Aksi bakar diri ini kemudian dianggap sebagai titik balik dalam Krisis Buddhis dan berperan penting dalam menggulingkan Diệm, yang kemudian dibunuh pada tanggal 2 November 1963. Foto kejadian tersebut, yang membuat Malcolm Browne mendapatkan sebuah Penghargaan Pulitzer, mendatangkan simpati terhadap biksu-biksu Vietnam dan desakan terhadap rezim Diệm dari segala penjuru dunia. Sejumlah biksu Vietnam lainnya mengikuti jejak Quang Duc dengan membakar diri setelah tekanan terhadap mereka semakin gencar. Aksi bakar diri ini pun ditiru oleh sejumlah pemrotes perang Vietnam di Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.
Biografi
Riwayat hidup Quang Duc tercatat dari informasi beberapa organisasi Buddhis. Tercatat bahwa ia lahir di desa Hoi Khanh, distrik Van Ninh, provinsi Khanh Hoa, Vietnam. Saat lahir, ia bernama Lâm Văn Túc, satu dari tujuh anak yang lahir dari pasangan Lâm Hữu Ứng dan istrinya, Nguyễn Thị Nương. Saat berusia 7 tahun, ia mempelajari Buddhisme di bawah bimbingan Hòa thượng Thích Hoằng Thâm, yang merupakan paman dan guru spiritualnya. Thích Hoằng Thâm membesarkannya dan Lâm Văn Túc mengganti namanya menjadi Nguyễn Văn Khiết. Pada usia 15 tahun, ia menjadi samanera dan menjadi seorang biksu pada usia 20 dengan nama dharmaThích Quảng Đức. Setelah diangkat, ia pergi ke sebuah pegunungan di dekat Ninh Hòa dan bersumpah untuk menjalani kehidupan Buddhisme yang tenang, sehingga bertapa selama tiga tahun. Ia nantinya akan kembali untuk membuka pagoda Thien Loc di pegunungan tempat ia menyepi.[4][5]
Setelah masa isolasi dirinya selesai, ia kemudian mengelilingi Vietnam tengah untuk menjelaskan dharma. Setelah dua tahun, dia menyepi di pagoda Sac Tu Thien An di dekat Nha Trang. Pada tahun 1932, ia menjadi pengawas Asosiasi Buddhis di Ninh Hòa sebelum menjadi pengawas biksu di tempat tinggalnya di provinsi Khánh Hòa. Selama periode ini, di Vietnam tengah, ia bertanggung jawab atas pembangunan 14 kuil.[6] Pada tahun 1934, ia pindah dan berkelana di Vietnam bagian selatan untuk menyebarkan ajaran Buddha. Pada masanya di Vietnam selatan, ia juga menghabiskan dua tahun di Kamboja untuk mempelajari tradisi Buddhisme Theravada.
Sekembalinya dari Kamboja, ia mengawasi pembangunan 17 kuil baru di daerah selatan. Kuil terakhir dari 31 kuil baru yang ia bangun adalah pagoda Quan The Am di distrik Phu Nhuan, Gia Dinh, di pinggiran kota Saigon.[6] Jalan tempat berdirinya kuil tersebut kini dinamai dari Quang Duc. Setelah pembangunan kuil selesai, Đức ditunjuk untuk menjadi Ketua Ritus Seremonial Kongregasi Biksu Vietnam, dan sebagai kepala pagoda Phuoc Hoa, yang merupakan tempat awal Asosiasi Pembelajaran Buddhisme Vietnam (ABSV).[6] Ketika pusat ABSV berpindah tempat ke Pagoda Xa Loi, pagoda utama Saigon, Đức mengundurkan diri.[4]
Di sebuah negara yang menurut survei agama pada waktu itu antara 70 hingga 90 persen penduduknya memeluk Buddhisme,[7][8][9][10] Presiden Diem merupakan seorang minoritas Katolik dan kerap melakukan tindak diskriminatif, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap umat Buddha untuk meng-Katolik-kan Vietnam.[11] Diệm pernah memberitahu seorang perwira tinggi (dan lupa bahwa perwira tersebut merupakan seorang Buddhis) agar "menempatkan perwira Katolikmu di tempat sensitif. Mereka dapat dipercaya."[12] Beberapa perwira di Angkatan Bersenjata Republik Vietnam berpindah agama menjadi Katolik Roma karena prospek militer mereka bergantung kepada hal tersebut.[12] Selain itu, senjata api hanya dibagikan ke milisi pertahanan desa yang beragama Katolik, sementara beberapa orang Buddha di angkatan bersenjata tidak akan dinaikan pangkat bila tidak menjadi Katolik.[13]
