Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh, disingkat BPPC merupakan salah satu lembaga yang pernah terlibat dalam bisnis cengkih di Indonesia. Sepanjang keberadaannya, lembaga yang penuh kontroversi dengan monopolinya ini terkait dengan salah satu putra Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy). Seperti menurut surat kabar Amerika Serikat Los Angeles Times di Maret 1998: "BPPC adalah simbol kebobrokan dan kejatuhan ekonomi Orde Baru dengan nepotisme dan penipuannya".[1]
Akar dari BPPC sendiri bermula ketika di akhir 1980-an, sekelompok pedagang cengkih yang dipimpin Tjia Eng Tek, seorang pedagang Singapura[2] ingin mengendalikan perdagangan cengkih dengan membeli banyak cengkih (17.000 ton)[1] di Maluku dan Sulawesi[3] pada 1987-1988, dengan tujuan bisa memaksa produsen kretek untuk membeli dari mereka. Namun, mereka gagal total karena produsen kretek umumnya sudah memiliki suplai dari petani-petani secara konstan, sehingga mereka tidak memerlukan pedagang. Belum lagi Tjia dan kawan-kawannya tidak memiliki kapasitas gudang yang besar untuk menumpuk semua cengkih pada mereka. Gagal, lalu mereka berusaha mengajak Tommy untuk ikut dalam bisnis cengkih, dan sang "Pangeran Cendana" pun tertarik. Ia lalu membawa perusahaan miliknya, PT Bina Reksa Perdana untuk bergabung dengan pedagang cengkih pimpinan Tjia.[4][5] Tidak lama kemudian, bergabung sejumlah pengusaha kuat era Orde Baru, seperti Robby Sumampouw, Jantje Wirotjijan, Baktinendra Prawiro ke konsorsium Tommy tersebut.[2]
Tommy dalam perkembangannya berhasil membujuk Soeharto ayahnya untuk mengendalikan harga cengkih sebagai "komoditas penting".[5] Awalnya, pemerintah menunjuk PT Kerta Niaga untuk menetapkan harga minimum cengkih sekitar Rp 7.000/kg, dengan alasan untuk melindungi petani kecil dari penurunan harga cengkih saat waktu panen. Namun, PT Kerta gagal karena tidak memiliki dana yang mencukupi. Sebenarnya, pemerintah sudah berusaha mencoba hal tersebut dari 1980-an awal, namun mengalami hal serupa: tidak ada dana dan penyimpanan yang memadai.[2][5] Maka, Tommy kemudian mengusulkan pendirian sebuah lembaga/perusahaan swasta untuk mengatasi masalah tersebut, yang ia sampaikan pada 19 Januari 1990 ke Menteri Perindustrian Hartarto. Lembaga ini direncanakan akan menjadi pembeli tunggal cengkih dari petani dan penyalur satu-satunya cengkih ke industri rokok, makanan, dan pengguna cengkih lainnya. Rencananya, harga cengkih akan dibeli dari petani sekitar Rp 7.570/kg dan dijual ke perusahaan pengguna cengkih sebesar Rp 10.525-12.000/kg, dengan keuntungan akan dipertahankan lembaga monopoli tersebut, yang diperkirakan mencapai US$ 100 juta/tahun. Lembaga itu, yang dikenal dengan nama BPPC, didirikan pada Desember 1990 dan kemudian ditunjuk pemerintah (Menteri Perdagangan Arifin Siregar) sebagai pelaksananya pada 28 Desember 1990,[2][6] lewat Keputusan Mendag No. 306 dan 307/1990.[7]
