Pesarean Gunung Kawi
Pesarean Gunung Kawi merupakan lokasi pemakaman Kanjeng Kyai Zakaria II atau juga dikenal sebagai Eyang Djoego dan Eyang Raden Mas Iman Soedjono yang menjadi tempat ziarah spiritual hingga ke manca negara. Pesarean ini terletak di kawasan Gunung Kawi, Jawa Timur sehingga dikenal dengan namanya yang sekarang, meskipun desa tempat situs ini berada bernama Wonosari. Situs Pesarean Gunung Kawi terletak di sebelah barat Malang dengan jarak sekitar ± 53 Km dari kota.[1] Selain itu, sekitar 5 km di atas pesarean terdapat Petilasan Prabu Sri Kameswara yang lebih dikenal dengan nama Keraton.[2] Pesarean Gunung Kawi dikenal sebagai situs untuk memohon rezeki dan banyak dikunjungi oleh masyarakat keturunan Tionghoa. Jumlah peziarah meningkat pada malam Senin Pahing dan Jumat Legi.[3] SejarahPembukaan hutan Gunung KawiDengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro pada tahun 1830, sebagian pengikutnya melarikan diri ke Jawa Timur. Kyai Zakaria II yang menjadi penasihat spiritual Pangeran Diponegoro mengganti namanya menjadi Eyang Soedjoego atau Eyang Djoego. Ia mengungsi ke timur melewati berbagai tempat seperti Pati, Bagelen, Tuban, Kepanjen, hingga akhirnya tiba di Desa Jugo, Kesamben, Blitar sekitar tahun 1840. Ia mendiami suatu dusun yang selanjutnya dikenal sebagai Dusun Jugo (Djoego). Sekitar satu dekade pertama, Eyang Djoego membuka padepokan dan menerima murid yang salah satu diantaranya menjadi putera angkatnya, yaitu Raden Mas Jonet atau Raden Mas Iman Soedjono (Eyang Soedjo) yang merupakan salah satu senapati Pangeran Diponegoro. Pada dekade kedua, Ki Moeridun dari Warungasem, Pekalongan datang menjadi murid R.M. Iman Soedjono.[4] Eyang Djoego kemudian memerintahkan R.M. Iman Soedjono dan Ki Moeridun untuk membuka hutan di sebelah selatan Gunung Kawi dan berpesan bahwa ia ingin dimakamkan di sana. Ia juga meramalkan bahwa desa yang akan dibuka tersebut akan ramai serta menjadi tempat pengungsian. Murid-murid Eyang Djoego yang berangkat berjumlah sekitar 40 orang yang diantaranya beretnis Tionghoa. Rombongan dipimpin oleh Mbah Wonosari diiringi 20 orang pengikut dan membawa dua pusaka bernama Kudi Caluk dan Kudi Pecok. Selama perjalanan, rombongan mengalami berbagai peristiwa yang menyebabkan terjadinya pemberian nama berbagai tempat.[4]
Dari Klopopang, rombongan membuka hutan ke arah selatan, kemudian ke timur, dan dilanjutkan ke utara hingga Kali Gedong, kemudian ke barat. Para peserta rombongan masing-masing membangun rumah dan sebuah padepokan. Pada padepokan tersebut, semua peserta rombongan berunding untuk memberi nama tempat yang baru saja mereka buka hingga akhirnya disepakati nama Wonosari sesuai nama pemimpin rombongan. Mereka mengutus salah satu pengikut untuk memberi tahu Eyang Djoego bahwa pekerjaan mereka telah selesai. Eyang Djoego berangkat ke Wonosari kemudian memberi petunjuk siapa saja yang menetap dan siapa yang pulang ke Dusun Jugo. Ia juga memberi pesan bahwa ia ingin dimakamkan di atas sebuah gumuk (bukit kecil) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur. Di antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur, mereka membuat sebuah taman sari (kini dibangun Masjid Agung Iman Soedjono. Eyang Djoego sendiri kembali ke Dusun Jugo sementara R.M. Iman Soedjono ditugaskan untuk tinggal.[4] Pendirian Pesarean Gunung KawiEyang Djoego wafat pada hari Minggu Legi, 1 Selo 1799 dal (22 Januari 1871) yang ditandai dengan candrasengkala "Aruming Kusumo Pinudjeng Jagad". Jenasahnya diberangkatkan dari Dusun Jugo dan sampai di Gunung Kawi pada hari Rabu Wage. Karena sudah malam, jenasah Eyang Jugo dimakamkan pada hari Kamis Kliwon pagi. Oleh sebab itu, setiap hari Minggu Legi malam Senin Pahing diadakan selamatan dan bila bertepatan dengan bulan Selo, peserta selamatan adalah seluruh penduduk desa. Selamatan tersebut dikenal dengan nama Barikan.[4] Desa Wonosari semakin ramai didatangi orang-orang yang bermaksud menetap. Sekitar tahun 1871-1876, seorang putri Residen Kediri bernama Ny. Schuller datang untuk berobat ke R.M. Iman Soedjono hingga sembuh. Ia tidak pulang lagi ke Kediri hingga R.M. Iman Soedjono wafat pada hari Rabu Kliwon tanggal 12 Suro 1805 Jimawal (8 Februari 1876). R.M. Iman Soedjono dimakamkan satu liang dengan Eyang Djoego.