Metteyya (Pali; Sanskerta: Maitreya) adalah seorang bodhisatwa yang dianggap oleh semua aliran Buddhisme sebagai Buddha yang akan datang.[1][2] Dalam beberapa literatur Buddhis, seperti Sutra Amitabha dan Sutra Teratai, beliau juga disebut sebagai Ajitā (Tak Terkalahkan, Tak Tertandingi). Dalam bahasa Tionghoa, Maitreya dikenal dengan nama Mile Pusa (彌勒菩薩). Namanya berasal dari bahasa Sansekerta maitrī (Pali: metta; yang berarti cinta kasih atau niat baik). Nama Maitreya juga terkait dengan nama Indo-Iran, Mitra.[3]
Dalam semua aliran agama Buddha, Maitreya dipandang sebagai penerus langsung Buddha Gautama. Sebagai Buddha kelima dan terakhir dari kalpa (eon) saat ini, ajaran Maitreya akan difokuskan untuk mengembalikan Dharma Buddha di Bumi. Menurut kitab suci, ajaran Maitreya akan serupa dengan ajaran Gautama (Śākyamuni).[4][5] Kedatangan Maitreya diperkirakan akan terjadi pada masa ketika ajaran Buddha Gautama telah diabaikan atau sebagian besar dilupakan.
Meskipun banyak tokoh agama dan pemimpin spiritual yang mengaku sebagai Maitreya sepanjang sejarah, berbagai aliran agama Buddha menolak klaim tersebut, sembari menggarisbawahi bahwa Maitreya belum pernah muncul sebagai Buddha (karena ajaran Buddha belum dilupakan). Umat Buddha tradisional percaya bahwa Maitreya saat ini masih bodhisatwa (calon Buddha) dan sedang berada di surga Tushita,[6] yang merupakan tempat tinggal bagi para bodhisatwa sebelum mencapai Kebuddhaan. Buddha Gotama juga bertempat tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddhattha Gotama di dunia. Akan tetapi, Maitreya bukannya tidak dapat dijangkau, dan berbagai umat Buddha di sepanjang sejarah mengklaim telah dikunjungi oleh Maitreya, mendapatkan penglihatan, dan menerima ajaran darinya. Oleh karena itu, umat Buddha Mahayana secara tradisional menganggap Maitreya sebagai pendiri tradisi Yogacara melalui pewahyuannya atas berbagai kitab suci seperti Mahāyānasūtrālamkārakā, dan Madhyāntavibhāga.[7][8][9]
Dalam sutta ke-26 dari Dīgha Nikāya dikatakan bahwa:
Pada saat itu kota yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang bernama Ketumati, kuat dan makmur, dipadati oleh rakyat dan berkecukupan. Di Jambudvipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang Cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Dan pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia seorang Yang Terberkahi, Arahat, Sammasambuddha bernama Metteya.
Mahāyāna
Ada banyak sutra Mahāyāna yang menggambarkan dan mendiskusikan tentang Bodhisatwa Maitreya. Dia muncul sebagai karakter pendukung dalam beberapa sutra Mahāyāna yang penting seperti Sutra Teratai, Sutra Vimalakirti, Sutra Cahaya Emas, SutraSamadhiraja, dan Sutra Aṣṭasāhasrikā Prajñāpāramitā.[14]
Selain itu, ada juga beberapa sutra Mahāyāna yang secara khusus berfokus pada Maitreya, ajarannya dan aktivitasnya di masa depan.
Dalam Buddhavacana Maitreya Bodhisattva Sutra (Sutra Tentang Maitreya Bodhisattva Mencapai Buddha), Tripitaka Tionghoa disebutkan:
O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000 yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan permukaan buminya demikian rata dan bersih.
Keyakinan
Jenis-jenis keyakinan pada Maitreya
Menurut Jan Nattier, ada empat tipe utama dari narasi tentang Maitreya yang dapat kita temukan di sepanjang sejarah agama Buddha. Tipologi ini didasarkan pada kapan dan bagaimana seorang pemuja diharapkan bertemu dengan sosok Maitreya:[15]
Di sini/sekarang: Dalam versi ini, seorang umat berharap untuk bertemu dengan Maitreya di bumi, selama masa hidup mereka saat ini.
