* Penampilan dan gol di klub senior hanya dihitung dari liga domestik dan akurat per 27 September2010 ‡ Penampilan dan gol di tim nasional akurat per 27 September2010
Sutan Harhara (lahir 19 Agustus 1952) adalah pemain sepak bola Indonesia era 70-an dari Persija, klub sepak bola di Indonesia, yang dapat berposisi sebagai Bek sayap. Ia juga pernah menjadi pelatih beberapa klub lokal dan dikenal sebagai defender serbabisa.
Profil
Di era 1970-an, pemain yang populer di Indonesia selalu dari jajaran striker, gelandang, atau kiper. Tapi ada pengecualian buat Sutan Harhara. Anak Kota Jakarta Pusat yang berposisi sebagai defender ini begitu spesial, hingga media massa tak mau melewatkan setiap aksinya yang memang layak jadi cerita. Wajar jika Sutan Harhara termasuk langka. Defender yang bisa dibilang sama populernya dengan penyerang kenamaan saat itu. Sebut saja Andi Lala, Anjas Asmara, dan Iswadi Idris.
Permainannya pun langka. Sebagai defender, dia termasuk serbabisa. Ketika dipasang sebagai libero, dia sangat jago. Saat diplot sebagai bek kanan atau kiri, dia tetap tangguh. Suka maju ke depan, tetapi tak melupakan tugasnya sebagai pengawal pertahanan. Di klubnya, Persija, maupun timnas Indonesia, dia termasuk salah satu pilar. Bahkan, pada era 1970-an, Sutan Harhara identik dengan jaminan kuatnya pertahanan Tim Garuda.
Hal langka lain dari seorang Sutan Harhara adalah kakinya. Sebagai pemain, dia termasuk spesialis kaki kanan (right footed). Maksudnya, kaki sebelah kanan jauh lebih baik daripada kaki kirinya. Namun, dia bisa memerankan bek kanan atau kiri dengan sama baiknya. Kemampuan istimewa itu sudah terlihat sejak dia masih muda. Begitu ditransfer dari Indonesia Muda (IM) ke Jayakarta pada 1973, dia langsung menarik perhatian banyak orang. Bahkan, pemain hebat waktu itu, Iswadi Idris, sempat memujinya. Menurut Iswadi, Sutan termasuk pemain yang berbakat.
Saat membela Jayakarta di kompetisi Persija, dia menjadi salah satu bintang. Bahkan, dia membawa klub tersebut promosi dari Divisi II ke Divisi I, sampai akhirnya naik ke Divisi Utama.
Tak heran bila Sutan menjadi pilar di level klub, juga di level timnas. Ketika membela Persija (1972-1979) ia berhasil menyumbangkan dua kali gelar juara kompetisi perserikatan bagi tim berjuluk Macan Kemayoran, yakni pada tahun 1973 dan 1975. Sutan juga sukses membawa tim PON DKI Jakarta menjuarai PON1974.
Di level timnas, namanya juga identik dengan pertahanan Tim Merah-Putih selama hampir delapan tahun. Saat timnas mengalahkan Uruguay, 2-1, pada tahun 1974, Sutan menjadi salah satu pengawal barisan belakang timnas.
Kenyang pengalaman baik sebagai pemain maupun pelatih, Sutan pada 1 Juli2010 lalu diangkat menjadi Direktur Teknik PSSI.
Jejaknya sebagai pemanin sepak bola nasional Indonesia sempat diikuti oleh adiknya yang bernama Aun Harharah. Meski karier bermainnya tidak segemilang abangnya, namun sempat juga membela Tim Nasional pada era pertengahan tahun 1980-an.
Karier di klub
Persija Jakarta
Ia mulai membela Persija pada usia 19 tahun. Ketika itu, ia juga menjadi bagian dari skuat IM. Pada debut pertamanya di Persija, ia bisa membawa Persija menjadi juara Perserikatan tahun 1971.
Kemudian pada tahun 1975, ia juga berhasil membawa Persija juara Perserikatan setelah dalam partai final berhasil menahan imbang PSMS 1-1.
Pertandingan final berlangsung cukup panas sehingga sampai terjadi kericuhan antar pemain. Oleh karena itu, pada menit 40, wasit terpaksa harus menghentikan pertandingan dan keduanya ditetapkan sebagai juara bersama.
