karena tidak pernah ditemukan koin semacam itu di dekat Hydaspes.[14] Sementara itu, sejarawan India A. K. Narain mempertanyakan apakah Boukefala masih eksis pada zaman Menander I (tahun 150 SM), tetapi ketidakpastian tersebut dipatahkan oleh kehadiran Boukefala dalam karya abad ke-1 M Perjalanan Laut Eritrea, sebuah panduan untuk pelaut niaga Romawi.[15]
Boukefala juga muncul dalam sejumlah teks Yunani-Romawi lain, termasuk berbagai resensi dari Romansa Aleksander dan tulisan-tulisan Ptolemi, dan Plinius Tua, yang menyebut kota tersebut sebagai kota utama dari tiga kota yang dikuasai oleh suku Asini. Kota tersebut juga muncul pada Tabula Peutingeriana dan di tulisan-tulisan Yaqut al-Hamawi, seorang cendekiawan Islam abad ke-13 M.[16] Nikaia tampaknya lebih jarang disebutkan dalam sumber-sumber kuno. Dimungkinkan bahwa nama Aleksandria untuk Porus, yang sering disebutkan, pada kenyataannya merujuk kepada Nikaia.[17]
Sumber-sumber kuno umumnya konsisten mengenai penamaan dua kota tersebut. Boukefala jarang disebut sebagai "Boukefalia", atau "Alexandria Boukephalos" pada zaman Bizantium.[2] Aleksander, yang sering mendirikan kota usai meraih kemenangan militer, sebelumnya juga sempat mendirikan permukiman lain bernama "Nikaia" di timur Paropamisadae. Tarn berpendapat bahwa semua kota yang didirikan oleh Aleksander dinamai "Aleksandria" dan nama lainnya sebenarnya hanya julukan.[18] Kesimpulan tersebut umumnya dianggap tidak berdasar.[19]
Lokasi
Menurut sejarawan Getzel Cohen, lokasi Boukefala dan Nikaia telah menjadi bahan perdebatan sejak zaman dahulu.[20] Karena aliran Sungai Jhelum sering berubah sejak zaman dahulu, sehingga membentuk tanah rawa di sisi timur, dan muson India juga telah merusak dua kota tersebut pada masa Aleksander, hampir tidak mungkin dua kota tersebut masih tersisa hingga saat ini, bahkan di bawah air sungai sekalipun. Meskipun sejumlah sejarawan menganggap bahwa Boukefala terletak di kota Jhelum atau di sebuah tel dekat Dilawar, pandangan yang paling menonjol, sebagaimana dicetuskan oleh arkeolog Aurel Stein pada tahun 1932, adalah bahwa Boukefala terletak di bawah Jalalpur Sharif saat ini.[21] Sebuah monumen untuk mengenang kehidupan Aleksander kemudian dibangun mulai tahun 1998 hingga 2011 di dekat kota tersebut, dengan didanai oleh Pemerintahan Pakistan, kedutaan besar Yunani di Islamabad, dan donasi pribadi. Namun, kondisi monumen tersebut makin memprihatinkan pada tahun 2023.[22]
Karena Boukefala terletak di seberang Nikaia,[23] jika Boukefala terletak di Jalalpur, maka Nikaia kemungkinan besar terletak di kota Mong, yang berjarak 10 kilometer (6,2 mi) ke timur di seberang sungai.[24] Hipotesis tersebut dicetuskan oleh Alexander Cunningham pada Survei Arkeologi India pertama.[25] Lainnya menyatakan bahwa Nikaia terletak di dekat desa Sukchainpur saat ini. Di sisi lain, Stein "menyimpulkan bahwa mustahil untuk memastikan lokasi dari Nikaia".[24]
Rujukan terhadap dua kota tersebut kemungkinan juga muncul dalam Mulasarvastivada Vinaya, sebuah teks tripitaka dari aliran Buddha awal yang kemungkinan berasal dari zaman kaisar KushanKanishka (m. ca 127 – 150 M).[26] Teks tersebut, yang merinci salah satu perjalanan Buddha, menyebut bahwa dua kota bernama Ādirājya ("Tempat Kerajaan Pertama") dan Bhadrāśva ("Tempat Kuda yang Baik") terletak di Sungai Vitastā (diyakini Sungai Hydaspes) di sepanjang jalan dari Gandhara ke Mathura. Meskipun Buddha menghubungkan dua kota tersebut dengan raja mitos Mahāsammata, terdapat kemungkinan bahwa dua kota tersebut pada kenyataannya adalah Boukefala dan Nikaia.[7] Selain itu, tradisi Hindu lama di sebuah kuil di Mangla Devi di situs Garjak di atas Jalalpur juga meliputi cerita mengenai kematian dari seekor kuda ajaib.[27]