Di sini / nanti: Seorang umat berharap untuk bertemu dengan Maitreya di bumi pada suatu saat setelah kematian mereka, pada masa kehidupan yang akan datang, mungkin ketika Maitreya mencapai Kebuddhaan dan mendirikan sebuah komunitas baru. Ini adalah cerita yang paling umum dan standar di mana pencerahan Maitreya adalah peristiwa masa depan yang diharapkan oleh para pengikutnya.
Di sana/sekarang: Dalam bentuk-bentuk visioner dari cerita Maitreya, para penyembah berusaha untuk bertemu dengan Maitreya dalam sebuah penglihatan di istananya di surga Tushita, atau secara harfiah melakukan perjalanan ke sana dengan beberapa cara (misalnya kisah pertemuan Asanga).
Di sana/kemudian: Keinginan umum di antara para penyembah Maitreya adalah terlahir kembali di istana Tushita Maitreya, yang merupakan tanah sucinya saat ini.
Kedatangan Maitreya di masa depan
Dalam semua tradisi Buddhis, Maitreya dinubuatkan sebagai Buddha berikutnya yang akan muncul di dunia ini. Dia akan mencapai keBuddhaan jauh di masa depan (5000 tahun setelah Parinirvana Sakyamuni).[16][17] Karena mencapai pencerahan dianggap jauh lebih mungkin ketika belajar di bawah bimbingan seorang Buddha yang masih hidup, banyak umat Buddha yang berharap dapat bertemu dengan Maitreya dan berlatih di bawah bimbingannya.[18]
Menurut tradisi Buddhis, setiap kalpa (periode kosmik yang berlangsung selama jutaan tahun) memiliki beberapa Buddha.[19] Kalpa sebelumnya adalah vyuhakalpa, dan kalpa saat ini disebut bhadrakalpa.[20]Tujuh Buddha Zaman Dahulu (saptatathāgata) adalah tujuh Buddha yang menjembatani kalpa sebelumnya dan kalpa saat ini, dimulai dengan Vipassī dan berakhir dengan Gautama (Sakyamuni). Dengan demikian, Maitreya adalah Buddha kedelapan dalam barisan ini.[21]
Menurut sumber-sumber Buddhis tradisional, kedatangan Maitreya tidak akan terjadi dalam waktu dekat, melainkan akan terjadi jutaan tahun di masa depan. Meskipun demikian, umat Buddha dapat berharap untuk mengumpulkan karma baik sehingga ketika saatnya tiba, mereka akan terlahir kembali untuk bertemu dengan Buddha Maitreya di masa depan dan mencapai pencerahan di bawah bimbingannya.[22] Kitab-kitab suci yang menggambarkan kedatangan Maitreya di masa depan juga menggambarkan kondisi dunia yang seperti di surga di masa Maitreya. Kedatangannya dikatakan akan mengantarkan “zaman keemasan” agama dan peradaban.[22]
Sifat adanya siklus dari sejarah merupakan bagian dari cerita Maitreya. Umat Buddha percaya bahwa akan datang suatu masa kemunduran Dharma dimana tatanan sosial dan moralitas akan menurun dan umur manusia juga akan menurun. Akan ada perang, penyakit dan kelaparan di mana-mana.[23] Selanjutnya Dharma Buddha kemudian akan hilang. Setelah beberapa waktu, dunia akan mulai membaik kembali, dan umur manusia akan mulai meningkat. Pada puncak peningkatan kebaikan di masa depan yang jauh di masa depan inilah Maitreya akan tiba.[23]
Wahyu dan manifestasi
Maitreya juga dipercaya oleh umat Buddha untuk mewujudkan “tubuh emanasi” (nirmanakaya) di bumi untuk membantu makhluk hidup dan mengajarkan Dharma.[24] Para yogi dan cendekiawan Buddhis, seperti halnya Dao'an, juga berusaha untuk menerima penglihatan, ajaran, atau bimbingan dari Maitreya di kehidupan sekarang ini.[25] Berbagai kisah tercatat mengenai orang-orang yang naik ke atas untuk bertemu Maitreya (melalui meditasi dan samadi) atau Maitreya yang turun ke bawah untuk menemui mereka di dunia ini.[25]
Di abad ke 10, ada seorang biksu eksentrik bernama Qici (契此), yang lahir di provinsi Zhejiang pada masa Dinasti Liang (907–923 M) di Tiongkok.[26] Biksu ini dikenal dengan Budai atau Pu Tai He Sang atau Biksu Berkantong Kain, yang sering disebut sebagai Hotei dalam budaya Jepang. Umat Buddha Tiongkok menganggap biksu Budai yang gemuk itu sebagai emanasi Maitreya di Tiongkok. Sosoknya kemudian menjadi populer dalam tradisi Buddhisme Mahayana dan budaya Asia Timur.
