Anas Nafis (9 Januari 1932 – 18 April 2007) adalah seorang peneliti, akademisi, seniman, novelis, budayawan dan tokoh Sumatera Barat.
Ia adalah adik dari sastrawan Ali Akbar Navis. Bapaknya bernama Navis gelar Sutan Marajo, seorang pegawai Staatsspoorwegen (jawatan kereta api zaman Belanda), dan ibunya bernama Sawiyah.
Sebagai anak seorang pegawai sebuah jawatan kereta api, keluarga Navis sering berpindah-pindah tempat. Saat masa penjajahan Jepang, keluarga Navis pindah ke Duku. Setahun menjelang Jepang kalah perang, ayah Anas Navis ditangkap Kempeitai lalu dipenjarakan di Bangkinang dan keluarga Anas Navis pindah kembali ke Silaiang, Padang Panjang. Saat awal-awal kemerdekaan, setelah Navis dibebaskan dari penjara, mereka pindah ke Bukittinggi.
Sekolah dan mengajar
Setelah Indonesia merdeka, Anas Nafis kembali bersekolah di SMA. Sebelumnya, saat masa penjajahan Jepang, Anas sekolah di HIS Muhammadiyah, Guguk Malintang. Sambil bersekolah, Anas yang menjadi siswa kelas III SMA itu, juga sudah ikut mengajar sebuah SMP Swasta. Uniknya, SMA dan SMP itu satu gedung sekolah. Pagi Anas menjadi siswa SMA, siangnya mengajar siswa SMP tersebut. Tahun 1952, Anas Nafis lulus ujian terakhir SMA.
Setelah lulus dari SMA, Anas Nafis berencana menjadi guru di daerahnya. Hal itu disebabkan kondisi ibunya, Sawiyah, yang hampir setahun menderita sakit. Namun, Uda-nya A.A Navis menyuruhnya untuk terus melanjutkan sekolah.
Pertengahan Juli 1952 Anas Nafis berangkat ke Jawa untuk melanjutkan sekolah. Namun, saat masih berada di Jakarta, tanggal 2 Agustus 1952, ibunya meninggal dunia, A.A Navis melarangnya pulang dan memberinya semangat untuk terus melanjutkan sekolah. Dengan perasaan campur aduk, Anas Nafis berangkat juga ke Yogyakarta dan mendaftar di Universitas Gajah Mada.
Rasa rindu bertemu saudara yang ditinggal ibunya, mendorong Anas kembali pulang kampung. Desember 1955, Anas menjejakkan kakinya Padang. Berbekal beslit guru yang diperolehnya, Anas Nafis mengajar di Pariaman dalam rangka pengerahan tenaga mahasiswa.
"Sang Referensi"
Sejumlah ide bisa mengalir dari cerita Anas Nafis. Sastrawan A.A Navis saat menulis novel Robohnya Surau Kami (1956) idenya berasal dari Merontokkan Surau Anduang Montok Belakang Gudang. Ide yang muncul ketika mereka tinggal di Padang Panjang. Selain peneliti, akademisi, seniman dan budayawan yang meminjam referensi yang dimilikinya, pejabat daerah juga sering memanfaatkan jasa Anas Nafis.
Selain mengumpulkan literatur tentang Minangkabau dan Sumatera Barat, tahun 1987 Anas Nafis menggagas berdirinya Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang Panjang. Niat itu mendapat sokongan dari mantan Kepala Bulog, Bustanil Arifin. Kemudian dibangunlah rumah bagonjong untuk dijadikan museum PDIKM yang sejak itu menjadi salah satu tujuan wisata utama Sumatera Barat.
Tahun 2004, 10 naskah cerita rakyat Minangkabau yang ia sadur, diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM). Anas Nafis juga menulis buku Peribahasa Minangkabau (1997) yang sudah mengalami cetak ulang berkali-kali. Sejumlah skenario yang ditulisnya sudah difilmkan di TVRI, seperti Dang Tuanku (1975) dan Perang Kamang (1980), serta mengolah cerita dan sinopsis film Palasik untuk RCTI (1997).
Meninggal
Tanggal 18 April 2007, pada pukul 08.00 WIB, dalam usia 75 tahun, Anas Nafis pergi untuk selama-lamanya. Anas menghembuskan napas di rumahnya, sebuah rumah kontrakan di Jl. Aua Duri No.3A Padang dan dimakamkan di TPU Tungguitam, Padang.
Referensi
Pranala luar