Beberapa pendeta Katolik Roma pun juga memiliki pasukan pribadi.[14] Mereka melakukan pengubahan agama paksa serta menjarah, menembaki, dan menghancurkan pagoda di beberapa wilayah, sementara pemerintah menutup mata.[15] Beberapa desa Buddha menjadi Katolik secara massal untuk mendapatkan bantuan atau menghindari pemindahan paksa oleh rezim Diệm.[16] Status "privat" yang ditetapkan oleh Prancis untuk Buddhisme, yang mewajibkan mereka yang hendak mengadakan kegiatan Buddhisme di depan umum untuk memiliki izin resmi, tidak dicabut oleh Diệm.[17] Orang Katolik juga secara de facto dibebaskan dari kerja paksa yang wajib dilakukan oleh semua warga negara, sementara bantuan dari Amerika Serikat tidak dibagikan secara proporsional dan diberikan lebih banyak ke desa yang mayoritas beragama Katolik.[18]
Gereja Katolik Roma merupakan pemilik lahan terbesar di Vietnam Selatan dan memperoleh pengecualian khusus dalam akuisisi properti, sementara lahan milik Gereja Katolik Roma dibebaskan dari reformasi lahan.[19]Bendera Vatikan selalu dikibarkan di semua acara besar umum di Vietnam Selatan,[20] dan Diệm mendedikasikan negaranya kepada Bunda Maria pada tahun 1959.[18]
Ketidakpuasan orang Buddha meletus menyusul sebuah larangan pada awal Mei untuk tidak mengibarkan bendera Buddhis di Huế pada hari Waisak, hari kelahiran Buddha Gautama. Beberapa hari sebelumnya, umat Katolik diajak mengibarkan bendera Vatikan pada acara perayaan untuk Uskup Agung Hue Ngo Dinh Thuc, kakak Diem. Massa Buddha menolak larangan tersebut dan menentang pemerintah dengan mengibarkan bendera Buddhis pada hari Waisak serta bergerak ke stasiun siaran pemerintah. Pasukan pemerintah kemudian menembaki kelompok tersebut, sehingga menewaskan sembilan orang. Diệm menolak bertanggung jawab dan menyalahkan Viet Cong, sehingga semakin banyak muncul demonstrasi Buddhis yang menuntut kesetaraan agama.[21] Tuntutan mereka meliputi:
Pencabutan pelarangan pengibaran bendera Buddhis
Kebebasan beragama seperti umat Katolik
Agar tidak memandang agama sebagai asosiasi
Penghentian penganiayaan umat Buddhis
Kompensasi untuk korban penembakan Hue dan penghukuman para pelaku
Meskipun demikian, Diem tetap tidak mau memenuhi tuntutan Buddhis, sehingga frekuensi protes pun meningkat.[22]
Bakar diri
Pada tanggal 10 Juni 1963, koresponden AS diinformasikan bahwa "sesuatu yang penting" akan terjadi esok hari di sebuah jalan di luar kedutaan Kamboja di Saigon.[24] Sebagian besar wartawan mengabaikan pesan tersebut karena krisis Buddhis telah berlangsung selama lebih dari sebulan, dan hari berikutnya hanya beberapa jurnalis yang muncul, seperti David Halberstam dari The New York Times dan Malcolm Browne, kepala biro Associated Press Saigon.[24] Đức tiba sebagai bagian dari prosesi pada sebuah pagoda didekat situ. Sekitar 350 biksu dan biksuni berbaris dalam dua ruas, didahului oleh sebuah sedan Westminster buatan Austin yang membawa spanduk yang dicetak dalam bahasa Inggris dan Vietnam. Mereka mengecam pemerintahan Diệm dan kebijakannya terhadap kaum Buddhis, serta menuntut pemenuhan janji kesetaraan agama.[24] Biksu lain sempat menawarkan dirinya, tetapi tunduk kepada senioritas Đức.[2]