Maitreya di Asia Timur
Maitreya di Tiongkok
Teks ajaran Buddhisme tentang Maitreya di China berasal dari hasil terjemahan oleh biksu An Shi Gao (安世高), Lokaksema pada abad ke-2, Dharmaraksa (竺法護) pada abad ke-3, Dao'an (道安) pada abad ke-4, dan Kumarajiva pada abad ke-5.[27] Konsep tanah suci Maitreya sangat populer sehingga pada abad ke-4 sampai ke-6, muncullah keyakinan terhadap Maitreya di seluruh Tiongkok. Kepopuleran tanah suci Maitreya bahkan lebih populer dari tanah murni Amitabha, terbukti dari fakta bahwa jumlah patung Buddha Maitreya saat itu jauh melebihi patung Buddha Amitabha.[28]
Di masa Dinasti Utara dan Selatan (420-589), sejumlah besar “kitab-kitab palsu” Maitreya muncul.[29] Kitab-kitab ini umumnya menguraikan sutra Buddha resmi dengan penafsiran tertentu dan dijadikan kitab-kitab baru seolah-olah isi kitab tersebut adalah ajaran sang Buddha.[29] Kemunculan kitab-kitab palsu itu terkait erat dengan kondisi masyarakat yang sulit saat itu. Dengan kata lain, ketika kondisi kehidupan yang sulit melanda dan para penjahat merajalela di masyarakat, orang-orang pada umumnya benar-benar mendambakan hadirnya seorang “mesias”, seperti Maitreya, yang dapat menaklukkan semua penjahat dan menstabilkan dunia ini.[30] Di saat itu, mulai ada banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai titisan Buddha Maitreya yang akan menjadi juru selamat dan mengubah dunia ini. Sejak itulah muncullah Sekte Maitreya dan terjadi berbagai pemberontakan dengan slogan bahwa Maitreya telah datang untuk mengubah dunia ini.
Praktik-praktik pemujaan terhadap Maitreya merupakan bagian penting dari aliran Yogacara Asia Timur. Elemen kunci dari pemujaan Maitreya di Asia Timur adalah tekad untuk terlahir kembali di Surga Tushita Maitreya (兜率內院).[31][32] Beberapa kitab suci Buddha mencatat bahwa Maitreya saat ini mengajar di Surga Tushita, dan beberapa guru Asia Timur yang memuja Maitreya, seperti Xuanzang (abad ke-7), Kuiji, Wonhyo, dan Yijing, memiliki tekad untuk terlahir kembali di sana setelah kematian mereka.[33][34][35][36]
Xuanzang dikenal sebagai seorang pemuja Maitreya yang berikrar untuk terlahir kembali di istana Tushita dan pada akhirnya turun bersama Buddha Maitreya ke dunia.[37] Sebuah episode terkenal selama perjalanan Xuanzang menggambarkan pengabdiannya kepada Maitreya. Ketika berlayar di Sungai Gangga, ia disusul oleh bajak laut yang akan mengorbankannya untuk Durga. Setelah meminta waktu hening sejenak untuk bermeditasi, Xuanzang bermeditasi pada Maitreya, berdoa agar ia terlahir kembali di Tushita bersamanya dan memusatkan pikirannya pada bodhisattva. Xuanzang kemudian mendapat penglihatan Maitreya duduk di singgasananya yang berkilauan di Tushita, dikelilingi oleh banyak dewa. Kemudian badai datang dan para perompak yang ketakutan, menjatuhkan diri mereka di kaki Xuanzang.[38]
Biksu-biksu Buddhis Tiongkok modern, seperti Xuyun, juga diketahui pernah bermimpi untuk pergi ke Surga Tushita.[39][40] Pemimpin gerakan pembaruan Tiongkok modern, Taixu (太虛), salah satu pendiri utama Buddhisme Humanistik, juga merupakan seorang pemuja Maitreya. Dia dikenal telah mempromosikan praktik-praktik kebaktian dan liturgi yang berfokus pada Maitreya dan bahkan dikatakan telah menyebarkan “Aliran Maitreya” (慈宗).[41]