Sutan bukan hanya bagus ketika menghadapi pemain-pemain lokal. Tapi juga teruji mampu mematikan bintang dunia. Saat Ajax Amsterdam datang ke Indonesia pada 1974, Sutan berhasil mengawal Gerth van Zanten. Bintang Ajax itu dibuat tak berkutik. "Saya waktu itu berada di kiri. Karena kesulitan melewati saya, dia tampak frustasi kemudian pindah ke kanan. Saya melawan Ajax dua kali. Saat membela Persija bermain imbang 1-1, dan saat membela timnas kalah 1-2," kenang Sutan.
Sutan juga pernah berpengalaman melawan klub asal Inggris, Manchester United, Rapid Viena (Austria), dan Rosario Central (Argentina). Pengalaman itu membuatnya pemain yang begitu matang, hingga berkarier cukup lama.
Karier Internasional
Indonesia vs Uruguay (1974)
Pada tahun 1973, ia terpilih menjadi pemain timnas. Ia membela timnas hingga tahun 1980.
Sayangnya timnas uruguay tidak membawa pemain inti mereka, sehingga mereka harus menerima kekalahan dengan skor 2-1. Karena tidak mau merasa malu, akhirnya mereka meminta pertandingan ulang. Pertandingan diadakan pada tanggal 21 April. Sayangnya kali ini giliran timnas Indonesia yang harus menerima kekalahan dengan skor 2-3.
Sutan juga pernah merasakan melawan timnas Denmark. Kala itu Sutan berhasil mematikan bintang mereka: Alan Simonsen. Ketika itu, timnas Indonesia dibantai timnas Denmark dengan skor 9-0. Ini adalah kekalahan terbesar timnas sepanjang sejarah sebelum akhirnya rekor tersebut dipatahkan pada saat timnas Indonesia dibantai timnas Bahrain dengan skor 10-0.
Indonesia vs Manchester United (1975)
Pada hari Minggu yang cerah, 1 Juni 1975, Manchester United memainkan pertandingan pertamanya di Tanah Air, melawan PSSI Tamtama di Senayan, Jakarta.
Susunan Skuat
PSSI Tamtama: Ronny Paslah, Sutan Harhara, Oyong Liza, Suaib Rizal, Iim Ibrahim, Anjas Asmara, Nonon, Waskito, Junaedi Abdillah, Risdianto, Andi Lala.
Manchester United FC: Alex Stepney, Alex Forsyth, Arthur Albiston, Gerry Daly, Jimmy Nicholl, Jim McCalliog, Trevor Anderson, Sammy McIlroy, Stuart Pearson, David McCreery, Anthony Young.
Pada awal Mei 1975, Wiel Coerver ditunjuk sebagai pelatih baru timnas senior, yang kala itu disebut Indonesia Tamtama. Didampingi asisten pelatih Wim Hendriks, Coerver diharapkan membawa Indonesia lolos ke Piala Dunia FIFA 1978. Lantas, laga melawan Ajax dan Manchester United dalam turnamen segitiga dijadikan ajang pemanasan sebelum Pra Olimpiade 1976 melawan Korea Utara.
Pertandingan PSSI Tamtama melawan Manchester United merupakan partai pembuka.
MU ternyata mengecewakan pengurus PSSI maupun masyarakat penggemar sepak bola sejak mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, sehari sebelum pertandingan. Mereka tidak datang dengan seluruh pemain intinya seperti yang telah dijanjikan kepada PSSI. Rombongan mereka hanya 14 orang, terdiri atas 12 pemain, seorang pelatih, dan seorang manajer.
MU bermain ala kadarnya, asal tidak kebobolan. Ketika terjadi pergantian pemain pada babak kedua, yang masuk sebagai pengganti adalah pemain nomor 15 bertubuh gendut bernama Tommy Docherty, yang tidak lain adalah sang manajer.
Menurut pengamatan Sumohadi, tugas “The Doc” di hadapan 70.000 penonton yang memadati Stadion Senayan adalah untuk mengganggu pergerakan trio penyerang Indonesia, yaitu Waskito, Risdianto, dan Andi Lala.
Tak heran, hanya dalam lima menit Docherty terkena kartu kuning dari wasit Kosasih Kartadireja. Ujungnya, pertandingan berakhir tanpa gol karena gawang Ronny Pasla juga jarang dihajar tembakan penyerang MU.[1]
Dua hari kemudian, MU dikalahkan dengan skor 3–2 oleh Ajax Amsterdam, yang menempati urutan ketiga Eredivisie Belanda musim itu karena kalah bersaing dengan PSV dan Feyenoord.