Peristiwa itu terjadi di persimpangan [b] Jalan Phan Đình Phùng (sekarang Jalan Nguyen Dinh Chieu) dan Jalan Le Van Duyet (sekarang Jalan Cach Mạng Thang Tam) yang terletak di barat daya Istana Presidensial (sekarang Istana Reunifikasi). Duc keluar dari mobil tersebut bersama dua biksu lainnya. Salah satu biksu menempatkan alas duduk di tengah jalan sementara biksu kedua membuka bagasi dan mengeluarkan lima galon bensin. Orang-orang lalu membentuk lingkaran mengelilinginya, dan Duc kemudian duduk dalam posisi teratai (yang merupakan posisi meditasi Buddha tradisional) di atas alas duduk. Seorang murid menyiramkan seluruh kontainer bensin ke tubuh Đức. Đức memutar kalung doa yang terbuat dari kayu dan membacakan paritta Nianfo ("penghormatan untuk BuddhaAmitābha") sebelum korek api dinyalakan dan api membakar dirinya. Api pun melahap jubahnya dan tubuhnya, dan asap berwarna hitam keluar dari tubuhnya yang terbakar.[24][25]
Kata-kata terakhir Quang Duc sebelum membakar diri dicatat di dalam sebuah surat yang ia tinggalkan:
Sebelum menutup mataku dan mendekatkan diriku kepada Buddha, dengan penuh rasa hormat aku meminta kepada Presiden Ngo Dinh Diem untuk menunjukkan sedikit rasa belas kasih kepada rakyat dan memberlakukan kesetaraan agama untuk mempertahankan kekuatan negeri ini selamanya. Aku juga memanggil mereka yang dimuliakan, mereka yang terhormat, anggota-anggota sangha, dan Buddhis awam untuk secara solider melakukan pengorbanan dalam rangka melindungi Buddhisme.[4]
Aku hendak mengamati lagi, tetapi sekali saja sudah cukup. Api itu datang dari seorang manusia; tubuhnya secara perlahan mengering, kepalanya menghitam dan menjadi arang. Di udara tercium bau daging manusia terbakar; seorang manusia secara mengejutkan terbakar dengan cepat. Di belakangku, aku bisa mendengar isak para warga Vietnam yang sekarang berkumpul. Aku terlalu syok untuk menangis, terlalu bingung untuk mencatat atau mengajukan pertanyaan, dan terlalu bingung untuk berpikir ... Ketika ia terbakar, ia tidak pernah bergerak sedikitpun, tidak membuat suara, ketenangannya berlawanan dengan orang-orang yang meratap di sekelilingnya.[26]
Polisi mencoba menjangkaunya, tetapi tidak dapat menembus barisan lingkaran yang dibuat oleh para Buddhis. Salah satu polisi bahkan bersujud di hadapan Duc sebagai sebuah penghormatan.[2] Para saksi mata kebanyakan hanya tertegun diam, tetapi beberapa diantaranya menangis dan mengucapkan doa. Banyak biksu dan biksuni, serta beberapa orang lewat yang syok, bersujud di hadapan sang biksu yang terbakar.[2]
Dalam bahasa Inggris dan Vietnam, seorang biksu berbicara melalui sebuah mikrofon, "Seorang pendeta Buddha membakar dirinya sampai mati. Seorang pendeta Buddha menjadi seorang martir." Setelah terbakar selama sepuluh menit, seluruh tubuh Duc telah hangus semua dan tubuhnya terjatuh ke belakang dan punggungnya terbaring. Setelah api padam, sekelompok biksu menutupi tubuhnya dengan jubah kuning, mengangkatnya dan memasukannya ke dalam sebuah peti, tetapi salah satu anggota tubuh tidak bisa diluruskan dan salah satu lengannya keluar dari kotak kayu saat dibawa ke pagoda Xá Lợi di Saigon tengah. Di luar pagoda, seorang pelajar memasang sebuah spanduk yang bertuliskan: "Seorang pendeta Buddha telah membakar dirinya demi lima permintaan kita."[24]
