Ardanariswara (Sanskerta: अर्धनारीश्वरcode: sa is deprecated , Ardhanārīśvara) adalah wujud kemanunggalan Dewa Siwa dan Dewi Parwati (disebut pula Mahadewi, Sakti, dan Uma). Ardanariswara digambarkan sebagai insan androgini, bertubuh separuh laki-laki dan separuh perempuan. Lazimnya tubuh sebelah kanan Ardanariswara digambarkan berwujud laki-laki, yakni wujud Dewa Siwa, lengkap dengan berbagai laksananya.
Citra-citra Ardanariswara tertua berasal dari abad pertama tarikh Masehi, yakni zaman Kemaharajaan Kusyana. Ikonografi Ardanariswara dikembangkan dan disempurnakan pada zaman Kemaharajaan Gupta. Purana dan berbagai risalah ikonografi memuat keterangan tentang mitologi dan ikonografi Ardanariswara. Meskipun Ardanariswara merupakan ikonografi populer yang terdapat dalam banyak kuil Siwa di seluruh India, sedikit sekali kuil yang dibaktikan bagi dewata ini.
Ardanariswara adalah wujud kemanunggalan daya jantan dan daya betina jagat raya (Purusa dan Prakerti), serta menggambarkan betapa Sakti, hakikat keperempuanan Tuhan, tak terpisahkan dari (atau menurut beberapa tafsir, sama dengan) Siwa, hakikat kelelakian Tuhan. Kemanunggalan dua hakikat Tuhan ini diluhurkan sebagai cikal bakal sarwa sekalian alam. Menurut pandangan lain, Ardanariswara adalah lambang dari kemahahadiran Siwa.
Nama
Ardanariswara berarti "dewa separuh perempuan", gabungan dari kata "arda" (अर्ध) yang berarti "separuh", kata "nari" (नरी) yang berarti "perempuan", dan kata "iswara" (ईश्वर) yang berarti "junjungan" atau "dewa". Ardanariswara juga dikenal dengan nama-nama lain, misalnya Ardanaranari (separuh lelaki separuh perempuan), Ardanarisya (sesembahan separuh perempuan), Ardanarinateswara (dewa penari separuh perempuan),[1][2]
Paranggada (memberi wujud kepada yang lain),[3] Naranari (lelaki-perempuan), Ammiappan (ibu-ayah) dalam bahasa Tamil,[4] dan Ardayuwatiswara (dewa separuh anak dara) di daerah Assam.[5] Puspadanta, pujangga zaman Kemaharajaan Gupta, dalam karya tulisnya, Mahinastawa, menyebut wujud manunggal ini sebagai dehardagatana ("Engkau dan Beliau masing-masing adalah separuh dari satu raga"). Utpala, dalam catatan hasil kajiannya atas Brihat Sanghita, menyebut wujud manunggal ini sebagai Ardagauriswara ("dewa separuh perempuan cantik"; perempuan cantik – Gauri – adalah julukan bagi Parwati).[6] Dalam Kitab Wisnudarmotara Purana, wujud ini hanya disebut sebagai Gauriswara (dewa/suami Gauri).[7]
Asal-muasal dan citra-citra perdana
Gagasan Ardanariswara agaknya terilhami oleh wujud manunggal Yama-Yami dalam sastra Weda,[8][9] penggambaran Wiswarupa atau Prajapati Sang Maha Pencipta Purbakala dan Agni Sang Dewa Api dalam Kitab Weda sebagai seekor "banteng sekaligus lembu,"[10][11] penggambaran Atman ("jiwa") berwujud Purusa sang insan jagat yang androgini dalam Kitab Brihadaranyaka Upanisad,[8][11] serta makhluk-makhluk androgini seperti Hermafroditos dalam mitologi Yunani kuno dan Agdistis dalam mitologi Frigia.[10][12] Dalam Kitab Brihadaranyaka Upanisad diriwayatkan bahwa Purusa membelah diri menjadi dua bagian, laki-laki dan perempuan, keduanya kemudian bersetubuh dan menurunkan segala jenis makhluk bernyawa – bertema sama dengan kisah-kisah Ardanariswara.[13] Kitab Swetaswatara Upanisad berisi gagasan yang menjadi cikal-bakal keberadaan Ardanariswara dalam kitab-kitab purana. Dalam kitab ini, Rudra – wujud purbakala dari Siwa – disebut sebagai pencipta alam semesta dan pangkal keberadaan Purusa (hakikat kelelakian) dan Prakerti (hakikat keperempuanan), sesuai dengan falsafah Sangkya. Kitab Swetaswatara Upanisad menyiratkan hakikat androgini dari Rudra dengan menggambarkannya baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan.[14]
