Watu Pinawetengan
Watu Pinawetengan (yang berarti Batu Tempat Pembagian) berada di kecamatan Tompaso kabupaten Minahasa. Watu Pinawetengan merupakan suatu tempat berunding para pemimpin sub etnik yang ada di Minahasa untuk berikrar bahwa sub etnik di Minahasa walaupun hidup berkelompok tapi bersatu untuk menghalau para pengacau dari luar serta membangun wilayah-wilayah yang ada di Minahasa yang ditandai dengan coretan-coretan yang ada diatas batu tersebut. Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian. Batu ini bisa dikatakan tonggak berdirinya subetnis yang ada di Minahasa dan menurut kepercayaan penduduk berada di tengah-tengah pulau Minahasa. Bahkan beberapa orang yang rutin mengunjungi Watu Pinawetengan, ada ritual khusus yang diadakan tiap 3 Januari untuk melakukan ziarah dan pertunjukan tarian adat kabasaran. Sementara itu, karena nilai sejarah dan budaya yang kental, tiap tanggal 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya yang mulai terkikis di Minahasa. SejarahSekitar 1000 SM terjadi pembagian sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi, yang dimana masing masing tetua atau Tonaas (pemimpin Minahasa) memiliki suara dan hak berunding secara demokratis yang ditandai dengan adanya batu milik para Tonaas yang memimpin musyawarah di Watu Pinawetengan yang disebut Muntu Untu di sekitar situs Watu Pinawetengan seperti Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan, dan Mamarimbing. Pada awalnya masyarakat Minahasa kuno yang merupakan keturunan Toar dan Lumimuut memutuskan untuk berpencar untuk mencari tanah yang baru dan Tumami (membuka tanah bermukim yang baru), namun mereka menghadapi masalah, seperti tidak bisa berkomunikasi, saling berebut wilayah atau tanah, dan pertikaian antar golongan, karena tidak adanya penentuan dan pengaturan serta cara pembagian yang adil dalam memilih dan menentukan tempat Tumami. Toar dan Lumimuut kemudian menyuruh anak-anaknya dari golongan Makatelu Pitu untuk menghimpun semua penghulu dari ketiga golongan tersebut untuk berkumpul dan menyelesaikan permasalahan yang timbul. Alasan Toar dan Lumimuut memilih golongan Makatelu Pitu karena posisi mereka pada waktu itu adalah netral, sehingga mereka bisa menjadi juru damai dan penengah. Mereka lalu mencari tempat untuk bertemu dan bersama-sama mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Akhirnya mereka menemukan sebuah tempat yang terletak di kaki pegunungan Tonderukan. Di tempat itulah kemudian mereka berkumpul mengadakan musyawarah untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Di tempat inilah, tepatnya pada sebuah batu di kaki pegunungan Tonderukan diadakan musyawarah pembagian wilayah dan tanah pencaharian dan pembagian suku yaitu Touwtewoh (Tonsea), Touwsendangan/Touwrikeran (Toulour), Toumayesu, dan Toukinembut/Toukembut/Toupakewa (Tountembuan), dan juga di tempat inilah Tou (Orang) Malesung berikrar untuk bersatu, walaupun hidup berkelompok dan berbeda wilayah, juga bersatu untuk menghalau serangan-serangan dari luar, termasuk tekanan dan serangan dari daerah Bolaang-Mongondow pada waktu itu (Sekitar Abad 15), dan juga bangsa Spanyol (Tasikela atau Kastela) pada tahun 1617 sampai 1645, sehingga muncul perubahan dari “Malesung” menjadi “Maesa” atau “Mina Esa” yang berarti “Menjadi Satu” yang kemudian berkembang menjadi “MINAHASA”. Sejak itulah kemudian penduduk mulai tersebar keseluruh Minahasa, berkembang menjadi suku dan bahasa : Tonsea, Toumbulu, Tountemboan, Toulour, Tounsawang, kemudian penduduk pendatang dengan nama Bantik, Pasan, dan Panosakan. Oleh karena itu, batu tempat bermusyawarah atau perundingan yang terletak dibawah kaki pegunungan Tonderukan ini dinamakan sebagai “Watu Pinawetengan” yang artinya “Batu tempat pembagian (Meweteng). Menurut makna tua Minahasa, Pinawetengan juga bermakna sebagai “Janji atau Ikrar/Sumpah yang disepakati bersama (dalam satu perundingan atau musyawarah)”. Lokasi ini ditemukan kembali oleh J. G. F. Riedel pada tahun 1881. Dari catatan penelitian Riedel dan Schwarz pada tahun 