Abdoe'lxarim M.S.
Abdoe'lxarim M. S. (ca 1901 – 25 November 1960), yang lahir dengan nama Abdoel Karim bin Moehamad Soetan merupakan jurnalis dan pemimpin Partai Komunis Indonesia. Ia ditahan di Tempat Pengasingan Boven-Digoel pada 1927-1932. Selama Perang Dunia Ke-2, ia berkolaborasi dengan Jepang dan menjadi figur penting dalam meraih dukungan untuk Jepang di Sumatra, setelah kekalahan Jepang, ia menjadi figur penting dalam melawan pasukan Belanda selama masa Revolusi Nasional Indonesia. BiografiKehidupan awal dan aktivitas politikAbdoel Karim bin Moehamad Soetan lahir di Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada 18 Juni 1901 (atau mungkin 1900).[1][2] Dirinya merupakan teman masa kecil Natar Zainuddin, yang menjadi pemimpin Partai Komunis lainnya di masa depan.[1] Ia bersekolah selamat tiga tahun di sekolah berbahasa Belanda (kweekschool).[1] Ia bekerja sebagai juru gambar teknik di Departemen Pekerjaan Umum Lhokseumawe dan aktif dalam politik serikat pekerja.[1][3] Pada masa ini, ia mulai menulis ulang namanya menggunakan huruf "X" dan menyingkat keseluruhan namanya menjadi Abdoe'lxarim M.s. atau terkadang dengan varisasi seperti Abdul Xarim atau Xarim M.S. Ia bergabung dengan National Indisch Partij (NIP) yang didirikan Tjipto Mangunkusumo, sebuah partai politik radikal multiras yang terpengaruh oleh Gerakan Kebangkitan Nasional Indonesia, sekitar tahun 1920.[1] Ia kemudian dipindahkan ke posisi pemerintah yang baru di Padang pada 1920, dan ke Kupang di Keresidenan Timor dan Dependensi di 1921.[1][2] Anak laki-lakinya Nip Xarim lahir pada 1921.[4] Tujuan pemindahan ke Kupang agar dirinya terisolasi dari politik, ia kemudian mengundurkan diri dari pemerintah dan kembali ke Sumatra dan menjadi komisaris NIP.[2] Sebagai komisaris NIP ia menghadiri Kongres Nasional Kesatuan Sumatra di Padang pada Juli 1922.[5][6][7] Ia berkeliling Sumatra untuk memberikan orasi atas anam partai di Aceh dan daerah lain di Sumatra.[8] Ia juga menjadi jurnalis, bekerja untuk Hindia Sepakat di Sibolga.[1] Walaupun koran tersebut tutup pada 1923, pada Maret tahun yang sama ia dipanggil ke pengadilan lokal di Medan atas tuduhan pelanggaran pers untuk editorial yang ia teritkan pada tahun sebelumnya.[9][10] Pada tahun 1923–1924 ia menjadi pemimpin redaksi majalah tiga bulanan bernama Oetoesan Ra'jat, sebuah publikasi bertema revolusi milik NIP yang diterbitkan di Langsa.[11] Saat memimpin di Langsa, ia mengundurkan diri dari NIP dan bergabung ke Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menjadi ketua pertama cabang Aceh.[2][12] Ia terus menanjak dan menjadi ketua eksekutif nasional pada 1924 dan ditunjuk sebagai komisaris partai di Sumatra.[2][1][3] Ia juga mengedit koran milik PKI yang bernama Persamaan di Keresidenan Tapanuli.[13] Karena terkenal dan percobaannya untuk mengelar rapat propaganda di Aceh pada 1924, ia diperintahkan untuk berdiam diri di Langsa atau ditangkap dan acapkali dibuntuti oleh detektif kepolisian.[14] Pada 1925, ia ditangkap oleh polisi lokal Aceh setelah menerima paket dari pemimpin partai di Batavia dan pergi dari Langsa untuk menyembunyikannya, ia ditahan selama beberapa bulan.[12] Lama penahanan pada periode ini disengketakan, ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa ia ditahan selama 13 bulan sementara itu yang lain menyatakan bahwa ia ditahan dalam durasi yang lebih pendek dan ia mengikuti acara di Padang pada 1926.