Antiokhos II Theos (bahasa Yunani: Αντίοχος Β' Θεός, Antiokhos II Theos; 286 SM – 246 SM) adalah raja Dinasti Seleukia, berkuasa atas wilayah Iran, Syam, dan Anatolia pada 261 – 246 SM. Dia mewarisi takhta dari ayahnya, Antiokhos I Soter. Sepeninggalnya, takhta diwariskan pada putranya, Seleukos II Kallinikos.
Antiokhos mewarisi permusuhan antara Dinasti Seleukia dan Ptolemaios yang menjadikan meletusnya Perang Suriah Kedua. Meski batas kedua negara tidak banyak berubah seusai perang, perjanjian damai yang mengharuskan Antiokhos II menikahi putri penguasa Ptolemaios menimbulkan kekisruhan akan suksesi takhta sepeninggalnya. Antiokhos II yang lebih memusatkan perhatiannya ke wilayah barat juga membuka peluang bagi beberapa satrap (gubernur) provinsi-provinsi kawasan timur untuk melepaskan diri dari kepemimpinan Seleukia.
Ptolemaios
Antiokhos II mewarisi permusuhan antara Dinasti Seleukia dan Dinasti Ptolemaios yang menguasai Mesir dan segera terjadilah Perang Suriah Kedua yang berlangsung pada 260-253 SM. Pada perang ini, Antiokhos II bersekutu dengan Raja Makedonia Antigonos II Gonatas. Perang tersebut sebagian besar terjadi di sepanjang pantai Anatolia, digabung dengan perselisihan dari negara-negara kecil di Anatolia. Antiokhos II memperoleh beberapa keuntungan di Anatolia dan memperoleh akses langsung ke Laut Aegea dengan merebut Miletos dan Efesos. Selama perang, Antiokhos II digelari Theos "Dewa" oleh penduduk Miletos karena telah membunuh pemimpin mereka yang kejam, Timarchos.[1] Pada sekitar waktu yang sama, Antiokhos II juga melakukan beberapa upaya untuk menguasai Trakia yang rinciannya sebagian besar tidak diketahui dan sebuah percetakan uang di kota Bizantion secara singkat mengeluarkan koin atas namanya.[2]
Pada akhirnya perang tidak banyak mengubah keseimbangan kekuatan di Mediterania Timur. Koile Suriah yang merupakan wilayah sengketa utama antara pihak Seleukia dan Dinasti Ptolemaios tetap berada di tangan Ptolemaios. Pada tahun 257 SM, Firaun Ptolemaios II Philadelphos bahkan menyerbu bagian Suriah yang dikuasai Seleukia, meskipun hasil dari invasi ini tidak diketahui. Lantaran pihak Makedonia yang merupakan sekutu Seleukia keluar dari peperangan karena pemberontakan di dalam negeri, Antiokhos II berdamai dengan Ptolemaios II. Sebagai bagian dari perjanjian, Antiokhos II menceraikan istrinya, Permaisuri Laodike dan menikahi putri Ptolemaios II, Berenike Phernophorus. Takhta Seleukia harus diwarisi oleh anak Antiokhos II dengan Berenike.[3]
Provinsi timur
Sangat sedikit yang diketahui tentang peran Antiokhos II sehubungan dengan provinsi-provinsi timur seperti Mada, Partia, Baktria, atau Persia. Terutama disibukkan dengan konflik di Mediterania Timur dan masalah keluarga, Antiokhos II tampaknya terpaksa menunjuk orang-orang yang berpikiran independen seperti Diodotos dan Andragoras sebagai satrap (gubernur) di daerah tersebut. Kedua penunjukan ini pada akhirnya melahirkan Kerajaan Yunani-Baktria dan Partia yang masing-masingnya berdaulat dari Seleukia. Ada juga penurunan yang mencolok dalam jumlah mata uang Antiokhos II di Baktria jika dibandingkan dengan mata uang ayahnya, yang telah ditafsirkan secara beragam oleh sejarawan. Telah diklaim bahwa para satrap yang ambisius mungkin telah mengambil keuntungan dari ketidakhadiran Antiokhos II untuk secara bertahap melemahkan hubungan mereka dengan pemerintah pusat bahkan dalam masa hidup Antiokhus II, tanpa secara lahiriah menyatakan kemerdekaan. Namun, sangat mungkin Antiokhos II tidak mencetak koin berukir namanya sendiri, tetapi mencetak nama ayahnya. Praktik mencetak nama penguasa masyhur yang telah meninggal relatif umum dilakukan pada Zaman Helenistik dan Antiokhos II mungkin telah mencetak koin atas nama ayahnya yang setengah berdarah Sogdnia untuk melegitimasi dirinya dan dinastinya.[4]
India