Konsep Ardanariswara muncul bersamaan dalam kebudayaan Kusyana dan kebudayaan Yunani; ikonografi Ardanariswara berkembang pada zaman Kusyana (30–375 M), dan disempurnakan pada zaman Gupta (320-600 M).[15][16] Sebuah tugu prasasti zaman Kusyana dari pertengahan abad pertama di Museum Mathura memuat citra insan separuh laki-laki separuh perempuan beserta tiga citra lain yang telah dikenali sebagai Wisnu, Gajalasmi, dan Kubera.[9][17] Belahan kanannya adalah sosok laki-laki berzakar tegak atau urdwalingga dalam sikap abhaya mudra; belahan kirinya adalah sosok perempuan menggenggam sebingkai cermin dan berpayudara sebelah yang montok. Citra ini adalah penggambaran rupa Ardanariswara yang paling awal dan diakui secara universal.[9][18] Sebuah kepala arca Ardanariswara dari permulaan zaman Kusyana ditemukan di Rajghat dan kini dipajang di Museum Mathura. Belahan kanannya adalah sosok laki-laki dengan rambut dikepang berhiaskan tengkorak dan bulan sabit; belahan kirinya adalah sosok perempuan dengan rambut tersisir rapi berhiaskan bunga-bunga dan mengenakan sebentuk patra-kundala (anting-anting). Kepala arca ini memiliki sebuah mata ketiga di tengah-tengah dahinya. Sebuah stempel lempung bakar ditemukan di Vaishali memuat citra sosok separuh laki-laki separuh perempuan.[9] Citra-citra dari pemulaan zaman Kusyana menggambarkan Ardanariswara dalam wujud berlengan dua yang sederhana, tetapi naskah-naskah dan patung-patung dari masa yang lebih kemudian menggambarkan ikonografi Ardanariswara yang lebih rumit.[11]
Ardanariswara pernah disinggung oleh pujangga Yunani Stobeos (ca. 500 M), mengutip catatan Bardesanes (ca. 154–222 M), yang mengetahuinya dari rombongan perutusan India yang berkunjung ke Suriah pada masa pemerintahan Kaisar Elagabalus (Antoninus dari Emesa) (218–22 M).[8][15] Sebuah patung dada androgini dari lempung bakar telah ditemukan pada penggalian di Taxila dan diperkirakan berasal dari zaman Saka-Partia. Patung dada ini menampilkan sesosok laki-laki berjanggut yang memiliki sepasang buah dada.[15][16]
Ardanariswara ditafsirkan sebagai suatu upaya untuk mempersatukan dua mazhab utama agama Hindu, Kasewan (pemuja Siwa) dan Kasakten (pemuja Sakti), yang dibaktikan bagi Siwa dan Mahadewi. Citra sinkretis lain yang mirip dengan Ardanariswara adalah Harihara, wujud manunggal Siwa dan Wisnu, dewa tertinggi mazhab Kawesnawan (pemuja Wisnu).[3][19][20][21]
Ikonografi
Karya tulis abad ke-16 mengenai ikonografi, Silparatna, serta naskah-naskah Matsya Purana dan Āgama seperti Angsumadbhedagama, Kamikagama, Supredagama, dan Karanagama – kebanyakan berasal dari India Selatan – memaparkan ikonografi Ardanariswara.[22][23] Belahan kanan yang superior lazimnya adalah Dewa Siwa dan belahan kiri adalah Dewi Parwati; dalam citra-citra yang langka dari mazhab Kasakten, belahan kanan yang dominan dari Ardanariswara digambarkan sebagai sosok perempuan.[24] Ikon Ardanariswara biasanya digambarkan berlengan empat, tiga, atau dua, tetapi jarang berlengan delapan. Jika digambarkan berlengan tiga, belahan Parwati hanya memiliki satu lengan, menyiratkan peranan yang lebih rendah dalam ikon itu.