Selanjutnya pada 5 Juni, Ajax dipastikan menjuarai turnamen ini dengan kemenangan 4–1 atas PSSI Tamtama. Satu-satunya gol Indonesia dicetak oleh Waskito.
Untuk pertama kalinya, Indonesia berpartisipasi dalam SEA Games 1977 yang diselenggarakan di Kuala Lumpur. Dalam turnamen ini, Indonesia difavoritkan menjadi juara karena timnas Indonesia sudah pernah menjuarai berbagai turnamen tingkat Asia Tenggara.
Indonesia tergabung di Grup A bersama dengan Malaysia, Filipina, dan Brunei. Hasilnya adalah Indonesia berhasil menang 2 kali dan 1 kali seri.
Pada pertandingan semifinal, wasit Othman Omar terbukti melihat Indonesia melakukan kekerasan dalam pertandingan melawan Thailand. Ketika itu skor masih 1–1. Akhirnya pada menit 60, pertandingan terpaksa dihentikan dan wasit kemudian menetapkan Thailand sebagai pemenang dan otomatis melaju ke babak final.
Pada perebutan tempat ketiga, Indonesia bertemu Burma. Setelah Indonesia tidak muncul dengan batas waktu yang ditentukan, akhirnya setelah ditunggu 15 menit wasit membatalkan permainan dan melaporkan kepada komite teknis dan akhirnya Burma meraih medali perunggu dalam pertandingan ini.
Pada debut kedua timnas di SEA Games, ia berhasil membawa timnas melaju ke final setelah dalam babak pertandingan play-off mengalahkan Thailand lewat adu penalti 3-1.
Ketika itu ada 5 negara yang berpartisipasi sehingga tidak ada pembagian grup. Negara-negara yang berpartisipasi antara lain:Birma, Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura. Indonesia hanya menang 2 kali, 1 kali seri, dan 1 kali kekalahan.
Dalam pertandingan final, Indonesia bertemu dengan Malaysia. Pertandingan berlangsung sengit dan kedua tim bermain dengan permainan terbaiknya. Akhirnya pada menit 21, Malaysia berhasil memecah kebutuhan lewat gol indah Mokhtar Dahari yang tidak dapat diantisipasi oleh Ronny Paslah. Skor bertahan hingga pertandingan usai.
Sehingga sejak saat itu, Malaysia menjadi musuh bebuyutan Indonesia. Mereka berdua selalu bertemu di partai final dalam kejuaraan se Asia Tenggara. Mereka selalu bersaing untuk menjadi penguasa sepak bola Asia Tenggara.
Gaya permainan
Tak kalah menarik, Sutan memiliki gaya tersendiri. Dia pengagum Total Football yang pada 1974 sangat populer diusung timnas Belanda. Meski di Indonesia waktu itu identik dengan skema 3-5-2 dan belum mengenal sepak bola yang sangat menyerang itu, Sutan berani menerapkan gaya itu dalam permainan individunya. Sebagai bek sayap, dia aktif membantu serangan. Saat timnya menekan, dia cepat berada di wilayah lawan. Bahkan tak jarang, serangan itu berawal dari akselerasinya di sektor sayap. Meski begitu, dia tak pernah lupa turun untuk memastikan pertahanan timnya aman.
Apalagi, Sutan dibekali teknik passing yang baik. Sehingga, dia banyak membuat assist buat para penyerang Indonesia. Terkadang dia juga mampu memanfaatkan peluang menjadi sebuah gol. Gaya permainannya itu yang membuat permainan Sutan jadi sangat menarik ditonton. Pertama, dia mengambil inisiatif sendiri untuk menjadi bek sayap yang aktif menyerang maupun bertahan ala total football. Kemudian, para pelatihnya menyetujui, bahkan mendukungnya.
Yang tak kalah penting, dia meninggalkan banyak catatan indah dalam persepak bolaan Indonesia. Meski tidak pernah membawa Indonesia juara di suatu turnamen, permainannya yang agresif dan menarik membuatnya dikenang sebagai salah satu pilar Garuda yang begitu tangguh. Di masanya, timnas Indonesia ditakuti di tingkat Asia.
Karier kepelatihan
PSMS MEDAN
Melatih PSMS dan mengorbitkan nama nama besar seperti Mahyadi Panggabean, Saktiawan Sinaga, Markus Horison, dan Legimin Rahardjo masuk skuad tim nasional Indonesia