Tommy kemudian menjadi ketua BPPC pada Januari 1991. Di bawah BPPC, tergabung PT Kerta Niaga, 828 Koperasi Unit Desa (KUD), dan 5 pengusaha (termasuk PT Bina Reksa Perdana) yang membentuk PT Kembang Cengkeh Nasional (sebelumnya Konsorsium Cengkeh Nasional).[8] Walaupun usulan BPPC ditentang oleh asosiasi pengusaha rokok Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), namun gagal. Bahkan, Mendag saat itu mengklaim bahwa BPPC adalah alat demi menyempurnakan perdagangan cengkih, suatu hal yang diiyakan oleh Tommy yang menafsirkan BPPC adalah alat membantu petani cengkih. Dengan modal 90.000 ton cengkeh, BPPC memulai operasionalnya.[1][4][5] Pemerintah kemudian menyalurkan kredit berbunga rendah ke BPPC sebesar Rp 569 miliar dan pinjaman dari Bank Bumi Daya senilai Rp 190 miliar, yang merupakan hasil dari lobi Tommy pada sang ayah pada April dan Oktober 1991.[5][6][9] Hal itu dilakukan setelah Tommy gagal meminjam uang dari Sultan Brunei sebesar US$ 650 juta (yang dianggap sebagai hutang negara) dan sebelumnya meminta dari Bank Indonesia untuk meminjamkan dana dengan jumlah hampir serupa (US$ 600 juta).[5]
Awalnya, para petani memang terbantu, ketika harga cengkih mereka dibeli sesuai yang dijanjikan. Akan tetapi, kemudian mereka makin banyak menanam dan menghasilkan cengkih karena tawaran harga yang stabil, sementara pabrik kretek yang dirugikan kemudian mengurangi penggunaan cengkih mereka atau memaksimalkan stok yang ada. Belum lagi masalah beberapa pabrik kretek yang bisa membeli di luar BPPC karena korupsi pengelolaannya di daerah penghasil kretek.[4] Tidak hanya itu, pengusaha rokok kretek kemudian menaikkan harga produk mereka sehingga pembelinya menurun.[5] Akibatnya, justru pemerintah dirugikan karena pajak rokok menurun.[10] Muncullah masalah berupa ketidakseimbangan supply and demand (penawaran dan permintaan) cengkih di pasaran. Februari 1992, Tommy menyatakan bahwa dari 117.000 ton cengkih yang dibeli dari petani dan 90.000 cengkih simpanan BPPC, mereka hanya mampu menjual 37.000 ton saja. Secara mengejutkan, Tommy lalu memerintahkan petani untuk membakar dan menebang pohon cengkih mereka, dan bahkan menyebut pinjaman pemerintah ke BPPC akan dibayar dengan cengkih yang terlalu banyak.[11] Ketika sejumlah pejabat Golkar menolak usulan tersebut, Tommy menegur mereka dengan alasan para pejabat tersebut tidak berkompeten untuk mengurusi cengkih.[4] Tidak hanya itu, akibat BPPC menolak membeli cengkih dan ketika di saat yang bersamaan tidak ada pihak lain yang bisa membeli, harga cengkih per kilogram pun melorot dari harga yang dijanjikan (Rp 7.000) menjadi di bawah Rp 2.000 saja, bahkan pernah juga melorot menjadi Rp 250/kg, di saat BPPC tetap menetapkan angka Rp 10.000-12.000 untuk dijual ke pabrik rokok.[4][9]
Meskipun masalah mulai muncul, pada 11 dan 16 April 1992, Soeharto justru mengeluarkan regulasi untuk memberikan legitimasi bagi kehadiran BPPC, dalam Keppres No. 20/1992 dan Inpres No. 1/1992. Pemerintah saat itu menjanjikan bahwa harga cengkih akan dipatok di harga Rp 6.000-7.900, meskipun masih banyak potongan-potongan biaya kepada petani.[12][13] Belum lagi adanya janji "Dana Penyertaan Modal" (DPM) dan "Simpanan Wajib Khusus Petani" (SWKP) yang diambil dari keuntungan BPPC yang diperkirakan mencapai Rp 2 miliar, rupanya tidak pernah disalurkan kepada mereka.[14] Pada saat yang sama, BPPC terus diuntungkan dengan harga cengkeh yang tidak riil, ditambah adanya komisi dan pajak dalam perdagangan cengkih.