Pada pukul 13.30, sekitar seribu biksu berkumpul untuk mengadakan pertemuan sementara sekumpulan besar pelajar pro-Buddhis berjaga-jaga di sekelilingnya. Pertemuan segera berakhir dan semua kecuali ratusan biksu meninggalkan tempat secara perlahan. Hampir seribu biksu beserta warga sipil kembali ke tempat pembakaran. Sementara itu, para polisi terus berkeliling. Pada pukul 18.00, 30 biksuni dan enam biksu ditangkap karena mengadakan doa bersama di jalan di luar Xá Lợi. Polisi mengepung pagoda, melarang orang masuk dan membuat pengamanan ketat dengan pasukan bersenjata yang dilengkapi perlengkapan anti huru-hara.[27] Sore itu, ribuan warga Saigon mengklaim telah melihat kenampakan wajah Buddha di langit saat matahari terbenam. Mereka mengklaim bahwa dalam kenampakan tersebut Buddha sedang menangis.[3]
Pemakaman dan Akibat
Setelah aksi bakar diri tersebut, AS memerintahkan Diệm untuk membuka kembali perundingan. Diệm kemudian menjadwalkan pertemuan kabinet darurat pada saat pukul 11.30 pada tanggal 11 Juni untuk mendiskusikan krisis Buddhis yang ia yakini akan mereda. Akibat kematian Quang Duc, Diệm membatalkan pertemuan dan bertemu secara pribadi dengan menteri-menterinya. Pemangku Jabatan (acting) Duta Besar AS di Vietnam Selatan William Trueheart memperingatkan Nguyen Dinh Thuan, Sekretaris Negara Diệm, untuk segera menyelenggarakan sebuah perundingan, dan berkata bahwa situasi tersebut "berbahaya karena hampir kritis" dan mengharapkan agar Diệm memenuhi lima hal yang diminta umat Buddhis. Menteri Luar Negeri Amerika SerikatDean Rusk memperingatkan kedutaan Saigon bahwa Gedung Putih akan secara terbuka mengumumkan tidak akan lagi "mengasosiasikan diri" dengan rezim jika hal tersebut tidak dilakukan.[28] Sebuah Komunike Bersama dan konsesi untuk kaum Buddhis ditandatangani pada tanggal 16 Juni.[29]
15 Juni menjadi tanggal yang dipilih untuk melangsungkan pemakaman, dan pada hari itu 4.000 orang berkumpul di luar pagoda Xá Lợi, tetapi acara tersebut ditunda. Pada tanggal 19 Juni, tubuh Đức dibawa dari Xa Loi menuju permakaman 16 kilometer (9,9 mi) di sebelah selatan kota untuk dikremasi ulang dan pemakaman. Setelah penandatanganan Komunike Bersama, berdasarkan persetujuan hanya sekitar 400 biksu yang boleh hadir.[29]
Pengawetan jantung dan simbolis
Tubuhnya dikremasi ulang saat pemakaman, tetapi jantung Đức tetap utuh dan tidak terbakar.[2] Jantung tersebut kemudian dianggap suci dan diletakkan di dalam sebuah cawan di Pagoda Xa Loi.[3]Relik jantung yang masih utuh[2] tersebut dianggap sebagai sebuah simbol kasih sayang. Duc kemudian dihormati oleh umat Buddhis Vietnam sebagai seorang bodhisatwa (Bồ Tát), dan karenanya sering disebut dalam bahasa Vietnam dengan sebutan Bồ Tát Thích Quảng Đức.[4][30] Pada 21 Agustus, Pasukan Khusus ARVN yang dipimpin Nhu menyerang Xa Loi dan pagoda Buddhis lainnya di Vietnam. Polisi rahasia dikerahkan untuk merebut abu Duc, tetapi dua biksu berhasil kabur membawanya pergi, melompati pagar bagian belakang dan mencari perlindungan di sebelah Misi Operasi AS.[31] Pasukan Nhu berhasil merampas jantung hangus Đức.[32]