Pemujaan terhadap Maitreya paling banyak dipraktikkan dalam Buddhisme Mahayana Tiongkok, tetapi juga dapat ditemukan dalam agama-agama Tiongkok lainnya, seperti Yiguandao.[42][43]
Dimulai dengan Sekte Teratai Putih (yang berakar pada abad ke-12), Maitreya telah menjadi bagian penting dari banyak sekte agama keselamatan Tionghua. Dalam pandangan sekte-sekte tersebut, Maitreya dipandang sebagai “yang primordial” dan seorang pemimpin surgawi yang akan datang untuk mengubah dunia secara radikal. Mitos yang paling umum adalah bahwa Maitreya adalah penyelamat yang dikirim oleh Ibu Mulia Abadi (Wusheng Laomu, yaitu Ibu Suri dari Barat) untuk menunjukkan kepada manusia jalan pulang menuju kampung halaman, tempat semua makhluk berasal.[45] Menurut beberapa agama keselamatan, kedatangan Maitreya bersifat imanen dan dia akan mengantarkan zaman akhir di mana semua makhluk akan dipersatukan kembali dengan Lao Mu, sebuah peristiwa yang disebut “shou yuan” (收圓).
Salah satu contoh terkini dari sekte yang masuk dalam golongan ini adalah Yiguandao, agama keselamatan yang lahir pada abad ke-19. Dalam Yiguandao, Maitreya adalah tokoh kunci, seorang penyelamat besar, pelindung dan guru yang diutus oleh Lao Mu. Yiguandao mengklaim bahwa pada akhir zaman, Maitreya akan berinkarnasi di Bumi untuk menyelamatkan umat manusia, yang dikenal di kalangan umat sebagai Mile Zushi (彌勒祖師).[46] Maitreya muncul sebagai sosok yang sama dalam agama keselamatan lainnya, seperti Baguadao (八卦道), Huangtiandao (黃天道) dan sekte-sekte yang berakar dari Luoisme seperti Xiantiandao (先天道).
Para tokoh yang mengaku sebagai Maitreya
Pada abad ke-5, Fu Dashi (傅大士) menyebut dirinya secara tersirat bahwa dia adalah reinkarnasi Maitreya dan mendirikan Sekte Maitreya (彌勒教) yang didirikan pada masa pemerintahan Liang Wudi (梁武帝).[47][48]
Pada tahun 515, seorang biksu dari Jizhou dari dinasti Wei Utara bernama Faqing (法庆), memproklamirkan diri sebagai "Buddha Baru", "Buddha Mahayana" mengutip kitab suci Buddha bahwa "Maitreya telah turun untuk menjadi seorang Buddha", dan "Buddha Maitreya menggantikan Buddha Sakyamuni menyelamatkan dunia". Faqing mengumpulkan pasukan untuk memberontak terhadap kekuasaan dinasti Wei atas nama agama Buddha.[30][49]
Feng Yi (冯宜) dan Heyue (贺悦), orang-orang Hu dari Kabupaten Wucheng dari dinasti Wei Utara di abad ke-6 memimpin pemberontakan mengaku sebagai Buddha Maitreya melawan tentara Wei Utara di pinggiran kota Yuntai.[50]
Song Zixian (宋子贤), penduduk asli Kabupaten Tang di dinasti Sui, yang ahli dalam ilmu magic, dan mengaku bisa berubah menjadi bentuk Buddha dan mengaku dirinya adalah titisan Buddha Maitreya dan melakukan pemberontakan.[51]
Pada tahun 613, biksu Xiang Haiming (向海明) yang memimpin pemberontakan di kabupaten Fufeng pada masa dinasti Sui mengklaim dirinya sebagai Maitreya dan menggunakan gelar kekaisaran.[52]
Pada tahun 690, Wu Zetian (武則天), permaisuri yang berkuasa pada masa peralihan Wu Zhou (690-705), menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Buddha Maitreya di masa depan, dan menjadikan Luoyang sebagai "ibu kota suci". Pada tahun 693, ia untuk sementara menggantikan Dao De Jing yang diwajibkan dalam kurikulum dengan Peraturan untuk Pejabat.[53]
