Pada zaman dahulu, semua manusia yang mendiami Nusa Ina
(Pulau Seram) tinggal di bawah kaki Gunung Murkele, tepatnya di Supa Maraina. Mereka hidup dalam keadaan primitif dari waktu ke waktu, berbulan-bulan, bahkan sampai ratusan abad mereka hanya hidup di sekitar rimba belantara kaki Gunung Murkele tersebut. Namun pada suatu saat, manakala 'petunjuk Tuhan', mulailah tergugah hati mereka untuk segera
mencari jalan keluar dari rimba belantara tersebut untuk mencari penghidupan yang lebih baik di tempat lain. Maka dari sinilah awal perjalanan sejarah tersebarnya manusia ke seluruh Kepulauan Maluku. Tersebarnya 99
Kapitang, sehingga kita kenal dan mengetahui sebutan Patasiwa, dan kemudian menyusul juga 55 Kapitang dari arah bagian barat Pulau Seram sampai ke utaranya, sehingga dikenal juga sebutan Patalima.[1]
Dapat dilihat sebagaimana kapata (pepatah) para leluhur yang berbunyi, "susuni hate latu Murkelee laha ia repe-repe Saparua Apono" yang berarti "awal mula manusia Nusa Ina berasal dari Murkele, mereka keluar dan tersebar sampai ke Ambon dan Saparua". Dengan tersebarnya manusia penghuni Nusa Ina ini, maka mulailah terhubung beberapa jalur dari Supa Mara Ina menuju ke arah pesisir selatan Nusa Ina, tepatnya ke daerah Tulluti (Telutih), jalur tersebut yakni, Pura-Pura Ase, Papihi, Usi Hahan, dan Kokania.[1]
Kemudian pada awal tahun 1517, datang seorang penyebar agama
Islam yang datang dari Semenanjung Arab, yakni Syekh Abdul Mutalib Assyarif menuju ke Lounusa Yamano (Tehua), untuk menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk yang masih
primitif itu. Setibanya di Lounusa Yamano, ia menemui orang pertama yaitu moyang-moyang dari soa Ulayo. Dengan usahanya, moyang dari soa Ulayo tersebut kemudian menerima kehadirannya, sehingga saat itu juga moyang tersebut mengucapkan kalimat syahadat dihadapan ulama tersebut sebagai pertanda telah menerima ajaran Islam. Kemudian moyang dari soa Ulayo mulai mengajak moyang dari soa-soa lain untuk mengikuti jejaknya. Akhirnya ada sebagian dari mereka yang masuk agama Islam dan ada beberapa soa-soa yang lain tidak mau menerimanya, yakni soa Kumkelo, Lamasano, dan Hayoto (Tumio). Karena mereka tidak mau mengikuti ajakan tersebut, maka timbul amarah
dari moyang soa Ulayo, akhirnya Ulayo mulai berperang melawan mereka, karena tidak kuat membendung serangan dari soa Ulayo akhirnya Kumkelo, Lamasano, Hayoto (Tumio), Selano, dan Latan melarikan diri meninggalkan
perkampungan mereka ke arah timur desa tetangga, dan bergabung dengan soa-soa yang lain akhirnya terbentuk satu negeri yang saat ini dikenal sebagai Laimu. [1]
Dengan masuknya agama Islam di Lounusa Yamano, sekaligus juga membawa perubahan nama negeri yang tadinya bernama Lounusa (Pelelaw), saat ini dikenal dengan nama Tehua. Penduduk asli negeri Tehua saat ini hidup berdampingan dengan masyarakat pendatang dari Sulawesi, Maluku Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur.[1]
Referensi
^ abcd"Sejarah Awal Negeri dan Teong Negeri di Maluku Tengah". Universitas Kristen Satya Wacana.