Teori kesantunan dikemukakan oleh Penelope Brown dan Stephen C. Levinson. Kesantunan berbahasa digunakan untuk menghindari tindak tutur yang mengancam muka atau face threatening act (FTA). Teori kesantunan meliputi muka positif, muka negatif, tindak tutur yang mengancam muka atau face threatening act (FTA), strategi melakukan FTA, dan faktor yang mempengaruhi penggunaan strategi.
Dari berbagai penelitian mengenai kesopanan, teori kesopanan yang dikemukakan oleh Brown & Levinson begitu berpengaruh.[1] Walaupun teori yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson dianggap dapat diterapkan secara universal, tetapi teori ini banyak mendapat kritik dari berbagai aspek salah satunya perbedaan budaya dan cara menginterpretasikan dan mengkonseptualisasikan kesopanan.
Muka Positif dan Muka Negatif
"muka" dalam teori kesantunan bermakna nonliteral. Muka yang dimaksud dalam teori kesantunan seperti halnya dalam ungkapan "mukaku jatuh", "mau ditaruh mana mukaku", dan sebagainya. Brown dan Levinson membedakan muka menjadi muka positif dan muka negatif.[2]
Muka positif berarti apapaun yang diinginkan suatu individu dapat dipenuhi oleh individu lainnya. Muka negatif berarti suatu individu bebas melakukan suatu hal dan bebas terhadap paksaan.
Sepuluh tahun kemudian, Brown mencirikan muka positif sebagai keinginan untuk disukai, dikagumi, diratifikasi, atau hal-hal yang berhubungan secara positif. Dengan begitu, jika mengabaikan seseorang maka muka positif akan terancam. Kemudian, ia mencirikan muka negatif dengan tidak memaksakan orang lain.[3] Muka positif mengacu pada harga diri seseorang, sedangkan muka negatif mengacu pada kebebasan seseorang untuk bertindak.[4][5] Kedua aspek muka ini merupakan keinginan dasar dalam setiap interaksi sosial. Dalam setiap interaksi sosial, diperlukan kerjasama partisipan (penutur dan mitra tutur) untuk menjaga muka masing-masing.[4] Penutur dan mitra tutur dapat menggunakan kesantunan positif dan kesantunan negatif, yang disesuaikan dengan kebutuhan wajah positif dan negatif masing-masing orang.[6]
Tindak tutur yang mengancam muka atau Face-threatening Acts (FTA)
Menurut Brown dan Levinson, muka positif dan negatif ada dalam kebudayaan manusia secara menyeluruh Tindak tutur yang mengancam muka adalah tindak tutur yang memiliki kemungkinan merusak muka penutur atau mitra tutur yang bertentangan dengan keinginan orang lain. Tindak tutur yang mengancam muka atau face threatening acts dapat bersifat verbal (menggunakan kata/bahasa), paraverbal (disampaikan dalam ciri-ciri tuturan seperti nada, infleksi), atau non-verbal (ekspresi wajah). Dalam interaksi sosial, tindakan yang mengancam muka terkadang tidak dapat dihindari. Setidaknya terdapat satu dari tindakan mengancam muka yang berkaitan dengan tuturan. Hal tersebut juga mungkin terjadi adanya beberapa tindak tutur mengancam muka dalam sebuah tuturan.[7]
Tindak tutur yang mengancam muka negatif
Muka negatif terancam ketika individu tidak menghindarkan mitra tutur dari tindakan yang mengancam muka.[7] Hal ini mengakibatkan kerugian bagi penutur maupun mitra tutur dan salah satu partisipan menjadi memaksakan keinginannya pada orang lain. Kebebasan memilih dan bertindak terhambat ketika wajah negatif terancam.
Tindak tutur yang mengancam muka positif
Muka positif terancam ketika penutur atau mitra tutur tidak peduli dengan perasaan, keinginan, atau apa yang diinginkan lawan bicaranya.[7] Tindakan yang mengancam muka positif juga dapat menyebabkan kerugian pada penutur dan mitra tutur.
Referensi
- ^ Watts, Richard J. (2005). Politeness in Language: Studies in Its History, Theory and Practice. Walter de Gruyter. ISBN 978-3-11-019981-9.
- ^ Henningsen, Mary L. M. (2017). Politeness Theory. ISBN 9781483381435.
- ^ Coates, Jennifer. 1998. Language and Gender: A Reader. Wiley-Blackwell. ISBN 978-0-631-19595-5
- ^ a b Foley, William. 1997. Anthropological Linguistics: An introduction. Blackwell. ISBN 978-0-631-15122-7
- ^ Ifert Johnson, Danette; Roloff, Michael E.; Riffee, Melissa A. (Summer 2004). "Politeness theory and refusals of requests: Face threat as a function of expressed obstacles". Communication Studies. 55 (2): 227–238. doi:10.1080/10510970409388616.
- ^ Eckert, Penelope; McConnell-Ginet, Sally (2013). Language and Gender. New York: Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-02905-7.
- ^ a b c Brown, Penelope and Stephen C. Levinson. 1987. Politeness: Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-31355-1 Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "BandL" didefinisikan berulang dengan isi berbeda