Belahan laki-laki
Belahan laki-laki mengenakan sebuah jata-makuta (hiasan kepala dari rambut yang dikepang dan disanggul tinggi membentuk mahkota) di kepalanya yang dihiasi bulan sabit. Kadang-kadang jata-makuta ini dihiasi ular-ular beludak dan Dewi Sungai Gangga yang mengalir turun dari rambutnya. Telinga kanan digelantungi sebentuk nakra-kundala, sarpa-kundala ("anting-anting ular beludak") atau kundala ("anting-anting") biasa. Kadang-kadang, mata belahan laki-laki dibuat lebih kecil daripada mata belahan perempuan dan juga berkumis separuh.[25][26] Menurut tata-cara penggambaran Ardanariswara dalam naskah-naskah agama Hindu, Mata ketiga (trinetra) dalam keadaan setengah terpejam ditempatkan pada dahi belahan laki-laki; trinetra dalam keadaan terbelalak ditempatkan tepat di tengah-tengah dahi; trinetra setengah terpejam dapat pula ditempatkan di atas atau di bawah bintik hiasan kening Parwati.[25][27] Gambar pancaran sinar kedewataan yang membentuk lingkaran lonjong (prabamandala atau prabawali) boleh ditambahkan di belakang kepala Ardanariswara; kadang-kadang gambar prabawali pada masing-masing belahan dibuat berlainan coraknya.[27]
Jika digambar berlengan empat, salah satu lengan kanan menggenggam parasu (kapak) dan yang satu lagi membentuk sikap abhaya mudra (sikap ketidakgentaran), atau salah satu lengan kanan sedikit ditekuk dan menumpu pada kepala lembu Nandi, wahana Siwa, sementara yang satu lagi membentuk sikap abhaya mudra. Aturan menggambar dalam kitab lain mengarahkan agar salah satu lengan kanan menggenggam trisula (serampang) dan yang satu lagi membentuk sikap warada mudra (sikap kemurahan hati). Kitab lain mengarahkan agar jika digambarkan berlengan empat, salah satu lengan kanan menggenggam trisula dan satunya lagi menggenggam aksamala (tasbih). Jika digambarkan berlengan dua, tangan kanannya memegang kapala (cawan tengkorak) atau membentuk sikap warada mudra.[25][26] Belahan laki-laki Ardanariswara dapat pula digambarkan memegang tengkorak.[23] Ardanariswara berlengan empat di relief Badami tampak memainkan sebuah wina (gambus), dengan satu lengan kiri dan satu lengan kanan, sementara satu lagi lengan belahan laki-laki menggenggam parasu dan satu lagi lengan belahan perempuan memegang sekuntum seroja.[28]
Belahan Siwa berdada bidang selayaknya laki-laki, lebar dan rata, berpundak dan berpinggul lebih lebar serta berpaha kekar.[26] Ia mengenakan seutas yadnyopawita (tali suci) menyelempang di dada. Yadnyopawita ini kadang kala berupa naga-yadnyopawita (yadnyopawita berupa seekor ular), muthu-yadnyopawita (yadnyopawita dari untaian mutiara), atau ratna-yadnyopawita (yadnyopawita dari untaian batu permata). Yadnyopawita dapat pula digambar segaris dengan batas antara belahan laki-laki dan belahan perempuan. Ia mengenakan perhiasan-perhiasan yang lazim dijumpai pada ikonografi Siwa, termasuk perhiasan-perhiasan dari ular beludak.[23][25][27][29]
Dalam citra-citra buatan India Utara,[27] belahan laki-laki dapat digambarkan tanpa busana dan ber-urdwalingga atau ber-urdwareta (berzakar tegak), citra Ardanariswara ber-urdwalingga ini dapat digambarkan berzakar utuh atau hanya dengan setengah dari satu batang zakar utuh bersama dengan satu buah-zakar.[18] Penggambaran semacam ini tidak dijumpai dalam citra-citra buatan India Selatan;[27] daerah pangkal paha lazimnya dililit busana (kadang-kadang selembar dhoti berbahan sutra atau katun, dapat pula dari kulit macan atau kijang), biasanya selutut panjangnya, dan dikencangkan dengan sehelai sarpa-mekala, ikat pinggang dari seekor ular beludak atau seuntai ratna mutu manikam. Tungkai kanan dapat digambarkan sedikit menekuk maupun lurus, dan sering kali berjejak di atas lapik seroja (padma-pita). Sekujur belahan kanan digambarkan berlumur debu dan menakutkan serta berwarna merah, emas, ataupun merah-jingga; akan tetapi citra-citra semacam ini jarang dibuat.[25][27]