1862 dan bukti-bukti peninggalan lisan leluhur Minahasa, diperkirakan Watu Pinawetengan berasal dari abad VII masehi, namun penelitian lain mengatakan goresan yang ada di batu menunjukan bahwa Watu Pinawetengan berumur sekitar ribuan tahun sebelum masehi saat kedatangan pertama bangsa Austronesia ke tanah Minahasa. Berdasarkan cerita rakyat Minahasa dahulu, Watu Pinawetengan disebut sebagai “Watu Rerumeran ne Empung” atau batu tempat berunding para leluhur, dimana para pemimpin sub-etnis Tou Malesung berkumpul dan kemudian berikrar untuk menjadi satu sebagai Tou (Orang) MInahasa (sebuah kata yang berarti “Mina” (Menjadi), dan “Esa” (Satu), dan kemudian menjadi MINAHASA) Goresan di batuGoresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu. Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun dan kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna. Aksara Malesung adalah aksara tradisional masyarakat Minahasa Kuno yang ditemukan di situs Watu Pinawetengan yang masa kini tidak ada yang menggunakannya lagi. Bentuk aksara Malesung berasal dari serumpun dengan aksara Filipina. Huruf Malesung ini hanya dipakai untuk menulis keputusan penting pemerintahan, keagamaan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada batu watu dengan menggunakan peralatan besi atau pahat batu/besi. Aksara Malesung kini hanya tersisa pada beberapa peninggalan Prasasti di antaranya prasasti Watu Pinawetengan, Watu Rerumeran, Watu Tiwa, kayu dan juga batu lainnya. Prasasti Pinawetengan ditemukan dari galian pada tahun 1888 di desa Pinawetengan (Tompaso), Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Penanggalan musyawarah tersebut masih diperkirakan antara abad 2 sampai 4 sedangkan menurut J.G,F. Riedel abad 7 tahun 670 Masehi, berdasarkan perhitungan silsilah. Prasasti ini menggunakan bahasa Minahasa Kuno meskipun huruf-huruf yang digunakan hiroglif belum ada yang mengetahui secara jelas, hanya dari syair kuno dan penjelasan dari hikayat turun temurun yang dipegang dipercaya sebagai isi dari Prasasti mengisahkan Musyawarah para leluhur untuk perdamaian, Pengaturan sistem pemerintahan dan Pembagian wilayah. Huruf Prasasti ini berbeda dengan prasasti lainnya di nusantara (Indonesia) yang menggunakan huruf Kawi yang masih terpelihara bukti-buktinya, sehingga mudah dipelajari. Hurufnya sangat berbeda apabila dibandingkan dengan prasasti dari Jawa pada semasanya. Huruf ini sudah tidak dikenal. Huruf-huruf pada Pinawetengan ditatah pada batu langsung, seperti di Jawa ditulis tetapi bukan huruf Pallawa, Kawi dan sebagainya, kemungkinan besar huruf ini lebih tua dari huruf Kawi, Pallawa dan lainnya, karena masih berbentuk gambar (hieroglif) sama dengan huruf Mesir Kuno. Hieroglif adalah sistem tulisan formal yang digunakan masyarakat Mesir Kuno yang terdiri dari kombinasi elemen logograf dan alfabet. Melihat jenis huruf maka diperkirakan digunakan sebelum Masehi dan kemungkinan hilang atau mulai jarang digunakan sekitar abad 9. Bacaan lebih lanjutLumoindong, David DS. "Sejarah Riset Prasasti Pinawetengan". malesung.wordpress.com. Diakses tanggal 2025-01-21. [1] R. P. Tumengkol; D. A. Rantung; L. Naibaho; T. Kaat; V. R. Mokalu (November 2023). "Watu Pinawetengan Sebagai Place-Lore dan Simbol Civil Sphere di Minahasa". Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. 7 (1): 136–150. doi:10.14710/endogami.7.1.136-150. [2] Anthonius Dan Sompe and Demsy Jura (11–12 October 2021). "Watu Pinawetengan as a Symbol of Unity and Brotherhood of the Minahasa Tribe". Proceedings of the 6th Batusangkar International Conference, BIC 2021. Batusangkar-West Sumatra, Indonesia: EAI. doi:10.4108/eai.11-10-2021.2319590. [3] Hun Johanis A. Pinatik; Izak Y. M. Lattu; Rama Tulus Pilakoannu (Desember 2021). "Perubahan Agama Minahasa Dan Kekristenan Dalam Konstruksi Perjumpaan Simbol Sakral Pada Ritual Di Watu Pinawetengan". KENOSIS : JURNAL KAJIAN TEOLOGI. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. 7 (2). doi:10.37196/kenosis.v7i2.391. Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia