Tanto Mendut
Tanto Mendut yang bernama asli Sutanto (lahir 5 Februari 1954) adalah seniman dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Dia adalah pendiri sekaligus pemimpin Komunitas Lima Gunung yang sering menggelar perhelatan seni-budaya berskala internasional di atas puncak gunung dengan selalu memberdayakan masyarakat di lima gunung yaitu Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Sutanto adalah penerima penghargaan dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi atas kegigihannya memberdayakan masyarakat melalui kehidupan sosiokultural.[1][2] Penghargaan lain antara lain adalah Maestro Seni Tradisional dari Kementerian Pendidikan, Gus Dur Award dari Wahid Institut, lima penghargaan pemenang karya musik diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, dll Latar belakang'Mendut' di belakang nama Sutanto adalah nama tempat di sekitar Candi Mendut, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Dia memilih nama itu untuk mengekspresikan cara dia berkesenian.Sebagai budayawan, melalui kegiatan-kegiatannya, Sutanto membangun sebuah paradigma berkesenian yang menstimulasi dimensi untuk hidup bersama masyarakat seni dalam menyikapi keadaan dengan pelbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat kontemporer. Mengedepankan unsur kemerdekaan yang dapat menarik perhatian masyarakat dan pemerhati seni yaitu dengan membuka wacana baru dalam bereksplorasi. Tanto Mendut berhasil menumbuhkan kepercayaan masyarakat desa untuk berekspresi, yang kini telah mampu tampil dalam berbagai panggung kesenian di berbagai daerah di Indonesia, bahkan pentas di luar negeri. Meski berhasil menjadi masyarakat seni, penduduk desa lima gunung tersebut tidak berganti profesi dan tetap menjadi petani. Festival lima gunung yang digagas sutanto diselenggarakan setiap tahun, sejak 2001, dengan melibatkan para penghayat kebudayaan, masyarakat dari lima gunung yaitu, Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Baik penampil maupun penonton diajak merayakan kemerdekaan berekspresi dan mengapresiasi. Dalam festival ini, penonton adalah tamu, bukan calon konsumen dengan perlakuan khusus. Semuanya diperlakukan sama rata, termasuk ketika mantan wakil presiden Boediono menyaksikan. Dia juga berbaur dengan penonton lain, duduk lesehan di atas tanah, menikmati sajian-sajian kesenian tradisional. Festival ini, meskipun mengundang ratusan partisipan dari berbagai daerah, tapi semua kegiatannya diselenggarakan tanpa sponsor atau donatur dari mana pun, melainkan dibiayai secara swadaya. Tapi, setiap peristiwa budaya yang diselenggarakan, selalu saja menarik perhatian wisatawan /seniman international dan wartawan dari berbagai negara yang setia meliput selama beberapa hari. Selain menggelar pertunjukan kesenian tradisional, komunitas ini juga menyelenggarakan pertunjukan musik, pameran seni rupa, dan Segala perspektif seni kontemporer jazz gunung.[3][4][5] Lihat pulaReferensi
|