Syarifuddin Alambai
Syarifuddin Alambai (3 Juni 1942 – 15 Februari 2011) adalah mantan Direktur Utama PT Jasa Marga yang menjadi tokoh pengembangan jalan tol di Indonesia. Lahir di Desa Sugih Waras, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 3 Juni 1942, dari pasangan Muhammad Alambai bin dr. Muhammad Rabain dan ibu Yahimah binti Duli. Dan wafat di Palembang pada tanggal 15 Februari 2011. PendidikanSyarifuddin Alambai lulus pendidikan teknik sipil dari Universitas Sriwijaya Palembang (dengan menjalani beberapa semester akhirnya di Institut Teknologi Bandung), serta menyelesaikan Magister Management di bidang teknik di Universitas Indonesia. KarierMemulai karier di Ditjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. Setelah mengabdi mulai dari 1982 hingga 1994, pindah ke PT Virama Karya, salah satu BUMN dibidang konsultasi hingga 2001, dan kemudian menjadi Direktur Utama di PT Jasa Marga hingga tahun 2006. Prestasinya yang paling menonjol adalah membangun jalan tol Cikampek - Purwakarta - Padalarang (Cipularang) sehingga membuat Bandung berkembang pesat. Ia juga mempelopori pembagian jalan tol menjadi 6 bagian yang masing-masing ditangani oleh kontraktor dengan sistem Contract Pre-Full Finance (CPF). Cara ini menjadi acuan bagi investor tol lainnya hingga saat ini.[1] Penghapusan Peran Regulator Jasa MargaPada tahun 2003, Syarifuddin Alambai, mewakili PT Jasa Marga, mendukung niat pemerintah untuk menghapus peran regulator pada PT Jasa Marga karena dianggap memperberat beban perusahaan tersebut. Peran regulator ini diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan. Akibatnya, PT Jasa Marga menjadi tidak kompetitif karena harus menanggung beban utang operator lain jika mengalami kerugian.[2] Terbukti peran regulator ini menjadi ganjalan saat PT Jasa Marga akan diprivatisasi pada tahun 2004.[3] Barulah setelah Revisi UU Jalan diselesaikan, proses IPO bisa dipercepat.[4] IPO Jasa Marga akhirnya baru terwujud pada bulan November 2007 dengan kode nama saham JSMR.[5] Kenaikan Tarif Tol 2006Rencana tarif tol 2006 menimbulkan persitegangan antara Syarifuddin Alambai dengan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. Karena dianggap membebani masyarakat, maka Dewan Perwakilan Rakyat memanggil Menteri Pekerjaan Umum, Dirut PT Jasa Marga, dan Kepala Badan Pengatur Jalan Tol. Namun pernyataan Djoko Kirmanto bahwa operator jalan tol belum memberikan pelayanan yang memuaskan membuat Syarifuddin Alambai mengeluarkan pernyataan bantahan. Ia merasa PT Jasa Marga sudah berbuat maksimal dengan mengucurkan Rp 300 Miliar setiap tahunnya untuk peningkatan pelayanan. Perang pernyataan ini memunculkan dugaan media bahwa ada perseteruan antara Syarifuddin Alambai dengan Djoko Kirmanto.[6] Sebelum ada pernyataan tersebut, Syarifuddin Alambai mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa kenaikan tarif tol tidak perlu mendengar pendapat DPR. Akibatnya anggota Komisi V DPR melakukan boikot dengan tidak memberikan kesempatan kepada Menteri Pekerjaan Umum untuk memberi penjelasan mengenai alasan kenaikan tarif tol dan terpaksa mengajukannya secara tertulis.[7] Kasus Semesta Marga RayaPada tahun 2007, BNI menyatakan adanya pelanggaran PT Semesta Marga Raya atas perjanjian pengucuran kredit dari BNI karena mencopot Syarifuddin Alambai dari posisi Komisaris dan Jamaluddin Herman dari posisi Direktur Teknik tanpa persetujuan kreditur. Syarifuddin Alambai menyatakan keberadaannya di Semesta Marga Raya adalah berdasarkan permintaan mereka sendiri karena belum memiliki kepercayaan dari calon kreditur.[8] Atas hal ini, ia menggugat Semesta Marga Raya dan pemerintah.[9] Ia juga menyerang kontrak Tol Kanci yang melibatkan Semesta Marga Raya dengan pernyataan bahwa kontrak tersebut harusnya batal demi hukum pada tahun 2007.[10] Kasus ini terus berlanjut hingga akhirnya tahun 2010 Syarifuddin Alambai dan Semesta Marga Raya berdamai atas inisiatif tergugat.[11] Referensi
|