Pada tahun-tahun awal pemerintahan Dinasti Tang (713), Wang Huaigu (王怀) dari Tangbeizhou memimpin pemberontakan mengaku sebagai Buddha Baru (ditafsirkan sebagai Buddha Maitreya).[54]
Gung Ye (궁예), seorang panglima perang Korea dan raja dari negara bagian Taebong yang berumur pendek selama abad ke-10, mengklaim dirinya sebagai penjelmaan hidup dari Maitreya dan memerintahkan rakyatnya untuk memujanya. Klaimnya secara luas ditolak oleh sebagian besar biksu Buddha dan kemudian dia digulingkan dan dibunuh oleh para pelayannya sendiri.[55]
Pada tahun 1047, Wang Ze (王則), seorang petani di Zhuozhou pergi ke Beizhou untuk menggembalakan domba bagi pemilik tanah lokal, kemudian memberontak mengaku sebagai penguasa Dongping (东平郡主) dengan slogan "Masa Buddha Sakyamuni telah lewat, Buddha Maitreya menggantikan memimpin kuasa alam."[56]
Gao Tansheng (高昙晟), seorang biksu dari Huaizhou pada abad ke-7 mengumpulkan hampir 50 biksu untuk membunuh hakim kabupaten dan jenderal penjaga kota menggunakan keyakinan bahwa era Buddha Maitreya akan datang, dan memproklamirkan dirinya sebagai "Kaisar Mahayana (大乘皇帝)" dan mendirikan Jianyuan falun (建元法轮).[57]
Liu Ningjing (刘凝静), seorang wanita dari Kabupaten Wannian, Sichuan pada masa dinasti Song Utara mengklaim bahwa era Maitreya akan datang ke dunia dan memberontak.[58]
Du Ke Yong (杜可用), juga dikenal sebagai Du Wanyi (杜萬一), pemimpin revolusi rakyat Jiangxi pada awal dinasti Yuan, yang dimulai dengan sekte Teratai Putih, menyebut diri sebagai Du Shengren (杜聖人), disebut dengan nama Raja Ming (明王 / Vidyārāja), menggunakan narasi "Maitreya telah lahir, dan Raja Ming telah lahir."[59]
Di tahun 1777, seorang pria bernama Wang Fulin, mengumumkan bahwa dirinya adalah inkarnasi dari Buddha Maitreya dan ibunya adalah Wusheng Laomu pada pertemuan sekte Yuan-tun yang disebutnya sebagai pertemuan Bunga Naga Besar bersama sekitar seribu muridnya untuk melakukan pemberontakan di kota Hozhou dan provinsi Lanzhou.[60]
Bahá'u'lláh (1817-1892), Nabi-Pendiri Agama Bahá'í, diakui oleh umat Bahá'í sebagai Buddha Maitreya yang dijanjikan dari semua agama.[61]
Han Santong (韓山童), Pemimpin dari pemberontakan Sorban Merah yang memberontak di abad 14, mengaku adalah titisan Buddha Maitreya.[62]
Wang Tianzu (王添組), murid dari Wu Zixiang (patriark ke-10 Yiguandao) mengklaim dirinya sebagai inkarnasi dari Maitreya dan mengaku telah melihat akan datangnya bencana. Dia mempunyai seorang murid Liao Ganzhou (廖幹周) yang mengumpulkan 1500 pengikut yang memakai sorban putih dengan hiasan salib merah dan mengadakan pemberontakan di provinsi Shicheng, Jiangxi pada tahun bulan November tahun 1803.[63]
Xu Hai Wu (徐還無), dipercaya oleh para pengikut Yiguandao sebagai titisan dari Buddha Maitreya bersama-sama dengan Yang Hai Xiu (楊還虛) yang dipercaya sebagai titisan Dewi Guan Yin dan menjadi patriark ke-13 dalam silsilah maha guru Yiguandao.[64]
Lin Qing (林清) mengaku sebagai titisan Buddha Maitreya bersama Li Wencheng (李文成) yang mengaku titisan Raja Ming bersama-sama melakukan 癸酉之變 Pemberontakan Delapan Trigram di tahun 1813.[65] Para pengikutnya menganggap dia dikirim oleh Wusheng Laomu untuk menggulingkan dinasti Qing yang mereka anggap telah kehilangan firman Tuhan untuk memerintah.
