Tan Tjin Kie, Mayor-tituler Cina (25 Januari 1853– 13 Februari 1919) dulu adalah seorang birokrat, abdi dalem, pemilik pabrik gula, dan pemimpin dari keluarga Tan dari Cirebon, bagian dari ‘Cabang Atas’ di Hindia Belanda (kini Indonesia).[1][2] Ia kini paling diingat karena prosesi pemakamannya yang berlangsung selama 40 hari pada tahun 1919. Prosesi pemakamannya pun dianggap sebagai prosesi pemakaman termahal yang pernah digelar di Jawa.[3][4][5]
Latar belakang keluarga
Tan Tjin Kie lahir di Cirebon pada pasangan suami-istri Peranakan, Oey Te Nio dan Letnan Tan Tiang Keng (1826–1884), yang kemudian diangkat menjadi Kapitan Cina Cirebon pada tahun 1882.[1][2] Pejabat Cina adalah pejabat di lingkungan birokrasi sipil Hindia Belanda yang memegang wewenang atas komunitas Tionghoa di wilayah tertentu.[5]
Melalui ayahnya, Tan adalah cucu dan keponakan dari Tan Kim Lin yang menjabat sebagai Kapitan Cina Cirebon mulai awal dekade 1830-an hingga meninggal pada tahun 1835; dan Tan Phan Long yang menjabat sebagai Kapitan Cina mulai tahun 1836 hingga pensiun pada tahun 1846.[1][2] Ia juga merupakan cicit dari Tan Kong Djan, Kapitan Cina Cirebon pada dekade 1820-an.[1][2]
Sesuai konvensi penamaan Tionghoa, ia memiliki setidaknya tiga nama lain sepanjang hidupnya selain nama lahir Tjin Kie, yang yang tabu bagi anggota keluarga yang lebih muda.[4] Nama kehormatannya sebagai seorang dewasa adalah Keng Bie, sementara namanya sebagai seorang pejabat Cina adalah Sie Hoen.[4] Sedangkan namanya di sekolah adalah Boen Siang.[4]
Karir birokrasi
Pada tahun 1882, saat masih berusia 29 tahun, Tan diangkat menjadi Letnan Cina, bersamaan dengan ayahnya yang diangkat menjadi Kapitan Cina Cirebon.[4][1][2] Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1884, Letnan Tan Tjin Kie tidak diangkat untuk menggantikan ayahnya, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada saat itu.[1] Pada tahun yang sama, dua orang iparnya, yakni Kwee Keng Eng dan Kwee Keng Liem, diangkat menjadi Letnan Cina. Kwee Keng Eng dan Kwee Keng Liem masing-masing-masing merupakan suami dari Tan Oen Tok Nio dan Tjoe Soei Lan Nio.[1][5] Pada tahun 1886, iparnya yang lain, Aw Seng Hoe, suami dari sepupunya, Tan An Nio, diangkat menjadi Letnan Cina Majalengka.[2] Setelah jabatan Kapitan Cina Cirebon kembali lowong pada tahun 1888, Letnan Tan Tjin Kie, yang telah berusia 35 tahun, akhirnya diangkat menjadi Kapitan Cina Cirebon.[4][1][2]
Pada tahun 1893, Kapitan Tan Tjin Kie mendapat gelar Mandarin Tingkat Kedua (To-Ham) dari Kaisar Guangxu.[4] Pada tahun 1908, ia diangkat menjadi Mandarin Tingkat Pertama (To-Wan).[4] Pada tahun 1909, pemerintah Belanda menganugerahkan Gouden Ster voor Trouw en Verdienste, gelar tertinggi di koloni Belanda yang setara dengan Order of the Netherlands Lion.[4]
Salah satu pencapaian penting dari Kapitan Tan Tjin Kie saat menjabat adalah caranya dalam menangani pertikaian antara komunitas Tionghoa dan Arab pada tahun 1912.[5] Tan menegosiasikan kesepakatan damai dengan Kapitan Arab, dan ia juga memimpin kunjungan 50 orang tokoh masyarakat Tionghoa ke permukiman Arab di Cirebon untuk mengkonfirmasi kesepakatan tersebut.[5] Oleh karena itu, ia dianggap sangat berperan dalam menjaga perdamaian di Cirebon, sehingga tidak ada korban jiwa seperti di wilayah lain di Jawa.[5] Pada tahun 1913, untuk merayakan Tan yang telah 25 tahun menjabat sebagai pejabat Cina dan untuk mengakui peran Tan dalam menyelesaikan konflik Arab-Tionghoa pada tahun 1912, pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya menjadi Mayor-tituler Cina.[4][5] Ia pun menjadi satu-satunya pejabat Cina di Cirebon yang mendapat jabatan tersebut, karena berbeda dengan komunitas Cina di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, komunitas Cina di Cirebon biasanya hanya dipimpin oleh Kapitan Cina, bukan Mayor Cina.[1]
