Sutan Martua Raja

Sutan Martua Raja
Sutan Martua Raja beserta putranya, Mangaraja Onggang Parlindungan (tahun 1924) sesaat setelah menerima tanda jasa dari pemerintah Hindia Belanda atas jasa-jasanya di bidang pendidikan
Anggota Chuo Sangi-In
Daerah pemilihanSumatera Timur
Informasi pribadi
Lahir(1873-12-19)19 Desember 1873
Onderafdeeling Sipirok, Keresidenan Tapanuli, Hindia Belanda
MeninggalTahun 1951
Pematangsiantar
KebangsaanIndonesia
PendidikanKweekschool Padangsidempuan (1889-1893)
PekerjaanGuru Sejarah di Normaalschool Pematangsiantar (1918-1939)
Dikenal karena
  • Penulis
  • Penyelidik Sejarah Batak
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Sutan Martua Raja Siregar (kerap disingkat dengan SMR) lahir di Sipirok pada tanggal 19 Desember 1873. Nama Martua Raja sendiri diambil dari nama kakek SMR, yaitu Muhammad Ali Siregar alias Martua Raja Siregar alias Jakuanon Siregar. Agaknya nama Martua Raja yang diberikan kepada SMR mempunyai dua makna, yaitu pewarisan nama kakeknya, sekaligus berkaitan dengan pewarisan semangat keperwiraan dua orang leluhur (kakek buyutnya), yaitu Panglima Perang Padri, Idris Nasution gelar Tuanku Lelo dan Jatenggar Siregar gelar Tuanku Ali Sakti.[1]

Pendidikan dan Karier

SMR masuk Sekolah Rakyat di Sipirok pada tahun 1884 hingga 1889. Saat duduk di bangku Sekolah Rakyat, SMR sudah mulai menuliskan fakta-fakta Sejarah Batak, terutama perihal para leluhurnya, Tuanku Lelo dan Tuanku Ali Sakti. SMR bekerja sama dengan pamannya, Tanduk Nasution, yang pada tahun 1914 - 1928 menjadi Demang Toba yang berkedudukan di Balige. Lalu pada tahun 1889, SMR melanjutkan pendidikannya di Kweekschool Padang Sidempuan.[1] Semasa duduk di bangku sekolah Kweekschool itulah, SMR mempelajari lebih mendalam mengenai Sejarah Batak dari gurunya, Guru Batak, yang merupakan mantan murid dari Willem Iskandar. Pada tahun 1891, SMR dihadiahi oleh Guru Batak, salinan dari naskah buku "De Komst Van De Islam In Mandailing" karangan Willem Iskandar. Saat itulah SMR pertama kali mendapatkan fakta-fakta Sejarah Batak pada waktu "Zaman Bondjol", yang exact berikut angka-angka tahunnya. Dalam kurun waktu antara tahun 1893 - 1899, SMR menjadi Guru Bantu di Sekolah Rakyat di Pargarutan, Sipirok. Dengan menggunakan fakta-fakta Sejarah Batak peninggalan Willem Iskandar, SMR berhasil merekonstruksi Pertempuran Pargarutan tahun 1816, dimana Torkis Harahap dikalahkan oleh Tentara Padri, Pertempuran Pasirampulu tahun 1833 dimana Jatenggar Siregar menang, dan Pertempuran Batunadua tahun 1833 dimana Tuanku Lelo tewas. Di Pargarutan, dalam hal fact finding fakta-fakta Sejarah Batak, SMR sangat banyak dibantu oleh muridnya, Parada Harahap, yang kelak menjadi seorang wartawan terkemuka.[2]

Pada tahun 1899 - 1914, SMR menjadi Guru Kepala Sekolah Rakyat di Sipirok. Pada masa itu, SMR menyelidiki perihal figur bernama Pongkinaingolngolan Sinambela (yang pada tahun 1798 - 1804 menjadi Stable Boy pada Raja Baun Siregar serta pada Jamangarait Nasution), dan juga menyelidiki perihal Tuanku Rao (yang pada tahun 1816 - 1818 menjadi Panglima Tentara Padri yang bermarkas di bukit Dolok Pamelean, Sipirok). SMR memperoleh fakta bahwa sosok Pongknaingolngolan Sinambela adalah identik dengan sosok Tuanku Rao, sebuah fakta yang tidak diketahui oleh Willem Iskandar. Dalam mempelajari Sejarah Batak di Sipirok, SMR sangat banyak dibantu oleh sepupu sekaligus muridnya, Jansen Nasution, yang adalah putra dari Pendeta Petrus Nasution. SMR dan Jansen Nasution adalah sama-sama cucu dari Hussni Bin Idris alias Jarumahot Nasution di Parausorat, Sipirok.