Liu Xi Er (劉四兒), anak dari Liu Song (劉松) dari sekte Teratai Putih juga mengaku sebagai titisan Buddha Maitreya, dan punya misi di bumi untuk membantu Niu Ba (牛八) yang diduga merupakan keturunan kekaisaran Ming untuk berkuasa kembali.[66]
Lu Zhongyi (路中一), patriark ke-17 Yiguandao yang diyakini pengikutnya sebagai titisan Buddha Maitreya dan menjadi maha guru pertama di pancaran putih, masa terakhir sebelum bencana akhir jaman.[67]
Jiddu Krishnamurti, meditator, penulis asal India yang sering memberikan ceramah tentang kehidupan diyakini sebagai kendaraan untuk Maitreya oleh doktrin Teosofi.[68]
Ram Bahadur Bomjon (nama lain : Buddha Boy, Maha Sambodhi, Dharma Sangha, Maitriya Guru, Palden Dorje, Tapasvi) - seorang pertapa Nepal berusia 34 tahun yang telah dipuji banyak orang sebagai Buddha baru. Dengan menamai dirinya sendiri secara terbuka sejak tahun 2012 sebagai Guru "Maitriya", ia dan para pengikutnya secara terbuka mengklaim bahwa ia adalah Buddha Maitreya yang dinanti-nantikan. Dia adalah sosok kontroversial yang saat ini sedang diselidiki atas tuduhan pemerkosaan, dan secara terpisah atas hilangnya empat anggota ashramnya.[69][70]
B. R. Ambedkar dianggap sebagai seorang Bodhisatwa, Maitreya, di antara para pengikut Navayana. Dalam praktiknya, para pengikut Navayana memuja Ambedkar, menurut Jim Deitrick, hampir setara dengan Buddha. Dia dianggap sebagai orang yang dinubuatkan akan muncul dan mengajarkan dhamma setelah dilupakan, ikonografinya merupakan bagian dari kuil-kuil Navayana dan dia ditampilkan dengan lingkaran cahaya. Meskipun Ambedkar menyatakan Navayana sebagai ateis, vihara dan kuil Navayana menampilkan gambar Buddha dan Ambedkar, dan para pengikutnya membungkuk dan memanjatkan doa di hadapan mereka dalam praktiknya.[71][72]
L. Ron Hubbard, pendiri sistem kepercayaan Dianetics dan Scientology, menyatakan bahwa ia adalah "Metteya" (Maitreya) dalam puisi Hymn of Asia pada tahun 1955. Banyak editor dan pengikut Hubbard mengklaim bahwa dalam kata pengantar buku tersebut, ciri-ciri fisik tertentu yang dikatakan diuraikan - dalam sumber Sansekerta yang tidak disebutkan namanya - sebagai sifat-sifat Maitreya yang akan datang adalah sifat-sifat yang seharusnya selaras dengan kemunculan Hubbard. Dia mengulangi klaim ini dalam versi asli dokumen PL VII, yang menyatakan bahwa kematiannya akan menggenapi bagian dari nubuat kedatangan Maitreya.
Samael Aun Weor (1917-1977) - menyatakan dalam The Aquarian Message bahwa "Buddha Maitreya Samael adalah Avatar Kalkian dari Jaman Baru." Avatar Kalkian dan Buddha Maitreya, menurutnya, adalah "Penunggang Putih" yang sama dari Kitab Wahyu.
Li Hongzhi (李洪志), pendiri gerakan spiritual Falun Gong, yang oleh beberapa pengikutnya diyakini sebagai Maitreya.[73]
Guru dan dewa Amerika, Adi Da, disarankan oleh para pengikutnya untuk menjadi Maitreya.[74]
^Dharmachakra Translation Committee (2021). "Maitreya's Setting Out | Introduction". 84000 Translating The Words of The Buddha (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-02-08.