Belahan perempuan
Belahan perempuan mengenakan sebuah karanda-makuta (mahkota serupa keranjang) di kepalanya atau dengan rambut terikat dan tersisir rapi ataupun kedua-duanya. Daun telinga kiri dipasangi sebentuk walika-kundala (sejenis anting-anting). Sebuah tilaka atau bindi (noktah merah) menghiasi dahinya, seiras dengan mata ketiga Siwa. Mata kiri dirias dengan celak hitam.[30] Jika leher belahan laki-laki terkadang digelayuti seekor ular tedung bertabur permata, maka leher belahan perempuan dihiasi setangkai seroja biru yang seiras dengannya.[5]
Jika digambarkan berlengan empat, salah satu lengan kiri bertumpu pada kepala Nandi, sementara yang satu lagi ditekuk membentuk sikap kataka mudra dan menggenggam sekuntum nilotpala (seroja biru) atau menggelantung bebas di sisi tubuhnya. Jika digambarkan berlengan tiga, maka pada tangan kanannya terdapat sekuntum bunga, sebingkai cermin, ataupun seekor burung bayan. Jika digambarkan berlengan dua, maka tangan kiri bertumpu pada kepala Nandi, menggelantung bebas, ataupun memegang sekuntum bunga, sebingkai cermin, atau seekor burung bayan. Burung bayan dapat pula digambarkan bertengger di tangan Parwati. Tangan atau tangan-tangannya dipercantik dengan perhiasan-perhiasan seperti keyura (kelat bahu) atau kangkana (gelang).[29][30]
Parwati digambarkan memiliki sebelah payudara perempuan dewasa yang bulat dan berpinggang ramping yang feminin dan mengenakan bermacam-macam haras (kalung) dan perhiasan-perhiasan lainnya dari aneka ratna mutu manikam. Belahan perempuan memiliki tubuh yang lebih berlekuk serta paha dan pinggul yang lebih sintal dibanding belahan laki-laki.[18][30] Bentuk badan, pinggul, dan pangkal paha belahan perempuan agak dilebih-lebihkan untuk memperjelas perbedaan anatomi antara kedua belahan.[31] Meskipun kemaluan belahan laki-laki boleh digambarkan, kemaluan belahan perempuan tidak pernah digambarkan, dan pangkal pahanya selalu dililiti busana.[18] Belahan perempuan mengenakan selembar busana semata kaki yang terbuat dari sutra beraneka warna atau putih polos beserta satu atau tiga utas ikat pinggang. Kakinya dihiasi gelang kaki dan telapak kakinya dimerahi dengan ramuan pacar kuku. Tungkai kiri sedikit ditekuk ataupun lurus, dan bertumpu di atas umpak seroja. Berbeda dari belahan Siwa, belahan Parwati – yang diluluri kuma-kuma – digambarkan tenang dan gemulai, berwarna hijau-nuri atau gelap.[29][30] Tubuhnya dililiti selembar sari yang menutupi badan dan tungkainya.
Sikap tubuh dan wahana
Ardanariswara dapat saja membentuk sikap tubuh tribangga – tertekuk di tiga tempat: kepala (teleng ke kiri), dada (condong ke kanan) dan tungkai kanan, ataupun membentuk sikap tubuh stana mudra (tegak lurus), sesekali digambarkan berdiri di atas sebuah lapik seroja, yang jika demikian maka akan disebut samapada (sama kaki). Citra-citra Ardanariswara dalam posisi duduk sudah tidak ditemukan lagi dalam risalah-risalah ikonografi, tetapi masih dapat dijumpai dalam rupa arca dan lukisan.[27][32] Seskipun aturan-aturan penggambaran sering kali menetapkan lembu Nandi sebagai wahana (tunggangan) Ardanariswara, beberapa citra Ardanariswara menggambarkan lembu wahana Siwa dalam posisi duduk atau berdiri di samping atau di belakang kakinya, dan singa wahana Parwati di dekat kakinya.[33][34]
Wujud berlengan delapan
Di Kuil Parasurameswara di Bhubaneswar terdapat sebuah citra Ardanariswara berlengan delapan. Dua lengan teratas belahan laki-laki menggenggam sebatang seruling dan seuntai aksamala (tasbih), sementara dua lengan teratas belahan perempuan menggenggam sebingkai cermin dan sejilid kitab; lengan-lengan lainnya sudah rusak.[5] Citra Ardanariswara yang tidak lazim lainnya terdapat di Darasuram. Arca ini berkepala tiga dan berlengan delapan, menggenggam aksamala, kadga (pedang), pasa, musala, kapala (cawan tengkorak), seroja dan benda-benda lain.[32]
Gambaran-gambaran tekstual lainnya