Abdi dalem dan filantropis
Keluarga Tan dari Cirebon hidup sebagai bagian dari Kesultanan Cirebon selama beberapa generasi, dan merupakan pelindung dari seni dan budaya Jawa.[5] Mayor-tituler Tan Tjin Kie pun menjadi bagian dari tradisi tersebut, dengan mengkoleksi topeng, wayang, dan manuskrip langka, serta memiliki orkestra gamelan pribadi.[6][5]
Di luar Cirebon, Tan juga berhubungan dekat dengan Pakubuwono X, Susuhunan Surakarta.[5] Pakubuwono X pernah mengunjungi Mayor-tituler Tan Tjin Kie beberapa kali, termasuk pada tahun 1916, saat Susuhunan menginap di kediaman Tan di Loewoenggadjah.[5]
Sebagai pejabat Cina tertinggi di Cirebon dan kepala dari keluarga pejabat Cina tertua di Cirebon, Mayor-tituler Tan Tjin Kie mendukung sejumlah kegiatan sosial.[1][4] Contohnya, ia merupakan donatur penting di balik pendirian Ziekenhuis Oranje (kini menjadi RSUD Gunung Jati).[7]
Di dalam komunitas Tionghoa di Cirebon, ia melanjutkan hubungan panjang antara pejabat Cina dan Kelenteng Tiao Kak Sie, kelenteng Cina paling penting di Cirebon.[1] Pada tahun 1889, ia meletakkan sebuah plakat untuk merayakan renovasi dari kelenteng tersebut di bawah perlindungannya. Renovasi sebelumnya selesai pada tahun 1830 di bawah perlindungan dari kakek buyutnya, Kapitan Tan Kong Djan.[1] Tan juga merupakan presiden dari Kong Djoe Koan, sebuah yayasan layanan pemakaman, dan merupakan Bechermheer (pelindung) dari Hok Sioe Hwee, sebuah lembaga pengelola dana pemakaman Cina.[4] Tidak jauh berbeda, ia juga merupakan pendiri dan Bechermheer dari organisasi pendidikan Konfusianisme, Tiong Hoa Hwee Koan, di Cirebon.[4]
Kematian, pemakaman, dan keturunan
Mayor-tituler Tan Tjin Kie akhirnya meninggal pada tahun 1919.[1] Melalui istrinya, Ong Hwie Nio, Tan dianugerahi dua orang putra, yakni Tan Gin Ho and Tan Gin Han, serta seorang putri, yakni Tan Ho Lie Nio.[2] Putra sulungnya, Tan Gin Ho, dan menantunya, Kwee Tjiong In, kemudian diangkat menjadi Letnan Cina Cirebon. Tan Gin Ho menjabat mulai tahun 1898 hingga 1913, sementara Kwee Tjiong In menjabat mulai tahun 1907 hingga 1910 dan mulai tahun 1913 hingga 1920.[1][2] Sedangkan putranya yang lain, Tan Gin Han, menikahi Phoa Kiat Liang, keponakan dari Phoa Keng Hek dan cicit dari Phoa Tjeng Tjoan, Kapitan Cina Buitenzorg.[2]
Prosesi pemakaman Tan berlangsung selama 40 hari dan dianggap sebagai prosesi pemakaman termahal yang pernah digelar di Jawa.[3][4][5] Didahului oleh delapan band militer dari Batavia dan Bandung, prosesi pemakamannya pun dibagi menjadi sembilan bagian.[3][5] Didampingi oleh satu peleton perwira polisi yang dikirim oleh Johan Paul, Count van Limburg-Stirum, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, terdapat sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda yang dilengkapi dengan potret dari Tan.[3][5] Setelah prosesi dari berbagai organisasi dan sekolah yang dilindungi oleh Tan, peti jenazahnya diangkut dengan kereta kuda, yang juga ditarik oleh 250 orang kuli berseragam.[3][5] Pemakaman tersebut dipimpin oleh Lama Buddha Tibet, yang didatangkan langsung dari Tibet.[5]
Koran De Preangerbode memperkirakan bahwa pemakaman tersebut menghabiskan biaya sebesar 280.000 gulden. Biaya tersebut belum termasuk pembangunan sebuah mausoleum senilai 300.000 gulden oleh anak-anak Tan.[5] Dalam nilai tahun 2019, total biaya pemakaman dan pembangunan mausoleum tersebut mencapai jutaan dolar Amerika Serikat.
Referensi