Antiokhos II disebut dalam Maklumat Ashoka sebagai salah satu penerima ajaran Budha dari raja India, Ashoka, meskipun tidak ditemukan catatan di barat tentang hal ini:
"Dan usaha mengabarkan ajaran Budha ini juga dimenangkan oleh Dewa-dewa Terkasih di sini dan di semua negara-negara yang berbatasan, sejauh 600 yojana (5.400-9.600 km), di mana Antiokhos, raja Yavanas ["Ionian/Yunani//Makedonian"] memerintah, dan selain Antiokhos ini empat raja yang bernama Ptolemaios, Antigonos, Magas, dan Aleksander memerintah. Demikian pula ke selatan di antara oran Chola, orang Pandya, dan sejauh Tamraparni (Sri Langka)."[5]
Ashoka juga menyatakan memajukan perkembangan obat-obatan tradisional, untuk manusia dan binatang, di wilayah raja-raja Yunani:
"Di mana-mana dalam wilayah raja Pidayasi. Ashoka, yang dikasihi para Dewa, dan di antara orang-orang di luar perbatasan, orang Chola, orang Pandya, orang Satiyaputra, orang Keralaputra, sejauh Tamraparni dan di mana raja Yunani Antiokhos memerintah, dan di antara raja-raja yang bertetangga dengan Antiokhos, di mana-mana Raja Pidayasi, yang dikasihi Dewa-dewa, melakukan pengadaan dua macam pengobatan medis: pengobatan untuk manusia dan pengobatan untuk binatang. Di mana bahan obat-obatan untuk manusia atau binatang tidak tesedia, aku mengimpor dan menanamnya. Di mana akar-akar atau buah-buah berkhasiat medis tidak tersedia, aku mengimpor dan menanamnya. Sepanjang jalan-jalan aku menggali sumur-sumur dan menanam pohon-pohon yang berguna bagi manusia dan binatang."[6]
Pernikahan dan pewarisan takhta
Antiokhos menikah dengan Laodike, putri Achaios. Achaios sendiri adalah putra Seleukos I Nikator yang juga merupakan kakek Antiokhos II. Hal ini menjadikan Antiokhos II dan Laodike sebagai saudara sepupu. Dari pernikahan mereka, terlahir dua orang putra dan tiga putri: Pangeran Seleukos, Pangeran Antiokhos Hierax, Putri Apama, Putri Stratonike, dan Putri Laodike.[7]
Sebagai bagian dari perjanjian damai dengan Ptolemaios II, Antiokhos II menikahi Berenike yang merupakan putri Ptolemaios II dan menceraikan Laodike. Pernikahan Antiokhos II dan Berenike menghasilkan seorang putra yang dinamai Antiokhos. Antiokhos II sendiri memberi Laodike berbagai hibah tanah di kawasan Anatolia yang diketahui melalui beberapa prasasti sebagai kompensasi perceraian;[8] seperti perkebunan besar di Hellespontos,[9] properti lain di dekat Kizikos,[10]Ilium, dan di Karia.[9] Dia juga diberikan pendapatan dari berbagai wilayah dan pembebasan pajak. Menurut catatan kerajaan di Sardis, sertifikat tanahnya harus diperlakukan seperti halnya milik kerajaan.[11]
Laodike tetap menjadi sosok berpengaruh secara politik dan melanjutkan berbagai intrik untuk menjadi permaisuri. Pada tahun 246 SM, kemungkinan karena berita kematian Ptolemaios II, Antiokhos II telah meninggalkan Berenike dan bayi laki-laki mereka Antiokhos di Antiokhia untuk hidup kembali bersama Laodike di Anatolia.[12] Namun Antiokhos II tiba-tiba meninggal dan Laodike secara luas didakwa telah meracuninya. Antiokhos dimakamkan di Mausoleum Belevi.[13]
Kematian Antiokhos II dengan segera membuat konflik suksesi takhta pecah. Berenike awalnya memiliki keuntungan dengan menguasai Antiokhia, tetapi putranya, Pangeran Antiokhos, hanyalah seorang bayi. Sementara itu, Laodike menyatakan Pangeran Seleukos sebagai raja yang baru dan pindah dari Anatolia, mengklaim bahwa di ranjang kematiannya, Antiokhos II membalikkan keputusan sebelumnya dan menunjuk Seleukos sebagai penggantinya.[3] Saudara laki-laki Berenike, Ptolemaios III Euergetes yang saat itu merupakan penguasa Mesir, mendukung saudarinya. Namun Berenike dan putranya telah dibunuh oleh pendukung Laodike. Ptolemaios III yang marah melanjutkan perang yang dikenal Perang Suriah Ketiga yang terbukti menjadi bencana bagi kerajaan Seleukia.[14] Dalam sudut pandang Alkitabiah, kejadian ini menggenapi nubuat dalam Kitab Danielpasal 11.[15]