Kitab Naradiya Purana menyebutkan bahwa Ardanariswara berwarna separuh hitam dan separuh kuning, sebelah tubuhnya bertelanjang bulat dan sebelahnya lagi berpakaian, belahan laki-laki berkalung rangkaian tengkorak dan belahan perempuan berkalung rangkaian kembang seroja.[35] Kitab Lingga Purana menyebutkan secara singkat bahwa Ardanariswara membentuk sikap tubuh warada mudra dan abhaya mudra serta menggenggam sebatang trisula dan sekuntum seroja.[36] Kitab Wisnudharmottara Purana menyebutkan bahwa Ardanariswara berlengan empat, tangan-tangan kanannya menggenggam seuntai tasbih dan sebatang trisula, sementara tangan-tangan kirinya menggenggam sebingkai cermin dan sekuntum seroja. Wujud Ardanariswara yang demikian disebut Gauriswara dalam naskah ini.[7]
Legenda
Mitologi Ardanariswara – yang sebagian besar berasal dari kitab-kitab Purana – dikembangkan pada zaman yang lebih kemudian sebagai penjelasan atas citra-citra Ardanariswara yang berasal dari zaman Kusyana.[11][20][37]
Wujud Siwa separuh perempuan yang tanpa nama juga sempat disinggung dalam wiracarita Mahabarata. Dalam Parwa XIII, Upamanyu menyanjung-nyanjung Siwa dengan mengajukan pertanyaan retoris apakah ada pribadi lain yang separuh tubuhnya adalah permaisurinya sendiri, dan menambahkan pula bahwa jagat raya terbit dari persatuan dua jantina, sebagaimana dilambangkan dengan wujud Siwa yang separuh perempuan. Dalam beberapa riwayat, Siwa digambarkan memiliki warna kulit gelap dan cerah, separuh kuning dan separuh putih, separuh perempuan dan separuh laki-laki, dan merupakan perempuan sekaligus laki-laki. Dalam Parwa XIII, Siwa mewejangi Parwati bahwa separuh dari tubuhnya adalah tubuh dari Parwati.[38]
Dalam Kitab Skanda Purana, Parwati memohon kepada Siwa untuk membenarkannya mendampingi Siwa, saling "bergandengan", dan demikianlah Ardanariswara tercipta.[39] Kitab ini juga mengisahkan bahwa tatkala Asura Andaka hendak merebut dan memperistri Parwati, Wisnu menyelamatkan Parwati dan membawanya ke alam Wisnu. Tatkala Sang Asura membuntuti Parwati sampai ke alam Wisnu, Parwati menampakkan wujudnya sebagai Ardanariswara kepada Andaka. Menyaksikan wujud separuh laki-laki dan separuh perempuan itu, Sang Asura pun kehilangan hasrat dan pergi meninggalkannya. Wisnu juga takjub menyaksikan perubahan wujud itu dan melihat dirinya sendiri pada belahan perempuan Ardanariswara.[21]
Kitab Siwa Purana meriwayatkan bahwa Brahma menciptakan segala insan jantan, para Prajapati, dan menitahkan mereka untuk berkembang biak, tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Melihat kemandekan yang terjadi dalam karya penciptaannya, Brahma menjadi bingung dan bertapa memohon bantuan Siwa. Untuk menyadarkan Brahma akan kekeliruannya, Siwa menampakkan diri kepadanya dalam wujud Ardanariswara. Brahma pun memohon kepada belahan perempuan dari Siwa untuk menganugerahinya insan betina demi keberlanjutan karya penciptaannya. Sang Dewi berkenan menciptakan berbagai kekuatan perempuan dari tubuhnya, dan dengan demikian melenyapkan kemandekan karya penciptaan.[10][39][40] Dalam kitab-kitab Purana lainnya seperti Lingga Purana, Bayu Purana, Wisnu Purana, Skanda Purana,[10]Kurma Purana,[41] dan Markandeya Purana,[42] Rudra (diidentikkan dengan Siwa) muncul dalam rupa Ardanariswara dari kepala, dahi, mulut, ataupun jiwa Brahma sebagai perwujudan kemurkaan dan kekesalan Brahma melihat kemandekan penciptaan. Brahma menitahkan Rudra untuk membelah diri, dan Rudra menaati titah itu dengan membelah diri menjadi laki-laki dan perempuan. Berbagai makhluk jantan, termasuk 11 Rudra dan berbagai sakti yang bersifat betina, tercipta dari kedua belahan itu. Dalam beberapa versi, Sang Dewi bersatu kembali dengan Siwa dan berjanji untuk terlahir di bumi sebagai Sati untuk menjadi istri Siwa.[10] Dalam kitab Lingga Purana, Rudra dalam rupa Ardanariswara bersuhu sangat panas ketika keluar dari dahi Brahma sehingga membuat Brahma terbakar. Siwa dalam rupa Ardanariswara kelak bersatu dengan separuh dirinya – Sang Mahadewi – melalui "jalan yoga" dan menciptakan Brahma serta Wisnu dari tubuh Sang Mahadewi. Pada setiap daur kalpa, Ardanariswara ditakdirkan untuk muncul kembali di awal setiap karya penciptaan sebagaimana yang sudah-sudah.[36][43]
Kitab Matsya Purana meriwayatkan bahwa Brahma, yang berkenan atas tapa penyesalan yang dilakukan Parwati, mengaruniakan warna kulit kencana yang menjadikan penampilan Parwati kian memikat hati. Siwa pun terpikat untuk bersatu dengan Parwati sehingga menjadikan Parwati sebagian dari tubuhnya sendiri.[23]
Pustaka kuil Tamil meriwayatkan bahwa sesudah berhimpun di Siwaloka (alam Siwa), para dewa dan resi menghaturkan puja-puji bagi Siwa dan Parwati. Akan tetapi, Resi Bringgi telah bersumpah untuk hanya memuja satu dewata saja, yakni Siwa, sehingga mengabaikan Parwati tatkala menghaturkan puja-puji dan berpradaksina mengitari Siwa. Parwati tersinggung dan mengutuk Resi Bringgi agar sirna daging dan darahnya, sehingga hanya tersisa tulang-belulangnya saja. Dengan tubuh seperti itu, Resi Bringgi tidak mampu berdiri tegak, sehingga para dewa dan resi yang merasa iba menganugerahinya kaki ketiga untuk membantunya menegakkan tubuh. Sadar telah gagal mempermalukan Resi Bringgi, Parwati pun menghukum diri sendiri dengan bertapa sehingga membuat Siwa berkenan dan menjadikan Parwati sebagian dari dirinya, dengan demikian Resi Bringgi tidak dapat mengabaikan Parwati ketika hendak berpradaksina mengitari Siwa yang kini berwujud Ardanariswara. Akan tetapi Resi Bringgi berganti wujud menjadi seekor kumbang yang menggerek tembus bagian tengah dari tubuh Ardanariswara dan terbang berpradaksina mengelilingi belahan laki-laki saja. Hati Parwati tersentuh menyaksikan bakti yang sedemikian teguh dan memberkahi Resi Bringgi.[45][46]Appar, salah seorang nayanara atau orang suci dalam mazhab Kasewan, mengajarkan bahwa setelah menikahi Parwati, Siwa menjadikan mempelainya itu sebagian dari tubuhnya.[21]
Dalam kitab Kalika Purana, diriwayatkan bahwa Parwati (disebut dalam kitab ini dengan julukan Gauri) melihat pantulan bayangannya sendiri di dada Siwa yang sebening kristal dan menyangka Siwa mengidamkan perempuan lain. Pertengkaran suami-istri pun pecah tetapi dengan segera didamaikan, dan sesudah peristiwa itu Parwati pun menyatakan kehendaknya untuk hidup bersama secara abadi dengan Siwa di dalam tubuhnya. Pasangan dewata itu pun bersatu menjadi Ardanariswara.[39] Sebuah riwayat lain dari India Utara juga menuturkan tentang kecemburuan Parwati itu. Perempuan lain, yakni Sungai Gangga – sering kali digambarkan memancar dari gelung rambut di puncak kepala Siwa, sementara Parwati (sebagai Gauri) duduk di atas pangkuannya. Untuk menenangkan Gauri, Siwa pun bersatu dengannya menjadi Ardanariswara.[46]
Hanya dalam riwayat-riwayat yang berkaitan dengan kultus Kasakten (yang memuja Parwati sebagai Yang Maha Kuasa) sajalah Parwati disebut sebagai Pencipta Segala Sesuatu. Dalam riwayat-riwayat ini, bukan Siwa melainkan Parwati yang membelah diri menjadi belahan laki-laki dan belahan perempuan.[24]
Simbolisme
Ardanariswara melambangkan ketakterpisahan hakikat kelelakian dan hakikat keperempuanan.[29] Wujud manunggal ini mengejawantahkan gagasan persatuan hal-hal yang saling bertolak belakang (coniunctio oppositorum) di jagat raya.[3][12][47][48] Belahan laki-laki melambangkan Purusa dan belahan perempuan melambangkan Prakerti. Purusa adalah hakikat kelelakian dan kuasa pasif jagat raya, sementara Prakerti adalah hakikat keperempuanan dan kuasa aktif jagat raya; kedua-duanya "terus-menerus tarik-menarik untuk saling merengkuh dan melebur menjadi satu, sekalipun... terpisah oleh poros penengah". Persatuan Purusa (Siwa) dan Prakerti (kuasa Siwa, Sakti) melahirkan jagat raya. Gagasan ini juga digambarkan dengan persatuan Lingga Siwa dan Yoni Parwati yang menciptakan jagat raya.[49][50][51] Mahabarata menyanjung-nyanjung wujud Ardanariswara sebagai sumber penciptaan.[38] Ardanariswara juga menyiratkan keberadaan unsur Kama atau Berahi, yang mendorong terjadinya penciptaan.[51]
Ardanariswara melambangkan "totalitas yang melampaui dualitas", "dwi-tunggal laki-laki dan perempuan di dalam Tuhan", serta "biseksualitas dan oleh karena itu juga non-dualitas" dari Yang Maha Kuasa.[20][52] Ardanariswara mengejawantahkan gagasan bahwa Tuhan adalah Siwa sekaligus Parwati, "laki-laki sekaligus perempuan, ayah sekaligus ibu, berdiam diri sekaligus aktif, garang sekaligus lemah-lembut, destruktif sekaligus konstruktif" dan mempersatukan seluruh dikotomi lainnya di jagat raya.[47] Dalam ikonografi Ardanariswara, tasbih Siwa yang melambangkan tapa-brata dan perkara-perkara kerohanian diimbangi oleh cermin Parwati yang melambangkan alam maya duniawi.[53] Ardanariswara merukunkan dan menyelaraskan dua jalan hidup yang saling bertolak belakang: jalan hidup kerohanian seorang petapa yang dilambangkan dengan Siwa, dan jalan hidup materialistis seorang kepala keluarga yang dilambangkan oleh Parvati, yang raison d’être-nya dalam mitologi Hindu adalah untuk membujuk Siwa meninggalkan tapanya dan menikah serta melibatkan diri dalam urusan-urusan duniawi. Ardanariswara juga mengejawantahkan gagasan adanya saling ketergantungan antara Siwa dan kuasanya (Sakti) dalam wujud Parwati.[47] Ardanariswara memperlihatkan bahwa Siwa dan Sakti adalah satu dan sama. Gagasan ini juga diungkapkan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan bersama-sama dengan citra-citra Ardanariswara di Jawa dan kawasan timur Nusantara.[3][9] Kitab Wisnudharmottara Purana juga menggarisbawahi jati diri dan kesamaan dari kelelakian Purusa dan keperempuanan Prakerti, yang terwujud dalam citra Ardanarwswara.[54] Menurut Sivaya Subramuniyaswami (1927–2001), guru mazhab Kasewan, Ardanariswara memperlihatkan bahwa Siwa Yang Maha Agung adalah "Keseluruhan, tak terpisahkan dari kuasa-Nya" (yakni Sakti-Nya) dan melampau jenis kelamin.[55]
Dalam berbagai budaya, makhluk-makluk hermafrodit semacam Ardanariswara secara tradisional dikaitkan dengan kesuburan dan kelimpahan. Dalam wujud Ardanariswara, Siwa yang saling merengkuh dengan Prakerti dalam keabadian merepresentasikan daya alam untuk berkembang-biak, yang dipulihkannya setelah Prakerti kehilangan kesuburannya. "Ardanariswara adalah suatu dualitas dalam keesaan, alasan mendasarnya suatu dualisme seksual".[50] Sejarawan seni rupa, Sivaramamurti menyebut Ardanariswara "suatu hubungan yang unik antara jalinan rapat gagasan luhur tentang laki-laki dan perempuan yang melampaui hasrat jasmani serta dijadikan lambang keramahtamahan dan peranan orang tua".[20] Kedwimanunggalan Ardanariswara dianggap sebagai "suatu model dari rumah tangga yang tak terceraikan". Padma Upadhyaya berpendapat bahwa, "Gagasan tentang ... Ardanāriśwara adalah untuk menempatkan laki-laki di dalam perempuan sebagaimana halnya perempuan di dalam laki-laki dan untuk menciptakan homogenitas yang sempurna dalam hal-ihwal rumah tangga".[19]
Seringkali belahan kanan dari Ardanariswara berwujud laki-laki dan belahan kiri berwujud perempuan. Badan sebelah kiri merupakan tempat jantung dan dikaitkan dengan ciri khas keperempuanan seperti intuisi dan kreativitas, sementara badan sebelah kanan dipercaya berkaitan dengan otak dan tanda-tanda kelelakian – logika, keperkasaan dan berpikir secara sistematis.[12][56] Unsur keperempuanan sering kali tidak setara dengan unsur laki-laki dalam sosok Ardanariswara yang merupakan sesosok dewa yang separuh dewi; unsur keperempuanan ini tetap merupakan suatu entitas yang bergantung pada unsur laki-laki.[57] Ardanariswara "pada hakikatnya adalah Siwa, bukan Parwati". Kenyataan ini juga tercermin dalam mitologi, di mana Parwati menjadi sebagian dari diri Siwa. Demikian pula yang tampak pada ikonografi: Siwa kerap memiliki dua lengan gaib sementara Parwati hanya memiliki satu lengan, selain itu lembu Siwa – bukan singa Parwati – yang lazim ditampilkan sebagai wahana Ardanariswara.[58]