Semasa menjadi Guru Kepala Sekolah Rakyat di Sipirok, SMR bekerja sama dengan Kontrolir di Sipirok, Cornelis Poortman dalam menyelidiki Sejarah Batak, sebuah kerjasama yang berlangsung selama hampir 40 tahun. Pada tahun 1914 - 1918, SMR menjadi Guru Kepala Sekolah Rakyat di Tarutung. Selepas itu, SMR menjadi Guru Sejarah di Normaalschool, Pematangsiantar (tahun 1918 - 1939). Untuk mata pelajaran sejarah di Normaalschool Pematangsiantar, SMR membuat Outline perihal "Zaman Bondjol di Tanah Batak (1816 - 1833)". Meskipun Outline pelajaran sejarah dimaksud dicabut dari kurikulum Normaalschool Pematangsiantar pada tahun 1921 oleh Inspecteur Van Inlandsch Onderwijs, dengan alasan isinya terlalu jauh dari ajaran sejarah sistem kolonial Belanda, namun salinannya masih tersimpan berkat Paulus Pangulu Hutagalung, seorang murid dari SMR. Selama menjadi Guru Sejarah di Normaalschool Pematangsiantar, SMR juga menyelidiki perihal "Sejarah suku Simalungun", "Sejarah suku Karo", "Sejarah Kerajaan Aru Sipamutung" (yang meninggalkan Candi Sipamutung), serta perihal Kesultanan Aru Barumun yang beragama Islam mazhab Syiah. Pada tahun 1930 - 1932, SMR, dalam usia hampir 60 tahun, aktif melakukan penelitian sejarah di Tanah Karo.

Pada tahun 1951, Sutan Martua Raja wafat di Pematangsiantar, dalam usia 74 tahun.[2]

Karya Terkenal

Selain menjadi guru sejarah, SMR juga adalah seorang penulis buku bacaan di sekolah rendah. Bukunya yang terkenal berjudul Doea Sadjoli: boekoe siseon dakdanak di sikola terdiri dari dua jilid yang diterbitkan di Batavia oleh s’Landsdrukkerij, 1917, 1918, 1919. Karena menurut penilaian SMR, anak sekolah rendah mengalami kesulitan memahami Doea Sadjoli jilid dua, SMR memutuskan untuk menulis satu buku pengantar ke jilid dua, berjudul Ranteomas: udul ni Doea Sadjoli I: boekoe siseon ni anak sikola, artinya: rantai emas, yang menjembatani jilid satu ke jilid dua buku Doea Sadjoli. Ketiga buku tersebut ditulis dalam bahasa Angkola Mandailing. Cetakan kedua Ranteomas diterbitkan kembali di Medan oleh Penerbit Islamiyah, 1960. Kemudian Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan lagi buku ini pada tahun 1981. Buku lain bacaan anak sekolah rendah dalam bahasa Toba ditulis oleh SMR dibantu oleh Arsenius Lumban Tobing, berjudul Soeloesoeloe: boekoe sijahaon ni angka anak sikola metmet na di Tano Batak, diterbitkan di Batavia oleh 's Landsdrukkerij pada tahun 1921.[1]

Teori Tentang Indrawarman (Kerajaan Silo di Simalungun)

Prof. Dr. Slamet Mulyana, seorang sejarawan dan juga Guru Besar dari Universitas Indonesia, dalam buku "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara islam di Nusantara" (1968, terbit ulang 2006), mengemukakan salah satu teori dari SMR, mengenai sosok bernama Indrawarman:

  1. Faktanya ialah bahwa tentara Singasari dalam Ekspedisi Pamalayu tahun 1275, berhasil merebut kerajaan Dharmaçraya/jambi untuk menguasai daerah penghasil lada di sungai Dareh di MinangkabauTimur.
  2. Untuk mengamankan hasil Ekspedisi Pamalayu terhadap pihak Islam di daerah muara sungai Pasai, maka sebagian dari tentara Singasari di bawah pimpinan Indrawarman ditempatkan di muara sungai Asahan.
  3. Pada tahun 1293, panglima Indrawarman tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit, yang menggantikan kerajaan Singasari. Panglima Indrawarman lalu mendirikan kerajaan Silo, jauh di pedalaman Simalungun untuk menyelamatkaan dirinya dari ancaman Majapahit.
  4. Ketika Gadjah Mada menjadi patih amangkubumi (dari tahun 1331-1364), tentara Majapahit mendirikan kerajaan Pagarrujung di Minangkabau dan memusnahkan kerajaan Silo di Simalungun.[3]

Secara terpisah, dalam bukunya Tuanku Rao, Mangaradja Onggang Parlindungan (yang juga kerap disebut MOP) menganggap teori tersebut menjadi "penjelasan" mengapa di daerah Simalungun, selama kurang lebih 20 generasi, eksis sebuah kerajaan bernama "Kerajaan Tanah Jawa". MOP menggambarkan bagaimana ayahnya, SMR, melakukan field-research dalam usia 50 tahun, terhadap reruntuhan dari Keraksaan (ibukota kerajaan Silo) dan Dolok Sinumbah, yang sudah tertutup semak belukar selama 600 tahun, sebagaimana halnya reruntuhan Angkor Wat, Angkor Tom dan Borobudur.[2]

Penghargaan

Foto SMR (berjas hitam duduk di tengah berdampingan dengan putranya, Mangaraja Onggang Parlindungan) bersama beberapa ambtenaar dan guru, sesaat setelah penganugerahan tanda jasa pendidikan dari pemerintah Hindia Belanda (tahun 1924).

Karena jasa-jasanya yang besar dalam dunia pendidikan, maka pemerintah kolonial Belanda menganugerahkan bintang jasa kepada SMR. Asisten Residen Pematangsiantar, Ezerman, menyematkan bintang jasa pendidikan pada tahun 1924, dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh sejumlah ambtenaar Belanda, bumiputera, dan guru-guru.

Asisten Residen Pematangsiantar, Ezerman, menyebutkan di dalam pidatonya sebelum menyematkan bintang jasa pendidikan itu, sebagai berikut:

"Toean Soetan Martoea Radja Daholoe toean beladjar di kweekschool Padang Sidempuan, kemoedian toean diangkat menjadi goeroe pada beberapa tempat, hingga ketika diboeka Normaalschool di Pematang Siantar ini, toean didjadikan mendjadi goeroe disini. Disegala tempat jang toean tempati, selaloe toean bekerdja dengan setia dan berdjasa. Segala jang mengepalai pekerdja'an toean selaloe menoendjoekkan kesoekaannja akan pekerdja'an itoe. Tidak hanja dipekerdja'an Gouvernement sahadja toean menoendjoekkan kebaikan, tetapi kehidoepan Particulier toean poen, adalah toean selaloe mendjadi tjontoh toeladan jang baik bagi segala orang, oleh sebab itoe sewadjibnjalah pada ketika Dienst toean mendjelang 30 tahoen, Gouvernement menganoegerahi toean tanda kehormatan ini. Kami harap toean lama memakai dia."[1]

Pandangan Teman Sejawat

Prof. Dr. H. Hamka, dalam sebuah bukunya, "Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao", menyebut sosok Sutan Martua Raja sebagai seorang yang memiliki "budi bahasa halus", dan "taat sebagai seorang Kristen". Pandangan itu dikemukakan oleh Hamka berdasarkan pengalamannya saat bersama-sama dengan SMR menjadi anggota Chuo Sangi-In, Badan Perwakilan Provinsi Sumatera Timur yang dbentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang.[4]

Referensi

  1. ^ a b c Harahap, Basyral Hamidy (2007). Greget Tuanku Rao. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 5–8. ISBN 9789793731162. 
  2. ^ a b c Parlindungan, Ir. Mangaradja Onggang (2007). Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833. Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS). hlm. 404–423. ISBN 9789799785336. 
  3. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. hlm. 13–14. ISBN 9789798451164. 
  4. ^ Hamka (2017). FAKTA DAN KHAYAL TUANKU RAO. Jakarta: Republika Penerbit. hlm. 10. ISBN 9786020822716. 

Catatan Kaki

 

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia