Antipsikotik (Latin: anti-, berlawanan dengan, kebalikan dari + Latin psychosis, gangguan penilaian realitas + -ic, akhiran yang biasa dipakai pada nama jenis obat medis) adalah obat medis yang digunakan untuk menyembuhkan gangguan jiwa psikosis, yang merupakan gangguan jiwa dengan ciri "adanya ketidakmampuan dalam menilai apakah sesuatu itu benar-benar nyata atau tidak."
Antipsikotik pertama yang diluncurkan ke publik adalah Thorazine (chlorpromazine), obat medis yang sebenarnya semula digunakan untuk tujuan anestesi atau pembiusan sebelum proses bedah. Thorazine ditemukan dapat menimbulkan ketenangan pada orang yang dibiusnya, dan setelah diputuskan untuk dirilis ke ranah kesehatan dan diberikan pada orang dengan skizofrenia, terbukti bahwa obat medis ini menimbulkan pemulihan yang sangat berarti, sehingga sejak peluncurannya pada pertengahan tahun 1950-an sebagai obat resmi kejiwaan, ada banyak sekali pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa kemudian dipulangkan ke masyarakat karena gangguannya dianggap sudah membaik.
Di Indonesia pada masa sekarang ini, Thorazine masih banyak dipergunakan untuk mengobati skizofrenia dengan gangguan halusinasi dan waham yang kuat yang diiringi dengan gangguan sukar untuk terlelap tidur. Thorazine dikenal di Indonesia dengan nama CPZ (baca: cépézét) yang merupakan singkatan dari nama generiknya, chlorpromazine.
Sebelum itu, reserpin merupakan obat medis yang bisa ditelusur riwayatnya dari tumbuhan Rauwolfia serpentina yang di India telah lama dipergunakan untuk mengobati gigitan ular, insomnia, tekanan darah tinggi, dan masalah kejiwaan. Mekanisme jamu dari tumbuhan ini yang berdampak terhadap depresi, memberikan inspirasi untuk membuat obat yang mirip untuk menangani gangguan psikotik.
Pada akhir tahun 1950-an, sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan farmasi di Belgia, tiba pada kesimpulan akan sebuah penemuan haloperidol, yang pada proses pembuatannya meniru mekanisme Thorazine namun merupakan obat dengan struktur kimiawi yang benar-benar berbeda.
Jika obat-obatan di atas secara bio-kimiawi hanya menghambat neurotransmiter yang bernama dopamin, maka penemuan obat selanjutnya, clozapine, yang merupakan antipsikotik golongan baru yang pertama pada tahun 1970-an, menggunakan mekanisme yang berbeda dengan antipsikotik sebelumnya. Antipsikotik jenis yang terakhir ini punya mekanisme kerja yang lain dalam otak (yang membuatnya banyak disebut dengan antipsikotik atipikal, atau antipsikotik yang cara bekerjanya "tidak biasa"), yang tidak hanya menghambat penerimaan dopamin pada sel saraf, tapi juga bekerja pada serotonin, sehingga lebih mampu untuk mengembalikan keseimbangan neurotransmiter atau "zat penyampai pesan dari satu sel saraf ke sel saraf yang lainnya" yang berdampak pada tercapainya pemulihan dari skizofrenia.
Rangkaian penelitian jangka panjang telah melahirkan sejumlah antipsikotik yang bervariasi keefektifan dan efek sampingnya, termasuk penemuan aripiprazole, sebuah antipsikotik yang hingga kini dianggap sebagai paling minim efek samping.
Dalam uji klinisnya dan dari penggunaan selama ini, diketahui bahwa beberapa di antaranya, misalnya olanzapin dan quetiapine, dapat digunakan untuk memulihkan gangguan alam perasaan (affective disorders) sehingga dapat diberikan untuk mengobati gangguan skizoafektif maupun gangguan bipolar.
Di Indonesia, risperidon, merupakan obat medis yang banyak sekali digunakan untuk mengobati gangguan psikotik yang ringan hingga tingkat menengah. Untuk gangguan yang berat dan sulit untuk ditangani, antipsikotik ini kalah efektif dibandingkan dengan antipsikotik hasil temuan setelahnya; atau dalam beberapa kasus dengan gangguan tidur dan halusinasi yang akut, clozapine terbukti lebih mampu menangani gejala.
Antipsikotik generasi pertama seperti chlorpromazine dan haloperidol, dikenal sebagai obat yang menimbulkan efek samping yang tidak membuat nyaman terhadap fisik orang yang menggunakannya. Namun antipsikotik generasi kedua dan setelahnya, seperti clozapine, risperidone, quetiapine, dan olanzapine, juga bukan obat yang bebas efek samping. Perbedaan dalam hal efek samping pada keduanya adalah pada waktu kemunculannya: efek samping antipsikotik generasi pertama dirasakan segera setelah obatnya diminum; sementara obat generasi kedua dan setelahnya, efek sampingnya, misalnya penambahan berat badan atau gangguan metabolisme, muncul setelah penggunaan yang terus-menerus dalam jangka waktu panjang. Walaupun demikian, efek samping tersebut dapat dikelola dengan baik; misalnya saja, kekakuan pada otot halus karena penggunaan antipsikotik generasi pertama dapat ditangani dengan penggunaan THP (trihexyphenidyl), dan penambahan berat badan dapat direduksi akibatnya dengan melakukan diet dan olahraga.
Antipsikotik generasi yang lebih baru dan yang diharapkan lebih efektif untuk menangani skizofrenia, yang semula diperkirakan kemunculannya pada dasawarsa kedua abad ke-21, hingga sekarang belum ada. Sejumlah obat yang telah menjalani uji klinis, misalnya Bifeprunox yang diproduksi oleh Solvay dan Lundbeck, dinyatakan telah gagal untuk memenuhi harapan akan antipsikotik yang lebih baik dan dihentikan proses penelitiannya setelah aplikasinya yang diajukan ke FDA (Food and Drugs Administration, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat) ditolak pada bulan Agustus 2007. Dengan demikian, diperlukan waktu yang lebih panjang untuk mencapai angka kesembuhan yang lebih tinggi bagi gangguan psikosis ini, jika yang diharapkan adalah peran antipsikotik yang lebih besar.
Daftar agen antipsikotik
Obat antipsikotik yang digunakan secara klinis tercantum di bawah ini menurut golongan obat. Tinjauan tahun 2013 menyatakan bahwa pembagian antipsikotik menjadi generasi pertama dan kedua mungkin tidak akurat.[2]
Catatan:
a : menunjukkan obat yang tidak lagi (atau tidak pernah) dipasarkan di negara-negara berbahasa Inggris.
b : menunjukkan obat yang tidak lagi (atau tidak pernah dipasarkan sejak awal) di Amerika Serikat. Beberapa antipsikotik tidak ditempatkan dengan pasti di kelas generasi pertama atau generasi kedua.
c : menunjukkan obat yang telah ditarik dari peredaran di seluruh dunia.
Amisulprida (b) – Antagonis dopamin selektif. Dosis yang lebih tinggi (lebih dari 400 mg) bekerja pada reseptor dopamin pascasinaptik yang mengakibatkan penurunan gejala positif skizofrenia, seperti psikosis. Namun, dosis yang lebih rendah bekerja pada autoreseptor dopamin, yang mengakibatkan peningkatan transmisi dopamin, sehingga memperbaiki gejala negatif skizofrenia. Dosis amisulprida yang lebih rendah juga terbukti memiliki efek antidepresan dan anksiolitik pada pasien non-skizofrenia, yang menyebabkan penggunaannya pada distimia dan fobia sosial.
Remoksiprida (c) – Memiliki risiko menyebabkan anemia aplastik, sehingga ditarik dari pasaran di seluruh dunia. Obat ini juga ditemukan memiliki potensi yang relatif rendah (hampir tidak ada) untuk menyebabkan hiperprolaktinemia dan gejala ekstrapiramidal, yang kemungkinan besar disebabkan oleh ikatannya yang relatif lemah dengan reseptor D2, dan karenanya disosiasi yang cepat dari reseptor D2.[3]
Sultoprida – Antipsikotik atipikal dari golongan kimia benzamida yang digunakan di Eropa, Jepang, dan Hong Kong untuk pengobatan skizofrenia. Obat ini diluncurkan oleh Sanofi-Aventis pada tahun 1976. Sultoprida bekerja sebagai antagonis reseptor D2 dan D3 yang selektif.
Benzisoksazol/benzisotiazol
Iloperidon – Disetujui oleh FDA AS pada tahun 2009, obat ini cukup dapat ditoleransi dengan baik meskipun hipotensi, pusing, dan somnolensi merupakan efek samping yang sangat umum. Namun, belum menerima persetujuan regulasi di negara lain.
Paliperidon – Metabolit aktif utama risperidon yang disetujui pada tahun 2006.
Perospiron (a) – Memiliki insiden efek samping ekstrapiramidal yang lebih tinggi dibandingkan antipsikotik atipikal lainnya.[4]
Risperidon – Dosis terbagi direkomendasikan hingga titrasi awal selesai, saat obat dapat diberikan sekali sehari. Digunakan di luar label untuk mengobati sindrom Tourette dan gangguan kecemasan.
Ziprasidon – Disetujui pada tahun 2004[5] untuk mengobati gangguan bipolar. Efek sampingnya meliputi interval QT yang memanjang di jantung, yang dapat berbahaya bagi pasien dengan penyakit jantung atau mereka yang mengonsumsi obat lain yang memperpanjang interval QT.
Lurasidon – Disetujui oleh FDA AS untuk skizofrenia dan depresi bipolar, dan untuk digunakan sebagai pengobatan skizofrenia di Kanada.
Butirofenon
Melperon (a) – Hanya digunakan di beberapa negara Eropa. Tidak ada negara berbahasa Inggris yang telah melisensikannya hingga saat ini.
Asenapin – Dari golongan dibenzo-oksepino pirola, dari antipsikotik atipikal. Digunakan untuk pengobatan skizofrenia dan mania akut yang terkait dengan gangguan bipolar.
Klozapin – Dari golongan dibenzodiazepin dari antipsikotik atipikal. Penggunaannya memerlukan pemantauan laboratorium rutin dari hitung darah lengkap setiap satu hingga empat minggu karena risiko agranulositosis. Obat ini memiliki kemanjuran yang tak tertandingi dalam pengobatan skizofrenia yang resistan terhadap pengobatan.
Olanzapin – Dari golongan teienobenzodiazepin, dari antipsikotik atipikal. Digunakan untuk mengobati gangguan psikotik termasuk skizofrenia, episode manik akut, dan pemeliharaan gangguan bipolar. Digunakan sebagai tambahan untuk terapi antidepresan, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan fluoksetin sebagai Symbyax.
Kuetiapin – Dari golongan dibenzotiazepin, antipsikotik atipikal. Digunakan terutama untuk mengobati gangguan bipolar dan skizofrenia. Juga digunakan dan dilisensikan di beberapa negara (termasuk Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat) sebagai tambahan terapi antidepresan pada pasien dengan gangguan depresi mayor. Ini adalah satu-satunya antipsikotik yang menunjukkan kemanjuran sebagai monoterapi untuk pengobatan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar (hanya mengobati perubahan suasana hati campuran). Secara tidak langsung berfungsi sebagai penghambat penyerapan kembali norepinefrin melalui metabolit aktifnya, yakni norkuetiapin.
Zotepin (a) – Dari golongan dibenzotiepin, antipsikotik atipikal, yang diindikasikan untuk skizofrenia akut dan kronis. Obat ini masih digunakan di Jepang, dan juga pernah digunakan di Jerman tetapi dihentikan.
Lainnya
Blonanserin – Disetujui oleh PMDA pada tahun 2008. Digunakan di Jepang dan Korea Selatan.
Pimavanserin – Antagonis reseptor 5-HT2A selektif yang disetujui untuk pengobatan psikosis penyakit Parkinson pada tahun 2016.
Sertindol (b) – Dikembangkan oleh perusahaan farmasi Denmark, H. Lundbeck. Seperti antipsikotik atipikal lainnya, obat ini diyakini memiliki aktivitas antagonis pada reseptor dopamin dan serotonin di otak.
Generasi ketiga
Antipsikotik generasi ketiga dikenal menunjukkan agonis parsial reseptor D2[6] yang berbeda dengan antagonisme reseptor D2 dan 5HT-2A dari antipsikotik generasi kedua (atipikal) dan antagonisme D2 dari antipsikotik generasi pertama (tipikal).[7]
Benzisoksazole/benzisotiazol
Lumateperon – Pada bulan Desember 2019, lumateperon, agonis parsial reseptor D2 presinaptik dan antagonis reseptor D2 postsinaptik, menerima persetujuan global pertamanya di AS untuk pengobatan skizofrenia pada orang dewasa.[8] Pada tahun 2020 dan 2021, FDA menyetujui untuk episode depresi yang terkait dengan gangguan bipolar I atau II pada orang dewasa, sebagai monoterapi dan sebagai terapi tambahan dengan litium atau asam valproat.
Fenilpiperazina/kuinolon/benzoksazinon
Aripiprazol - Agonis parsial pada reseptor D2. Dianggap sebagai antipsikotik generasi ketiga yang prototipikal.[9]
^Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX (2009). Pharmacology (dalam bahasa Inggris). Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 151. ISBN978-0-7817-7155-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 April 2017.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Leucht S, Cipriani A, Spineli L, Mavridis D, Orey D, Richter F, Samara M, Barbui C, Engel RR, Geddes JR, Kissling W, Stapf MP, Lässig B, Salanti G, Davis JM (September 2013). "Comparative efficacy and tolerability of 15 antipsychotic drugs in schizophrenia: a multiple-treatments meta-analysis". Lancet. 382 (9896): 951–62. doi:10.1016/S0140-6736(13)60733-3. PMID23810019.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Nemeroff CB, Lieberman JA, Weiden PJ, Harvey PD, Newcomer JW, Schatzberg AF, Kilts CD, Daniel DG (November 2005). "From clinical research to clinical practice: a 4-year review of ziprasidone". CNS Spectrums. 10 (11 Suppl 17): 1–20. doi:10.1017/S1092852900019842. PMID16381088.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Swainston Harrison T, Perry CM (2004). "Aripiprazole: a review of its use in schizophrenia and schizoaffective disorder". Drugs. 64 (15): 1715–36. doi:10.2165/00003495-200464150-00010. PMID15257633.