^Williams, Paul. Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations 2nd edition. Routledge, 2009, p. 218.
^Jayarava, Visible Mantra: Visualising & Writing Buddhist Mantras, pp. 142-43. 2011
^Horner (1975), The minor anthologies of the Pali canon, p. 97. Regarding Metteyya, Bv XXVII, 19: "I [Gautama Buddha] at the present time am the Self-Awakened One, and there will be Metteyya...."
^Ruegg, D.S. La Theorie du Tathagatagarbha et du Gotra. Paris: Ecole d'Extreme Orient, 1969, p. 35.
^Brunnholzl, Karl, When the Clouds Part: The Uttaratantra and Its Meditative Tradition as a Bridge between Sutra and Tantra, Shambhala Publications, 2015, p. 81.
^Ford, James L. (2006). Jokei and Buddhist Devotion in Early Medieval Japan. Oxford University Press, USA. pp. 69-71. ISBN978-0-19-518814-1
^Horner (1975), The minor anthologies of the Pali canon, p. 97. Regarding Metteyya, Bv XXVII, 19: "I [Gautama Buddha] at the present time am the Self-Awakened One, and there will be Metteyya...."
^Dharmachakra Translation Committee (2021). "Maitreya's Setting Out | Introduction". 84000 Translating The Words of The Buddha (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-02-08.
^David Alan Scott (1990). "The Iranian Face of Buddhism." East and West, 40(1-4), 43–77. doi:10.2307/29756924
^Dharmachakra Translation Committee (2021). "Maitreya's Setting Out | Introduction". 84000 Translating The Words of The Buddha (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-02-08.
^"兜率內院疑點之探討"(PDF). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2012-02-27. Diakses tanggal 2011-12-31.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"兜率內院疑點之回應"(PDF). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2012-02-27. Diakses tanggal 2011-12-31.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Williams, Paul. Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations 2nd edition. Routledge, 2009, pp. 219-220.
^"往生彌陀淨土、兜率淨土修持難易比較". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-12-27. Diakses tanggal 2012-12-07.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"日本弥勒行者考". Fjdh.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-27. Diakses tanggal 2011-12-31.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kai Sheng. A History of Chinese Buddhist Faith and Life, p. 249-250. BRILL, 2020.
^Sponberg, Alan; Hardacre, Helen (eds.). Maitreya, the Future Buddha. p. 11. Cambridge University Press, 1988.
^"發現新世界——小兜率天——法王晉美彭措夢境經歷". Buddhanet.idv.tw. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-27. Diakses tanggal 2011-12-31.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"虛雲和尚年譜". Bfnn.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-27. Diakses tanggal 2011-12-31.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"天佛院遊記(下)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-12-26. Diakses tanggal 2014-12-26.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"四禪淨土遊記". Boder.idv.tw. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-12. Diakses tanggal 2011-12-31.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^王钦若, 宋 (1960). 册府元龟. 北京: 中华书局.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Korea through the Ages: Volume One: Ancient. Yoon Deok-hong. 2005. ISBN8971055456.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)
^劭忞, 柯. 新元史. 上海古籍出版社. ISBN9787532583805.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Naquin, Susan (1981). Shantung Rebellion. The Wang Lun Uprising of 1774. Yale University Press.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Buck, Christopher (2004). The eschatology of Globalization: The multiple-messiahship of Baha'u'llah revisited. BRILL. ISBN90-04-13904-4.
^Perkins, Dorothy (2013). Encyclopedia of China: History and Culture. Routledge. ISBN9781135935627.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Murray, Dian, Qin Baoqi (1994). The Origins of the Tiandihui: The Chinese Triads in Legend and History. Stanford University Press. ISBN0804723249.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Seiwert, Hubert Michael (2003), Popular Religious Movements and Heterodox Sects in Chinese History, Brill, ISBN9004131469
Sponberg, Alan (1988), Maitreya, the Future Buddha, Cambridge University Press, ISBN0521180104
Ritzinger, Justin (2017), Anarchy in the Pure Land: Reinventing the Cult of Maitreya in Modern Chinese Buddhism, Oxford University Press, ISBN0190491167
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Maitreya.