Muncul pertanyaan mengenai apakah lokasi yang dipilih untuk aksi bakar diri, yaitu di depan kedutaan besar Kamboja, hanyalah merupakan kebetulan belaka atau merupakan pilihan simbolis. Trueheart dan petugas kedutaan Charles Flowerree merasa bahwa lokasi tersebut dipilih untuk menunjukan solidaritas untuk pemerintahan Pangeran Norodom Sihanouk di Kamboja. Vietnam Selatan dan Kamboja memiliki hubungan yang tidak baik: dalam sebuah pidato pada tanggal 22 Mei, Sihanouk menuduh Diệm menganiaya bangsa Vietnam dan etnis minoritas Buddhis Khmer. Times of Vietnam yang pro-Diem menerbitkan sebuah artikel pada tanggal 9 Juni mengklaim para biksu Kamboja yang telah mendorong terjadinya krisis Buddhis, dan menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari rencana Kamboja untuk memperluas kebijakan luar negerinya yang netral ke Vietnam Selatan. Flowerree mencatat bahwa Diem "siap dan ingin sekali melihat peran Kamboja dalam semua aksi Buddhis yang telah dilakukan".[33]
Reaksi Diệm
Diệm, melalui sebuah radio pada pukul 19.00 pada hari kematian Đức, menegaskan bahwa ia sangat terganggu dengan peristiwa ini. Ia memohon "ketenangan dan patriotisme", dan mengumumkan bahwa negosiasinya dengan Buddhis akan dilanjutkan. Ia mengklaim negosiasi tersebut telah berjalan dengan baik dan pada masa ketegangan agama menekankan peran filsafat personalisme Katolik Roma dalam kekuasaannya. Ia juga menyatakan bahwa para ekstremis telah memutarbalikkan fakta dan menyatakan bahwa Buddhis dapat "bergantung kepada Konstitusi, dengan kata lain, saya."[27]
Tentara Republik Vietnam pun merespon hal tersebut dengan menunjukkan solidaritasnya di belakang Diệm dengan tujuan untuk mengisolasi perwira yang membangkang. Pimpinan perwira tingkat ketiga oleh Jenderal Le Van Ty menyatakan tekadnya untuk melaksanakan semua misi yang dipercayakan kepada angkatan bersenjata untuk membela konstitusi dan Republik. Deklarasi tersebut menyembunyikan rencana untuk menjatuhkan Diệm.[34] Beberapa penanda tangan secara pribadi ikut terlibat dalam penggulingan Diệm dan kematiannya pada bulan November. Sementara itu, jenderal Duong Van Minh dan Tran Van Don, penasihat militer presiden dan kepala angkatan bersenjata yang akan memimpin kudeta, sedang berada di luar negeri.[34]
Madame Nhu, yang sebelum menjadi Katolik beragama Buddhisme dan merupakan istri dari adik dan kepala penasihat Diệm Ngo Dinh Nhu, yang dianggap sebagai Ibu Negara Vietnam Selatan pada waktu itu (karena Diệm belum menikah), mengatakan ia akan "bertepuk tangan saat melihat pertunjukan barbekyu biksu lainnya".[35] Beberapa bulan kemudian, pemerintahan Diệm menyatakan bahwa Đức diberi obat-obatan sebelum dipaksa untuk bunuh diri.[36] Mereka juga menuduh Browne telah menyuap Đức agar membakar dirinya sendiri.[37]
Dampak politik dan media
Foto bakar diri yang diabadikan oleh Malcolm Browne dengan cepat menyebar dan ditampilkan di halaman depan surat kabar di seluruh dunia. Peristiwa bakar diri ini kemudian dianggap sebagai titik balik dalam krisis Buddhis dan berperan penting dalam keruntuhan rezim Diệm.[38]