[10] Cengkih yang digunakan harus diperiksa BPPC, dan pemerintah mengancam adanya penyitaan dan denda jika pabrik rokok tidak menurutinya.[15] Tidak lama kemudian, harga resmi cengkih pun diturunkan menjadi Rp 6.000/kg untuk mencegah petani menanam stok cengkih. Tommy kemudian juga meminta INKUD untuk mengendalikan perdagangan cengkih di luar Jawa, dengan kewajiban mereka tidak boleh menjual cengkih sampai BPPC selesai menghabiskan stok cengkih mereka. Artinya, kebijakan membeli cengkih kini ada di tangan INKUD, sementara BPPC melenggang bebas menjual cengkih dan mendapat keuntungan. INKUD kemudian juga diminta untuk membayar pinjaman pemerintah yang diberikan kepada BPPC.[4][6]
Nyatanya, akhirnya petani merugi banyak dari keberadaan BPPC. Pertanian cengkih yang pernah menyejahterakan petani cengkih dan makmur pra-BPPC,[16] justru membuat mereka miskin.[9] Bahkan, kehadiran BPPC dinilai beberapa kalangan ikut memengaruhi hampir bangkrutnya salah satu pabrik rokok terbesar saat itu, Bentoel,[17] dan menyulitkan keuangan PT Djarum yang hampir menutup PB Djarum miliknya.[18] Janji pemerintah dalam dana-dana seperti DPM, SWKP, Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh, ditambah dana simpanan INKUD senilai Rp 1,1 miliar (1998),[7] hampir tidak nampak membantu petani. Pada 1994, harga cengkih sudah melorot dari Rp 7.900 menjadi Rp 4.000/kg.[7] Meskipun demikian, pemerintah dan BPPC tetap tidak bergeming. Di tahun 1996, Tommy kembali meminta petani untuk membakar kelebihan cengkih mereka,[1] yang kemudian benar-benar diikuti petani cengkih yang marah.[9] Pemerintah kemudian juga memaksa para petani untuk mengubah tanaman mereka dari cengkih ke tanaman lain (seperti kopi dan vanili)[19] yang dianggap menguntungkan, namun ditolak petani dan kemudian dibatalkan pada Agustus 1997. Pada 1997, BPPC tercatat memiliki 164.000 ton stok cengkih yang dapat bertahan hingga 1999. Tommy sendiri, ketika ditanya untuk menyerahkan monopolinya ke INKUD, menolak dengan alasan INKUD bermasalah dan BPPC "terpaksa" menggantikannya demi menjaga "hak petani". Jika ada masalah, menurut Tommy adalah bukan dari BPPC karena mereka tidak membeli dari petani, tetapi dari KUD (yang membeli cengkih dari petani) yang korup dan berkolusi sehingga petani tidak mendapat haknya.[20] Hal itu terjadi meskipun pada akhir 1993 Tommy telah menjanjikan hak BPPC akan dialihkan ke INKUD pada tahun 1994.[21] Kesengsaraan petani cengkih akan BPPC sendiri dibuktikan dengan anjloknya luasan penanaman cengkih, dengan dari 682.682 hektar pada 1990 menjadi 429.883 hektar pada 2000.[22] Penurunan itu terjadi karena petani banyak meninggalkan usaha cengkih akibat kemerosotan harga di bawah BPPC.[23]
BPPC sendiri akhirnya menemui ajalnya dengan munculnya krisis moneter pada 1997-1998, yang membuat pemerintah harus menarik pinjaman dari IMF dan melakukan reformasi di berbagai sektor, termasuk penghapusan monopoli. Awalnya, dalam Letter of Intent (LoI) Indonesia dengan IMF pertama di November 1997, BPPC masih belum masuk hal-hal yang harus direformasi,[24] namun kemudian pada LoI kedua di Januari 1998, IMF mewajibkan penghapusan BPPC sebagai prasyarat pinjaman IMF mulai 30 Juni 1998.[25] Meskipun kemudian pemerintah menghapusnya melalui Keppres No. 21/1998, nyatanya awalnya pemerintah tidak berkeinginan menghapus skema sejenis. Ketika pertemuan dengan Perdana Menteri Jepang Ryutaro Hashimoto, Wapres B.J. Habibie (diangkat Maret 1998) justru menafsirkan penghapusan BPPC sebagai pelanggaran UUD 1945. Banyak sumber yang menyatakan bahwa salah satu perusahaan komponen BPPC, PT Kembang Cengkeh Nasional justru menggantikan BPPC dalam monopoli cengkih.[26] Pada 24 Februari 1998 sebelumnya, Menkop Subiakto Tjakrawerdaya menyebut bahwa BPPC harus dipertahankan dengan bekerjasama bersama petani dan produsen kretek, dan pada Juni 1998 akan tetap bertahan sebagai "konsultan" bagi petani yang belum siap menjual cengkihnya sendiri.[7] Baru setelah Soeharto jatuh, sisa-sisa BPPC akhirnya dihapuskan ketika pengawasan perdagangan cengkih dialihkan ke Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Deperindag di 30 Juni 1998, dan kini petani bisa menjual cengkih secara lebih bebas.[27] Sebelumnya, sejak 1 Mei 1998, perusahaan rokok dinyatakan tidak perlu memiliki stiker khusus dari BPPC di rokok mereka,[6] dan pemerintah telah menghapus hak monopoli impor cengkih oleh BPPC.[28] Meskipun demikian, karena awalnya petani cengkih sudah berhenti menanam cengkih akibat pengaruh BPPC, produksi cengkih sempat menurun dan harganya meroket menjadi Rp 30.000/kg pada Juni 1999.[29]
Pengusutan korupsi
Pada tahun 2000, Indonesia Corruption Watch melaporkan dugaan korupsi kasus BPPC ke Kejaksaan Agung, dengan sprindik No Print-135/F/F.2.1/11/2000 yang dikeluarkan pada 16 November 2000. Mantan presiden Soeharto saat itu dituduh melawan hukum dengan menerbitkan Inpres dan Keppres BPPC. Kejaksaan Agung, dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) lalu mulai mengusut kasus tersebut, ditambah kerjasama dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menakar kerugian negara.[30] ICW sendiri menuduh bahwa pinjaman awal dari pemerintah ke BPPC pada 1991 dengan total US$ 325 juta (Rp 175 miliar) tidak dikembalikan dan menghilang tanpa jejak, ditambah dana-dana seperti Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) sebesar Rp67 miliar, Sumbangan Wajib Khusus Petani (SWKP) sebesar Rp670 miliar, Dana Konversi sebesar Rp74 miliar, dan Dana Penyertaan Modal (DPM) sebesar Rp1,1 triliun yang tidak pernah kembali ke petani.[14] Setelah sempat menghentikan penyidikannya pada 2001, Kejagung kembali membuka kasus tersebut pada Mei 2007,[30] dengan alasan memiliki bukti kuat dan berusaha memanggil saksi.[31] Sempat berencana menggugat BPPC secara perdata, pada Agustus 2007, Kejagung tidak melakukannya dengan alasan terhalang Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1/1956.[32] Upaya Kejagung untuk memanggi Tommy pada bulan yang sama pun gagal karena alasan ia sakit,[33] setelah sebelumnya pada 19 Juli 2007 menjadikannya sebagai tersangka.[34] Akan tetapi, dengan alasan Tommy sudah membayar kerugiannya pada Juni 2008,[35] pada 7 November 2008 Kejagung memberikan SP3 penghentian penyidikan kasus tersebut.[36] Dan kini, penyelesaian hukum dari dugaan korupsinya masih belum jelas.
Rujukan