[2] Penahaman di Boven-Digoel dan PelepasannyaPada 1926 ia ditahan lagi saat penangkapan masal anggota Partai Komunis karena peristiwa kegagalan pemberontakan di Jawa. Ia ditahan selama tujuh bulan di Aceh tanpa dakwaan.[2] Ia diasingkan di Tempat Pengasingan Boven Digoel pada Mei 1927, pengasingannya ditunda selama dua bulan karena menunggu istrinya melahirkan.[15][16] Seperti sebagian besar tahanan di Boven Digoel, ia tidak didakwa atas tindakan kriminal dan diasingkan dibawah "hak luar biasa" milik Gubernur Jenderal Kolonial. Ia diinterograsi di Yogyakarta pada Juli sebelum dikirim ke Digoel.[17] Pada waktu ini, Digoel memiliki banyak aktivitas, ia berpartisipasi pada organisasi konsil tahanan dan memimpin band Jazz.[18] Ia juga merekam film dokumenter mengenai hidupnya di Digoel atas dukungan orang Eropa yang bersimpati dengan mengirimkan material dan peralatan dari Jawa.[19][20] Ia merekam banyak gambar, rekaman sepanjang 400 meter film, takut karena sensor, ia fokus kepada kehidupan sehari-hari tahanan daripada rekaman mengenai narasi politik yang eksplisit.[19][21] Otoritas lokal di Kabupaten Boven Digoel tidak keberatan dengan proyek yang dia lakukan, karena, semua tahanan disana merupakan orang yang diasingkan bukan tahanan karena kasusu hukum.[20] Karena ia memiliki hubungan baik dengan otoritas dan mau untuk bekerja (kebanyakan anggota PKI menolak untuk bekerja), ia dilepaskan pada Januari 1932.[2][3] Setelah dilepaskan dari Digoel, ia dilarang untuk kembali ke Aceh atau untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik.[3][22] Ia kemudian pindah ke Medan, Sumatra dan menjadi jurnalis non-politik dan penulis cerita pendek, novel, dan cerita non-fiksi.[2][1][3] Ia juga menerbitkan harian Aneka dan mendirikan mingguan Penjebar.[2] Pada 1934, ia dijadwalkan menerima film yang ia buat di Boven Digoel melalui surat, film tersebut dikembangkan oleh sebuah perusahaan di Surabaya dan dikirimkan ke Langsa dimana film tersebut dicegat oleh otoritas dan dikirimkan kembali ke kantor Kejaksaan Agung di Batavia.[19] Otoritas mencurigai bahwa film tersebut hendak didistribusikan secara internasional sebagai propaganda melawan keberadaan kamp, dan Kejaksaan Agung melarang film tersebut dan menyitanya.[20] Abdoe'lxarim melawan putusan tersebut dengan argumen bahwa otoritas di Digoel memberikan izin kepadanya untuk merekam, dan jika tidak dikembalikan ia menuntut pembayaran sebesar 1.600 gulden sebagai kompensasi.[20] Pada akhirnya, ketika otoritas menetapkan bahwa banyak bagian dari film tersebut tidak bisa diputar, mereka menolak membayar kompensasi dan memutuskan untuk mengirimkan filmnya.[21][23][24] Pasca kejadian tersebut, tidak jelas apa yang terjadi pada film tersebut. Pada akhir 1930an dan awal 1940an, perannya di mingguan menghilang dan terkadang ia menerbitkan majalah bernama Abad 20 selama 1939 s.d 1940.[2] Perang Dunia II dan Era KemerdekaanPasca meletusnya Perang Dunia ke-2, Abdoe'lxarim, yang memiliki hubungan rahasia dengan Konsulat Jepang di Medan, ditangkap oleh Belanda dan dikirim ke kamp pengasingan di Jawa.[2][3][25] Pada 1942, setelah Pendudukan Jepang di Hindia Belanda, ia dibebaskan oleh Jepang dan dijadikan penasehat oleh mereka.