Sejarawan Seth Jacobs menegaskan bahwa Duc "juga telah menghanguskan ujicoba Amerika Serikat" dan "tidak ada yang bisa memulihkan reputasi Diệm" begitu gambar-gambar Browne telah tertanam ke dalam jiwa masyarakat dunia.[39]Ellen Hammer menggambarkan kejadian tersebut telah "memicu gambaran penganiayaan dan horor yang terkait dengan realitas yang sangat Asia yang tak dapat dipahami orang Barat."[40]John Mecklin, seorang pejabat dari kedutaan AS, mengatakan bahwa foto tersebut "memberikan efek kejut yang tak terkira bagi Buddhis, menjadi simbol keadaan di Vietnam."[38]William Colby, pimpinan Badan Intelijen Pusat Divisi Timur, menyatakan bahwa Diệm telah "menanggapi krisis Buddhis dengan cukup buruk dan membiarkannya bertumbuh. Namun saya benar-benar tidak merasa bahwa mereka tak dapat melakukan apa-apa begitu biksu itu membakar dirinya sendiri."[38]
Presiden John F. Kennedy yang mendukung rezim Diệm mengetahui fakta tentang kematian Đức saat mendapat koran pagi ketika sedang berbicara dengan saudaranya, Jaksa AgungRobert F. Kennedy, melalui telepon. Kennedy dilaporkan menghentikan percakapan mereka mengenai segregasi di Alabama dengan berteriak "Yesus Kristus!" Ia kemudian berkata bahwa "tidak ada gambar di surat kabar dalam sejarah yang begitu membangkitkan emosi ke seluruh dunia seperti halnya yang satu ini".[39] Senator AS Frank Church (D-ID), seorang anggota Komite Senat Hubungan Luar Negeri, mengklaim bahwa "adegan mengerikan tersebut belum pernah disaksikan sejak martir Kristen berbaris bergandengan tangan ke dalam arena Romawi."[40]
Di Eropa, foto tersebut dijual di jalanan sebagai kartu pos pada tahun 1960an, dan komunis Tiongkok mendistribusikan jutaan kopi foto ke Asia dan Afrika sebagai gambaran "imperialisme AS".[37] Salah satu foto Browne ditempel di sedan yang dipakai Đức dan menjadi objek wisata di Huế.[37]
Untuk Browne dan Associated Press (AP), gambar tersebut mendorong penjualan. Ray Herndon, wartawan United Press International (UPI) yang lupa mengambil kameranya pada hari itu, mendapat kecaman keras secara pribadi oleh pimpinannya. UPI yang diperkirakan mempunyai 5.000 pembaca di Sydney, yang saat itu berpenduduk sebanyak 1.5–2 juta jiwa, kemudian beralih ke sumber berita AP.[41]
Corong berita bahasa Inggris Diệm, Times of Vietnam, menargetkan serangannya pada kedua jurnalis dan umat Buddhis. Judul utama seperti "Politburo Xá Lợi membuat ancaman baru" dan "rencana pembunuhan biksu" dicetak.[42] Satu artikel mempertanyakan hubungan antara biksu dan pers dengan mengajukan pertanyaan mengapa "banyak para gadis muda yang keluar masuk Xá Lợi pada awal [hari]" dan kemudian menuduh bahwa mereka dibawa untuk memenuhi kebutuhan seksual wartawan AS.[42]
Foto Browne yang memenangkan penghargaan telah direproduksi di media populer selama beberapa dasawarsa, dan insiden ini digunakan sebagai acuan dalam berbagai film dan acara televisi. Artis Peter Hopkins (1911–1999) melukis sebuah gambar antiperang pada tahun 1964 yang menggabungkan adegan bakar diri Đức dengan sebuah adegan yang menggambarkan dirinya pada saat pembakaran pertama, dengan Menteri Pertahanan AS Robert McNamara dan Presiden Diệm sedang dipanggul oleh kuli di latar belakang. Lukisan tersebut, "Ambassador of Goodwill" (C) 1994 M. J. Stutterheim (dengan seluruh perubahan), dapat dilihat di sini.
