Wonosari, Wonosari, Malang
Wonosari adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Desa ini terletak di lereng Gunung Kawi sebelah selatan, dengan ketinggian ± 800 meter dpl. Desa Wonosari terkenal sebagai tempat wisata spritual karena pada desa ini terdapat Pesarean Gunung Kawi. Pada umumnya, penduduk Wonosari bermata pencaharian sebagai petani dan wiraswastawan.[1] SejarahPemekaran wilayahDesa Wonosari merupakan hasil pemekaran dari Desa Kebobang, Kecamatan Ngajum pada tahun 1986. Nama Wonosari berasal dari bahasa Jawa wono atau "hutan" dan sari atau "inti" karena tempat ini terdapat objek wisata spiritual.[1] Desa ini terbagi menjadi empat dusun sebagai berikut:
Pemekaran wilayah Desa Kebobang menjadi Desa Wonosari disebabkan desa ini menjadi tempat tujuan wisata yang semakin ramai, baik oleh wisatawan domestik maupun manca negara. Pada tahun 2002, Bupati Malang saat itu mencanangkan dan menetapkan Desa Wonosari sebagai "Desa Wisata Ritual Gunung Kawi". Adapun kronologi terjadinya desa Wonosari yang diawali pada tahun 1986 adalah desa Persiapan setelah pemekaran wilayah kecamatan Ngajum Ke kecamatan Wonosari, pada saat itu kepala desa ( P.J Kepala Desa ) dijabat oleh Bpk. Tasmain. Kemudian pada tanggal 7 Maret tahun 1989 menjadi Desa Difinitip. Dan pada tahun 1990 terjadi pergantian kepala Desa oleh kepala desa P. Mulyo Setiyono hingga 1996, selanjutnya hingga pada tahun 1998 kepala desa dijabat oleh P. Banjir sebagai P.J.S (pejabat sementara) dikarenakan P. Mulyo Setiyono menjabat tidak sampai akhir jabatan. Kemudian pada tahun 1998 terjadi pemilihan kepala desa yang dijabat oleh Bapak Gigih Guntoro hingga masa jabatan tahun 2006, untuk selanjutnya tahun 2007 terjadi pemilihan kembali Kepala Desa yang dijabat oleh P. Kuswanto S.H. sebagai Kepala Desa Wonosari. Sejarah Pendirian Desa WonosariSetelah menyerahnya Pangeran Diponegoro pada Belanda pada tahun 1830, banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri ke arah bagian timur pulau jawa yaitu Jawa Timur. Di antaranya selaku penasihat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, dia pergi keberbagai daerah di antaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi ke arah timur selatan (tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen. Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, desa Sanan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Diperkirakan dia sampai di dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, dia di dusun Djoego ditemani sesepuh desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah dia berdiam didusun Djoego desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840 - tahun1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat dia yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, dia ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri kedaerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya dia telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego ayau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola padepokan Djoego. Pada waktu itu padepokan Djoego telah berkembeng, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian dalam dekade ± tahun 1850-tahun 1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi, dia Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa ditempat pembukaan hutan itulah dia ingin dikramatkan (dimakamkan), dia juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran). Dengan demikian maka berangkatlah R.M.Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, di antaranya:
Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari . Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pemimpin Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut (Selobekiti - selo: batu, bekiti:semut) kemudian melanjutkan perjalanan keutara dan menemukan batu yang bertumpang-tumpang kemudian ditempat itu dinamakan Tumpang Rejo, setelah itu perjalanan diteruskan ke arah utara disebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang) disitu berhenti dan membuat Pawon (perapian) lama-kelamaan menjadi dusun yang bernama Lopawon, kemudian melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai kesebuah hutan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo. Setelah itu melenjutkan perjalanan ke arah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko, selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan ke arah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa, dan anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong /tidak tegak keatas sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua). Kemudian setelah mendapatkan tempat itirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan ke arah selatan sampai didaerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarag ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari, selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari kemuuuudian disepakati, nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari. Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya / pengikut untuk pulang kedusun Djoego. desa Sanan Kesamben,untuk melapor kepada Eyang Djoego dahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan, setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke dusun Djoego dan juga dia berpesan bahwa bila dia wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur. Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada di tengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Dan siapa-siapa yang menetap di dusun Wonosari di antaranya ialah:
Demikian di antaranya yang tinggal di dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering bolak-balik dari dusun Djoego – Sanan – Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya yang berada di Wonosari Gunung Kawi wejangan dan petunjuknya. Demikianlah dan pada hari Senen Pahing tanggal Satu Selo Th 1817 M,Kanjeng Eyang Djoego wafat. Dan jenasahnya dibawa dari dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk di makamkan sesuai permintaan dia yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung kawi .Dan tiba/ sampai di Gunung Kawi pada hari rabu wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari kamis kliwon pagi. Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari senen pahing, oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, setiap hari senen pahing selalu diadakan sesaji dan selamatan. Apabila hari senen pahing tepat pada bulan selo, diikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari untuk mengadakan selamatan bersama pada pagi harinya.dan sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan. Sepeninggal Kanjeng Eyang Djoego – Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang itu menetap di Dusun Wonosari, dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan, oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahakan ke arah barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh:
Juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari bederta teman-temannya. Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak. Karena dengan bertambah luasnya dusun juga karena bertambah banyaknya penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yag bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu, maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman sebagai pamong pertama Dusun Wonosari. Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-tahun1876, dating seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller, seorang putri Residen Kediri dating keWonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eynag R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai dia wafat pada tahun 1876, Ny, Schuller kemudian pulang ke Kediri. Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (mpek Yam)untuk berziarah di Gunung Kawi, tapi pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang sekalian (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat, pek Yam pada wktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura, setelah jalan itu jadi kemudian dilengkapai dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan. Pada hari rabu kliwon tahun 1876 M. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sepeninggalan Eyang R.M. Iman Soejono, dusun Wonosari bertambah ramai, maka dalam mengelola dusun masyarakat bermusyawarah lagi untuk memilih Pamong atau Kamituwo. Maka terpilih seorang tokoh yang bernama Mbah Karni sebagai Kamituwo Pertama dukuh Wonosari. Dan seterusnya, dukuh Wonosari mempunyai Kamituwo berturut-turut sebagai berikut: 1. Kamituwo Mbah Karni 2. Kamituwo Mbah Karyo Tarikun 3. Kamituwo P. Nitirejo 4. Kamituwo P. Taselim 5. Kamituwo P . Setin 6. Kamituwo P. Kemat 7. Kamituwo P. Yahmin 8. Kamituwo P. Tasmu'i Demikianlah nama-nama pejabat Kamituwo dusun Wonosari dalam dekade tahun 1876 – tahun 1965. untuk periode antara tahun 1965 – tahun 2001 Kamituwo yang manjabat sebagai berikut: 1. P. Tasmuin 2. P. Maduri 3. P. Kandar (carteker) orang plaosan 4. P. Tasma'in (kades pertama) 5. P. Sugiono Banjir 6. P. Paidi Sareh 7. P. Muji Rukun Santoso ( Suko ) Dengan demikian maka lengkaplah pejabat Kamituwo dusun Wonosari samapai diadakan pemecahan desa pada tahun 1986 dari desa Kebobang pisah menjadi desa sendiri, yaitu desa Wonosari. Referensi
Pranala luar |