A. Paul Kalangi
Kolonel Inf. (Purn.) A. Paul Kalangi (lahir Agustus/September 1929) merupakan seorang perwira militer angkatan darat dari Indonesia. Kalangi bertugas di lingkungan Komando Daerah Militer VI/Siliwangi sebagai komandan batalion dan kepala staf garnisun. Ia kemudian ditugaskan ke Timor-Timur dan memimpin birokrat di lingkungan pemerintah daerah provinsi tersebut sebagai sekretaris wilayah daerah. Karier militerKalangi dilahirkan antara bulan Agustus dan September 1929.[a] Ia pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 328/Kujang di Jawa Barat[3] dari tanggal 22 Februari 1967 hingga peleburan batalion ke dalam satuan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat pada tanggal 20 Agustus 1969.[4] Selama masa kepemimpinannya, batalyon tersebut dikirim ke Kalimantan Barat untuk bertempur melawan pasukan Partai Komunis Kalimantan Utara.[5] Kalangi meneruskan kariernya di lingkungan Komando Daerah Militer VI/Siliwangi. Pada tahun 1976, ia diangkat menjadi Kepala Staf Garnisun Bandung-Cimahi dengan pangkat letnan kolonel.[4] Kalangi kemudian dikirim ke Timor-Timur dan memimpin sejumlah satuan militer dari Kodam Siliwangi dalam operasi militer di wilayah tersebut.[6] Sekretaris Wilayah Daerah Timor-TimurSetelah wilayah Timor-Timur dikuasai sepenuhnya oleh Indonesia, Kalangi bersama dengan 30 anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ditempatkan sebagai birokrat di kantor pemerintah daerah Timor Timur.[7] Kalangi kemudian diangkat menjadi Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) Timor-Timur, menggantikan J.F. Sinaga.[8] Kalangi tinggal di sebuah rumah dinas yang terletak di sebelah Hotel Turismo.[9] Meski jabatan sekretaris wilayah daerah merupakan jabatan ketiga tertinggi di dalam pemerintahan daerah Timor Timur, Kalangi merupakan penguasa de facto Timor Timur[10] dan melampaui gubernur dalam melaksanakan tugasnya.[9] Semua keputusan administratif dibuat oleh Kalangi, sedangkan gubernur hanya menandatangani keputusan.[11] Kalangi seringkali memandu tamu-tamu dari negara asing dalam kunjungannya ke Timor-Timur.[12] KebijakanSebagai penguasa Timor-Timur, Kalangi membatasi bantuan luar negeri bagi Timor-Timur. Kalangi menolak bantuan seribu ton jagung dari Australia ke Timor-Timur dengan alasan bahwa Australia terlalu sering mengkritik kebijakan Pemerintah Indonesia di Timor Timur. Pemerintah Indonesia kemudian mengirimkan bantuan pangan dengan jumlah serupa ke Timor-Timur, namun bantuan tersebut dibatasi oleh Kalangi. Kalangi beralasan bahwa memberikan bantuan langsung kepada warga Timor-Timur akan membuat warga Timor-Timur menjadi malas.[6] Kalangi juga mengklaim bahwa tidak ada bencana kelaparan di Timor-Timur dan masyarakat Timor-Timur memperoleh kelebihan bahan pangan dari hasil panen terakhirnya. Pernyataan Kalangi ini kemudian dibantah akibat ketidaksinkronan data.[13] Kalangi mendukung penuh upaya transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke wilayah Timor-Timur. Kalangi menyatakan bahwa upaya transmigrasi akan "membawa peradaban Indonesia ke Timor-Timur" dan memodernisasi penduduk yang terbelakang. Kendati demikian, fasilitas transmigrasi yang disediakan kurang memadai dan penyakit malaria masih bercokol di lingkungan sekitarnya. Selain mendatangkan penduduk dari luar Jawa, pemerintah daerah dan otoritas militer dibawah pimpinan Kalangi juga menginternir kerabat dari kelompok separatis Front Revolusi Independen Timor Leste di sebuah kamp rehabilitasi yang terletak di Pulau Atauro. Meski kondisi kamp tersebut jauh dari layak dan banyak penghuni kamp tersebut yang meninggal akibat penyakit menular dan diare, Kalangi mengklaim bahwa para penghuni senang berada di kamp tersebut.[6] Konflik dengan gubernur dan wakil gubernurPada tahun 1981, Kalangi terlibat konflik dengan gubernur dan wakil gubernur Timor Timur. Kalangi berkonflik dengan Wakil Gubernur Timor-Timur Francisco Xavier Lopes da Cruz mengenai bagi hasil penjualan tanaman kopi di Timor-Timur, yang digunakan oleh Cruz dan Kalangi untuk membiayai para pendukungnya.[12] Di saat yang sama, Kalangi mempertanyakan gubernur Guilherme Maria Gonçalves mengenai hilangnya sejumlah pajak kopi dari akun bank yang dikelola oleh Gonçalves. Gonçalves kemudian menolak tuduhan bahwa ia telah menyalahgunakan pajak kopi tersebut dan menyatakan bahwa dana tersebut disebarkan kepada bupati dan kepala desa untuk pembangunan. Goncalves juga menolak usulan Kalangi mengenai perubahan sistem bagi hasil dalam penjualan kopi yang menghapuskan wewenang gubernur dalam pengawasan penjualan kopi. Pada kasus lain, Kalangi berhasil mengusir Goncalves dari rumah dinas mantan Gubernur Jenderal Timor Timur dengan memerintahkan renovasi terhadap rumah tersebut pada tengah malam.[2] Sikap kesewenang-wenangan Kalangi dan pejabat ABRI lainnya mendorong para anggota DPRD Timor-Timur untuk melayangkan surat kepada Presiden Soeharto mengenai kondisi Timor Timur.[12] Dalam surat tersebut, para anggota DPRD menuduh Kalangi dan asistennya, A. Azis Hasyim, menyelewengkan dana dari pemerintah pusat. Para anggota DPRD juga menjabarkan pelanggaran lainnya yang telah dilakukan oleh Kalangi, seperti menyebarkan isu penggantian gubernur, menolak melaksanakan perintah gubernur dan melaporkan penggunaan APBD, serta mengadakan pertemuan dengan kontraktor di rumah pribadi alih-alih di kantor pemerintah.[14] Surat ini kemudian disebarluaskan kepada sejumlah kantor berita dan kedutaan besar. Sejumlah penduduk Timor Timur mengaku terkejut dengan surat tersebut dan anggota DPRD yang menandatangi surat tersebut mengaku tidak-tahu menahu mengenai surat tersebut. Sebagai balasan, sejumlah anggota DPRD yang menandatangi surat tersebut ditangkap oleh militer. Sebagai akibat dari konflik tersebut, baik Gubernur Gonçalves maupun Wakil Gubernur da Cruz diberhentikan dari jabatannya pada tahun 1982, sedangkan Kalangi bertahan sebagai sekretaris wilayah daerah. Gonçalves kemudian digantikan oleh Mário Viegas Carrascalão yang dianggap oleh pemerintah lebih berpengalaman.[15][2] Pada tahun yang sama setelah Carrascalão menjadi gubernur, Kalangi diangkat menjadi Komandan Resor Militer (Danrem) Timor-Timur.[16] Sama seperti sebelumnya, Kalangi tetap memegang wewenang yang besar dalam pengambilan kebijakan di Timor-Timur, sedangkan Carrascalão bertindak sebagai pimpinan boneka semata dan hanya menerima laporan mengenai pembangunan di Timor Timur yang bersifat normatif. Carrascalao kemudian mengajukan keluhan kepada pemerintah pusat di Jakarta. Keluhan ini kemudian ditanggapi dengan perluasan wewenang gubernur dan pengurangan wewenang sekretaris wilayah daerah.[9] Kalangi kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai sekwilda dan danrem pada tahun 1983.[16] CatatanReferensi
|