Meskipun telah cukup membuat gempar publik Barat, praktik bakar diri biksu Vietnam bukan sekali saja terjadi. Kebiasaan bakar diri di Vietnam telah tercatat selama berabad-abad, biasanya untuk menghormati Buddha Gautama. Salah satu peristiwa berlangsung di Vietnam Utara pada tahun 1950. Otoritas kolonial Prancis telah berusaha memberantas praktik tersebut setelah mereka menguasai Vietnam pada abad ke-19, tetapi tidak berhasil secara keseluruhan. Mereka berhasil mencegah satu biksu yang berniat membakar dirinya di Huế pada tahun 1920an, tetapi ia berhasil membuat dirinya mati kelaparan. Pada tahun 1920an dan 1930an, koran-koran di Saigon melaporkan beberapa aksi bakar diri yang dilakukan oleh para biksu secara terang-terangan. Praktik ini juga dilakukan di kota Harbin di Tiongkok pada tahun 1948, ketika seorang biksu yang duduk dalam posisi teratai di tumpukan serbuk gergaji dan minyak kedelai membakar dirinya dengan api untuk menentang perlakuan rezim komunis Mao Zedong terhadap Buddhisme. Jantungnya masih tetap utuh, sama seperti Đức.[43]
Setelah Đức, lima biksu Buddha lainnya membakar dirinya pada pertengahan Oktober 1963 ketika demonstrasi Buddhis di Vietnam meningkat.[44] Pada tanggal 1 November, Angkatan Bersenjata Republik Vietnam menjatuhkan Diệm dalam sebuah kudeta. Diệm dan Nhu kemudian dibunuh pada hari berikutnya.[45] Para biksu kemudian mengikuti cara Đức untuk alasan lain.[46]
Dengan maksud non-politis, seorang pemuda yang merupakan anak seorang perwira Amerika yang berbasis di Kedutaan AS di Saigon menyirami dirinya dengan bensin dan membakar dirinya. Ia terbakar serius sebelum api dipadamkan dan kemudian hanya berkata "aku ingin tahu seperti apa rasanya."[48]
Catatan
• a)^ Hòa thượng berarti "Paling Dimuliakan" dalam bahasa Vietnam.
• b)^ Pada gambar satelit (10°46′31″N106°41′13″E / 10.775159°N 106.686864°E / 10.775159; 106.686864) persimpangan Saigon tempat Quang Duc melakukan aksi bakar dirinya, Jalan Phan Đình Phùng (sekarang Nguyễn Đình Chiểu) terbentang dari timur laut ke barat daya dan Jalan Lê Văn Duyệt (sekarang Cách Mạng Tháng Tám) terbentang dari barat laut ke tenggara. Di pojok barat persimpangan terdapat sebuah tugu peringatan untuk Quang Duc. Selama bertahun-tahun di pojok utara berdiri sebuah stasiun bahan bakar Petrolimex, yang kemudian diubah menjadi taman peringatan untuk Quang Duc.
Harrison, Gilbert, ed. (1963a), "Diem's other crusade", The New Republic (22 June 1963)
Harrison, Gilbert, ed. (1963b), "South Vietnam: Whose funeral pyre?", The New Republic (29 June 1963)
Jacobs, Seth (2006), Cold War Mandarin: Ngo Dinh Diem and the Origins of America's War in Vietnam, 1950–1963, Lanham: Rowman & Littlefield, ISBN0-7425-4447-8
Jones, Howard (2003), Death of a Generation: how the assassinations of Diem and JFK prolonged the Vietnam War, New York: Oxford University Press, ISBN0-19-505286-2
Langguth, A. J. (2002), Our Vietnam: the war, 1954–1975, New York: Simon & Schuster, ISBN0-7432-1231-2
Huỳnh Minh (2006), Gia Định Xưa (dalam bahasa Vietnamese), Ho Chi Minh City: Văn Hóa-Thông Tin Publishing HousePemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Nhị Tường (2005), Tiểu Sử Bổ Tát Thích Quảng Dức (dalam bahasa Vietnamese), Fawker: Quang Duc Monastery (dipublikasikan tanggal 1 May 2005), diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-19, diakses tanggal 20 August 2007Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Tucker, Spencer C. (2000), Encyclopedia of the Vietnam War, Santa Barbara: ABC-CLIO, ISBN1-57607-040-9
Unattributed (14 June 1963), "The Religious Crisis", Time Magazine (14 June 1963), diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-20, diakses tanggal 21 August 2007Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
Unattributed (30 August 1963), "The Crackdown", Time Magazine (30 August 1963), diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-21, diakses tanggal 23 October 2007Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
Fauzani Mufid (Edisi II Tahun 1 (23 - 29 Januari 2012)). "Imolasi Diri: Membakar Tirani Lewat Tubuh". Prioritas News. Archived from the original on 2013-06-30. Diakses tanggal 2013-02-26.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)