[2][26] Ia kembali ke Medan dan ditunjuk sebagai Kepala Relasi Publik dari pendudukan Jepang dan lebih berperan sebagai propagandis nasional.[3][27][28] Ia memimpin perektrutan pengemudi untuk Heiho.[29] Ia pernah dipenjara secara singkat oleh Kempeitai pada Mei 1943 karena kepercayaannya kepada Marxist.[2][3] Setelah ia dilepas, ia menjadi tokoh kunci BOMPA (Badan Oentoek Membantor Pertahanan Asia/Body to Support the Defense of Asia), yang merupakan organisasi propaganda yang bertujuan untuk merekrut lebih banyak orang Indonesia untuk ikut dalam upaya peperangan Jepang, begitu juga dengan organisasi lain yang serupa.[3][2][30][31] Selamat waktu ini, ia juga mengedit dan mempublikasikan majalah Jepang, termasuk Sumatora Shimbun dan Minami.[2] Pada 1944, ketika Jepang mulai kalah dalam perang, ia mulai menjauhkan diri dari Jepang.[32][2] Pasca menyerahnya Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, ia bertemu dengan Tengku Mansur dan beberapa pemimpin asal Sumantra yang berkolaborasi dengan Jepang untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan ketika pasukan Sekutu sampai di Sumatra.[33] Pasca kedatangan pasukan Inggris dan Belanda, ia meneruskan pengiriman suplai ke masyarakat Indonesia yang ikut dalam program BOMPA dan mengorganisasi mereka menjadi milisi rahasia pro-republik (anti Belanda) atau Grup Pemuda.[34][35] Para periode ini pula, ia banyak mengumpulkan dan menimbun senjata api.[36] Karena kemampuan organisasinya, kemampuan berbicaranya, dan reputasinya sebagai pemimpin sejak tahun 1920an ketika ia menjadi tahanan, membuat dirinya menjadi figur penting diantara pasukan pro-kemerdekaan di Sumatra dan tokoh republik ternama di Medan.[37][38] Ia dipromosikan menjadi pemimpin keresidenan bersama dengan Mangaradja Soeangkoepon and Luat Siregar.[38] Pada masa ini, ia memegang beragam jabatan di partai republik, ia ditunjuk sebagai wakil pemimpin di Sumatara untuk Partai Nasional Indonesia (PNI), ia juga mengembangkan organisasi PRI/PESINDO (Pemuda Sosialis) dibawah asuhan Sarwono S. Seorardjo, dan kemudian pergi dari PNI dan mendirikan cabang loal dari Partai Komunis pada November 1945.[38] Grup ini pada awalnya tidak memiliki hubungan dengan Partai Komunis di Jawa, Abdoe'lxarim menjadi ketua, Luat Siregar became wakil ketua, dan Nathar Zainuddin menjadi sekretaris umum.[38] Pada peranannya yang baru, Abdoe'lxarim berperan sebagai perantara antara pemerintahan republik di Jawa dan kelompok milisi muda, ia percaya bahwa koalisi yang luas dari pasukan kiri dan bermitra dengan Tan Malaka, yang juga membuat partainya sendiri di Sumatra, dan menggunakan bendera merah-putih Indonesia dibandingkan dengan bendera komunis.[39] Setelah masa Revolusi Nasional Indonesia pada 1949, ia menetap di Medan dan ditunjuk sebagai penasehat militer untuk Alex Kawilarang, komandan keamanan di Sumatra Utara, anaknya bernama Nip Xarim menjadi komandan militer di Tentara Nasional Indonesia.[40] Perannya di Partai Komunis menurun, meskipun ia sempat ditahan pada masa penangkapan massal di Tahun 1951. Menurut beberapa sumber, ia keluar dari partai pada tahun 1952, dan baru secara resmi dikeluarkan dari partai pada 1953 dengan alasan "berperilaku tidak baik".[41][1] Ia wafat pada 25 November 1960.[1][2] Referensi
|