Penyembahan dan pemujaan
Ardanariswara adalah salah satu bentuk ikonografi Siwa yang paling populer. Citra dewata ini terdapat di kurang-lebih semua kuil dan sanggar pemujaan yang dibaktikan bagi Siwa di seluruh India dan Asia Tenggara.[29][59][60] Ada cukup banyak bukti dari naskah-naskah dan citra-citra Ardanariswara dalam bentuk pahatan batu yang menyiratkan bahwa suatu kultus pemujaan terhadap dewata ini memang pernah ada. Kultus ini mungkin memiliki pengikut musiman, tetapi tidak pernah terkait secara khusus dengan mazhab manapun. Kultus yang berpusat pada penyembahan secara serentak terhadap Siwa dan Parwati ini mungkin bahkan pernah menempati posisi yang tinggi dalam Agama Hindu, tetapi bilamana dan bagaimana kultus ini memudar masih tinggal misteri.[61] Sekalipun Ardanariswara merupakan bentuk ikonografi yang populer, hanya segelintir kuil saja yang dibaktikan baginya.[60][62] Salah satu kuil pemujaan Ardareswara yang terkenal adalah yang terletak di Tiruchengode,[62][63] dan ada pula lima kuil sejenis di Kallakkurichi taluk, semuanya dalam wilayah Negara Bagian Tamil Nadu di India.[64]
Kitab Lingga Purana menganjurkan penyembahan terhadap Ardanariswara agar para penyembah dapat mencapai kemanunggalan dengan Siwa kala dunia binasa dan dengan demikian mencapai keselamatan.[53]Ardanarinateswara Stotra adalah sebuah kidung populer yang digubah khusus untuk memuja Ardanariswara.[65] Para Nayanara dari Tamil Nadu memuja-muji dewata ini dengan kidung-kidung. Nayanara Cuntarar pada abad ke-8 mengatakan bahwa Siwa senantiasa tak terpisahkan dari Sang Dewi Ibu,[5] sementara Nayanara Campantar pada abad ke-7 membabarkan bahwa "keperempuanan abadi" bukan sekadar mempelai Siwa, melainkan juga sebagian dari dirinya.[5]Kalidasa (ca. abad ke-4 sampai abad ke-5), pujangga Sanskerta yang termasyhur, juga menyebut-nyebut Ardanariswara dalam karya-karyanya, Raguwangsa dan Maliwikagnimitra, dan mengatakan bahwa Siwa dan Sakti tak terpisahkan laksana kata dan makna.[7] Nayanara Manikkavacakar pada abad ke-9 menampilkan Parwati selaku pemuja utama Siwa dalam kidung-kidung gubahannya. Ia beberapa kali menyebut-nyebut tentang Ardanariswara dan menganggapnya sebagai tujuan akhir seorang pemuja untuk manunggal dengan Siwa sebagai Parwati dalam wujud Ardanariswara.[47]
Lihat pula
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Ardanariswara.
^Rao hal. 327–8: Belahan laki-laki dari Ardanariswara berlengan empat di Badami mengenakan perhiasan ular beludak, bersarung kulit rusa dengan panjang selutut, dan menggenggam sebilah parasu. jatamukutanya dihiasi bulan sabit dan tengkorak. Belahan perempuan mengenakan perhiasan emas dan busana sutra dengan panjang semata kaki, serta menggenggam sekuntum nilotpala. Dengan kedua belah tangan yang tersisa, Ardanariswara memainkan wina. Sosok kerangka manusia yang dikenali sebagai Bringgi tegak disampingnya. Lembu berdiri di belakang Sang Dewata.
^Seid, Betty (2004). "The Lord Who Is Half Woman (Ardhanarishvara)". Art Institute of Chicago Museum Studies. The Art Institute of Chicago. 30 (1): 48. JSTOR4129920.
^Hiltebeitel, Alf (1988). The Cult of Draupadi: Mythologies: from Gingee to Kuruksetra. The cult of Draupadi. 1. University of Chicago Press. hlm. 447. ISBN978-0-226-34046-3.
Dehejia, Harsha V. (1997). Pārvatīdarpaṇa: an exposition of Kāśmir Śaivism through the images of Śiva and Parvati. Motilal Banarsidass Publ. ISBN81-208-1484-3.
Goldberg, Ellen (2002). The Lord who is half woman: Ardhanārīśvara in Indian and feminist perspective. SUNY Press. ISBN0-7914-5325-1.
Garg, Ganga Ram, ed. (1992). Encyclopaedia of the Hindu world. 3: Ar-Az. Concept Publishing Company. ISBN81-7022-376-8.