[4] PemugaranPada tahun 1932, Ta Kie Yam atau mpek Yam datang berziarah ke Pesarean Gunung Kawi, tetapi akhirnya tinggal menetap. Ia bersama dengan beberap temannya di Surabaya dan seorang dari Singapura kemudian membangun jalan dari pesarean hingga ke bawah berikut dengan gapura-gapuranya.[4] Rokok BentoelSekitar tahun 1950an, Ong Hok Liong mengalami keterpurukan ekonomi sehingga ia berziarah ke Pesarean Gunung Kawi. Pada malam harinya, ia bermimpi melihat bentul kemudian bertanya maksudnya kepada juru kunci makam. Juru kunci menganjurkan agar ia mengubah merk rokoknya menjadi Bentoel, yang ia lakukan pada tahun 1954. Setelah itu, bisnis Ong Hok Liong meningkat dan menjadikannya salah satu orang kaya di Indonesia.[5] Pemekaran wilayah dan pencanangan tempat wisataPesarean Gunung Kawi terus berkembang dan diwarnai oleh akulturasi budaya dan agama. Oleh sebab itu, pada tahun 1986, Kecamatan Ngajum dimekarkan sehingga diperoleh kecamatan baru yaitu Kecamatan Wonosari. Pada tahun 2002, pemerintah Kabupaten Malang mencanangkan Desa Wonosari sebagai "Desa Wisata Ritual Gunung Kawi".[1] Wisata Gunung KawiJalan dari tempat parkir hingga komplek Pesarean Gunung Kawi adalah berupa rangkaian tangga sepanjang sekitar 750 meter dengan kemiringan hampir 35° serta dibatasi oleh tiga buah gapura yang dipenuhi relief Pangeran Diponegoro. Di sepanjang jalan menuju pesarean terdapat penginapan berupa hotel, losmen, atau rumah penduduk. Selain itu, terdapat banyak rumah makan dan stan-stan penjual bunga untuk persembahan dan makanan serta barang-barang lainnya.[2] Beberapa kuliner khas yang dijual pada stan-stan makanan Gunung Kawi adalah ubi ungu kukus, jagung kukus, tebu, ronde, dan madu serta sarang tawon. Sebuah penelitian tahun 2013 dari Malaysia menunjukkan bahwa Pesarean Gunung Kawi adalah daerah wisata spiritual yang berkontribusi terbaik nomor tiga terhadap lingkungan sosio-ekonomisnya di Pulau Jawa.[6] Gebyar Ritual 1 SuroGebyar Ritual 1 Suro merupakan sebuah perayaan ritual yang dimulai semenjak tahun 2000. Pada acara ini, tumpeng-tumpeng dikirab dari gapura paling bawah (stanplat) hingga pesarean. Tumpeng-tumpeng diletakkan pada jolen atau wadah tumpeng yang dihias berbagai bentuk serta diiringi lagu dan nyanyian bernuansa tradisional Jawa, Islam, China, dan musik modern. Perayaan ditutup dengan pembakaran sangkala yang melambangkan keburukan manusia.[7] Ziarah spiritualSyukuranPara peziarah yang hendak mengunjungi pesarean wajib mendaftarkan syukuran pada loket di depan gerbang masuk menuju komplek pesarean. Syukuran dilaksanakan pada pukul 10.00, 15.00, dan 21.00 WIB. Peziarah dapat membawa persembahan berupa bunga yang banyak dijual pada stan-stan menuju komplek pesarean atau tumpeng yang dapat dibeli di loket. Persembahan diterima oleh juru kunci untuk diteruskan ke depan makam.[2] Setelah syukuran selesai, peziarah dapat membawa pulang tumpeng yang diletakkan di atas tampah dan dilengkapi berbagai lauk seperti ayam utuh. Air janjamAir janjam merupakan nama yang digunakan untuk merujuk air yang ditampung pada dua buah guci tanah liat kuno peninggalan Eyang Djoego. Kedua guci tersebut semenjak dulu digunakan untuk menampung air yang digunakan untuk pengobatan.[8] Pohon dewandaruPohon dewandaru atau pohon kesabaran ditanam oleh Eyang Djoego untuk melambangkan keamanan pada daerah Wonosari. Para peziarah memiliki kepercayaan untuk menunggu gugurnya buah, daun, atau ranting pohon tersebut untuk digunakan sebagai jimat pemberi kekayaan.[8] Menurut legenda, pohon tersebut berasal dari tongkat Eyang Djoego yang ditancapkan ke tanah agar wilayah Gunung Kawi aman dan bebas gangguan dari siapapun, baik manusia maupun makhluk halus.[9] Banyak peziarah yang duduk-duduk di halaman sekitar untuk menunggu gugurnya bagian tanaman dewandaru.[2] KlentengDi dekat komplek pesarean sebelum memasuki halaman padepokan terdapat sebuah klenteng tempat beribadah umat Konghucu dan Buddhis. Klenteng ini memiliki junjungan utama Dewi Kwan Im.[2] Kultur populer
Lihat pulaReferensi
|