Wira Tanu III
Raden Aria Wira Tanu III adalah bupati Cianjur yang memerintah dari tahun 1707 s.d. 1726 Kehidupan AwalNama asli Raden Aria Wira Tanu III adalah Raden Astramanggala. Ia diangkat bupati pada tahun 1707 ketika ayahnya yaitu R.A. Wira Tanu II meninggal. Saat Wira Tanu III naik tahta, ibu kota Cianjur yang berada di Pamoyanan sudah mulai mundur. Maka langkah pertama Wira Tanu III adalah memindahkan ibu kota yang asalnya dari Pamoyanan ke kampung Cianjur sampai dengan saat ini. Perlu diperhatikan bahwa kampung Cianjur merupakan salah satu wilayah yang berada di Kabupaten Cianjur sehingga Wira Tanu III tidak berperan sebagai pendiri Cianjur.[1] Bupati CianjurPada masa pemerintahan Wira Tanu III, VOC mulai mengolah wilayah-wilayah yang diserahkan Mataram seperti menetapkan batas tiap kabupaten, dan memperbaiki tata kota dan desa. Pada tahun 1711, VOC menetapkan bahwa wilayah pantai selatan dimasukan ke wilayah Cianjur. Selanjutnya pada 1715 Jampang pun dimasukan ke wilayah Cianjur.[1] Wira Tanu III sering mengajukan klaim ke VOC mengenai wilayah-wilayah yang ada di kekuasaan kabupaten tetangga. Hal ini mengakibatkan Residen Cirebon merasa kewalahan karena tentunya hal ini akan mengurangi wilayah kabupaten lain. Residen Cirebon menyampaikan laporan pada pemerintahan Batavia sebagai berikut:
Wira Tanu III termasuk bupati yang berprestasi dalam pandangan VOC, karena Wira Tanu III selalu berhasil menyetor kopi yang terbesar ke VOC.[2] KematianWira Tanu III meninggal pada tahu 1726 karena ditusuk condre. Karena inilah Wira Tanu III setelah kematiannya disebut sebagai Dalem Dicondre. Ada dua versi ditusuknya Wira Tanu III[1] PemberontakanWira Tanu III adalah bupati yang tegas dalam hal menerapkan hukum tanam paksa. Ketegasan ini menguntungkan pihak VOC tapi merugikan rakyat. Rakyat merasa menderita karena sistem tanam paksa ini. Suatu waktu ada kasus bahwa bayaran kopi pada VOC yang seharusnya 17,5 gulden hanya dibayar 12,5 gulden sedangkan yang 5 gulden dipakai oleh Wira Tanu III sendiri. Hal ini mengakibatkan kemarahan rakyat dan berakhir dengan ditusuknya Wira Tanu III oleh senjata condre.[1] Masalah cintaSuatu waktu Wira Tanu III mendengar bahwa di Cikembar ada gadis cantik yang bernama Apun Gentay. Karena kecantikannya sangat pantas jika Apun Gentay dinikahi oleh Wira Tanu III. Apun Gentay sendiri sebenarnya sudah memiliki kekasih orang Citeureup, Bogor.[1] Apun Gentay kemudian dipanggil ke Pendopo. Apun Gentay tiba di pendopo pukul 4 sore bersama kekasihnya. Keadaan di pendopo ketika itu tidak ada siapa-siapa yang ada hanya Wira Tanu III dengan saudaranya yaitu Mas Purwa. Semua yang ada di pendopo menyangka bahwa Apun Gentay bersama pengiringnya bukan bersama kekasihnya. Ketika Apun Gentay dipanggil untuk mendekat, kekasihnya ikut mendekat dan dengan cepat menusuk Wira Tanu III dengan condre sebanyak tiga kali. Wira Tanu III kemudian roboh dengan isi perut keluar. Mas Purwa kemudian mengejar si penusuk. Di alun-alun mereka bertarung dan karena kesaktian Mas Purwa, si penusuk berhasil dipenggal kepalanya. Wira Tanu III pingsan di singgasana dengan keadaan isi perut keluar. Pukul 7 malam Wira Tanu III akhirnya meninggal.[1] Sejak saat itu seluruh keturunan Wira Tanu III pantang untuk mempersunting gadis dari Cikembar, juga pantang untuk memiliki atau menggunakan senjata condre.[3] Pantangan Memiliki Senjata CondreDalam sebuah naskah yang ditulis oleh Dalem Pancaniti (R.A.A. Kusumaningrat) tahun 1857, pada kisa peristiwa pembunuhan Dalem Dicondre disebutkan bahwa sebelum wafat Dalem Dicondre berwasiat kepada keluarga dan seluruh keturunannya pantang untuk menggunakan atau memiliki senjata condre.[4] Sekilas Mengenai Gelar Yang DigunakanGelar bangsawan zaman feodalisme di daerah Sunda tidak terlalu berbeda dengan gelar di Jawa. Gelar digunakan untuk menunjukan derajat seorang bangsawan. Pada umumnya gelar yang dipakai adalah Ngabehi, Tumenggung, Aria dan Adipati. Gelar-gelar ini didapat dengan berbagai cara, diantaranya:
Di wilayah kekuasaan VOC, para penguasa lokal yang merupakan bangsawan. Diperbolehkan memakai gelar dengan cara membeli dari VOC. Gelar-gelar ini harganya sangat mahal, sehingga beberapa bangsawan miskin memiliki jabatan pun banyak yang tidak bergelar dan hanya menyandang Raden saja. Gelar yang paling mahal adalah gelar Pangeran karena gelar ini sangat istimewa dan harus mendapat izin dulu dari Raja/Ratu Belanda.[1] Referensi
|