Dayak Jangkang adalah sebuah kelompok etnis Dayak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Dayak Jangkang adalah bagian dari rumpun Bidayuh yang mendiami seluruh desa di Kecamatan Jangkang, sebagian kecamatan Bonti dan Mukok, Kabupaten Sanggau. Populasinya ditengarai berjumlah 44.000 jiwa.[1]
Asal-usul
Menurut legenda yang diyakini turun-temurun, Dayak Jangkang merupakan pecahan dari rombongan Dara Nante dan Babai Cinga. Dalam perjalanan mencari suaminya, Babai Cinga, rombongan Dara Nante mengalami hambatan di muara Sungai Sekayam. Setelah beberapa hari coba mengatasi kesulitan, mereka pun akhirnya dapat meneruskan perjalanan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Setelah sekian lama berlayar, ketika menemui anak Sungai Entabai, firasatnya langsung ingin menyusuri anak sungai tersebut. Semakin ke hulu, rombongan lalu berhenti di hulu Sungai Entabai dan berlabuh di sebuah kampung bernama Tampun Juah. Di Tampun Juah inilah Dara Nante bertemu dengan suaminya, Babai Cinga. Setelah beberapa hari bertemu, rombongan Dara Nante kembali ke Sanggau, menuju kampung Labai meninggalkan Babai Cinga. Perpisahan mereka ditengarai karena panggilan tugas masing-masing. Tampun Juah semakin hari semakin berkembang menjadi pemukiman yang ramai. Setelah ramai, timbul persoalan-persoalan sosial ekonomi yang rumit sehingga timbul masalah.[2]
Dalam upaya keluar dari Tampun Juah dan mencari daerah baru karena suatu serangan dari luar, rombongan penduduk bekas kampung Tampun Juah berlayar menuju hilir mengikuti aliran air Sungai Sekayam. Di badan sungai Sekayam ada sebuah sungai yang mengalir dari pegunungan di hulu di wilayah Ketori saat ini, yaitu Sungai Mengkiang. Rombongan pun bergerak menyusuri sungai tersebut dengan melawan arus, dan kemudian mendirikan pemukiman di muara sungai kecil yang diberi nama Sungi Sobut (Sungai Sebut). Pemukiman tersebut berkembang dan menjadi persinggahan banyak orang, sehingga tempat itu disebut Balai Sebut, yang kini menjadi ibukota Kecamatan Jangkang.[2]
Dari Balai Sebut, beberapa keluarga berladang dari muara Sungai Ence, tidak jauh dari Balai Sebut, dan semakin ke hulu lagi. Di sepanjang daerah ini banyak tumbuh pohon tekam yang sangat baik untuk bangunan karena dagingnya keras, salah satu jenisnya adalah “tokapm jangkang”. Ada sealir anak sungai di daerah itu pula yang dinamakan "Sungi Jongkang”, sehingga wilayah tersebut dinamakan “Jongkang Bonua", yang kini dikenal sebagai desa Jangkang Benua. Penduduk yang mendirikan pemukiman di wilayah ini kemudian disebut orang Jongkang Benua, atau Bi Jongkang.[2]
Kelompok
Dayak Jangkang terdiri atas 11 subkelompok sebagai berikut.
Suku Jangkang
Suku Engkarong
Suku Ensanong
Suku Hulu Tanjung
Suku Darok
Suku Sum
Suku Muduk
Suku Selayang
Suku Mayau
Suku Kopa
Campuran suku Jangkang, Engkarong, dan Hulu Tanjung
Persebaran
Adapun Dayak Jangkang tersebar di beberapa dusun dan desa di Kabupaten Sanggau dan dibagi menjadi subkelompok berikut:
Subkelompok Suku Jangkang merupakan mayoritas. Umumnya mereka mendiami bagian utara Jangkang Benua, seperti Kobangk, Landau, Parus, Tanggung, Engkolai, Benuang, Kawai, Sebao, Tumbuk, Pisang, Rosak, Entawa, Teriang, dan Ketori.[a]
Subkelompok Suku Engkarong mendiami kampung Sekantot, Semombat, Lalang, Uru, Tanjung Bara, Tekorong, Emporas, Balai, dan Riban.
Subkelompok Suku Ensanong mendiami kampung Terati, Parai, Sererek, Pelanduk, Dasan, Ndoya, Robia, dan Engguri.
Subkelompok Suku Hulu Tajung mendiami kampung Peruntan, Sape, Dangku Kabalau, Sebuda, Boyok, Sungai Omang, Seribot, Bengap, dan Muara Tingan.
Subkelompok Suku Kembayan mendiami seluruh bagian kecamatan Kembayan dan Noyan.
Subkelompok Suku Darok mendiami kampung Darok, Ginis, dan Bungok.
Subkelompok Suku Sum mendiami kampung Sum, Bantai, Bangau, Majel, Rondam, Muan, Monum, dan Jamu.
Subkelompok Suku Muduk mendiami kampung Mua, Empodis, Tapa, Entayan/Nibuk, dan Nala.
Subkelompok Suku Selayang mendiami kampung Sinu dan Petuo.
Subkelompok Suku Mayau mendiami kampung Kotup, Tebilai, dan sebagian kampung Engkadot.
Subkelompok Suku Kopa mendiami kampung Empiyang, Empoyu, Padek, Sebotuh, Muara Ronai, Tunggul Boyok, Kolo, Norma, Bedigung, dan sebagian kampung Engkadot.
Adapun sisanya merupakan campuran dari subkelompok suku Jangkang, Engkarong, dan Hulu Tanjung. Kelompok ini terutama bermukim di Sabangk, Tobuas, Sontowa, Somukao, Jamu, Sokampet, Somirau, dan Nsibau.
Bahasa
Bahasa Dayak Jangkang dikenal sebagai bahasa “Bekidoh” yang secara harfiah berarti "tidak ada". Maksudnya, siapa saja penutur, atau orang yang memahami “Bekidoh”, dianggap sebagai penutur bahasa Dayak Jangkang. Dari struktur, tidak banyak perbedaan dengan bahasa rumpun besarnya, yakni Bidayuh, hanya perbedaan dialek saja.[1]
Agama
Mayoritas penduduk masyarakat Jangkang menganut agama Katolik yang diperkenalkan oleh misionaris Ordo Kapusin, yakni Pater Fridolinus OFM CAP sejak tahun 1934.[3] Sebelum misi Katolik tiba di wilayah Jangkang, penduduk setempat menganut agama asli tradisional nenek moyang.[4] Simbol-simbol agama asli, seperti pantak, patung, korban berupa hewan, sesajen, dan patung penjaga kampung yang dipasang pada jalan sebelum masuk suatu kampung, digantikan dengan simbol-simbol Katolik. Akan tetapi, berbeda dengan Kristen Protestan yang pada umumnya menolak dan membuang simbol-simbol budaya leluhur, Gereja Katolik sangat menghargai budaya setempat dengan inkulturasi. Di wilayah Kecamatan Jangkang dapat disaksikan jika masuk suatu kampung berdiri salib. Ornamen gedung gereja, interior, maupun liturginya berciri khas seni budaya setempat. Gereja Katolik juga beperan di dalam mendidik para katekis, guru agama, dan calon biarawan/wati di dalam menjadikan gereja setempat sebagai gereja yang mandiri, antara lain dengan mendirikan sekolah misi dan menyekolahkan anak-anak Dayak setempat ke lembaga pendidikan Katolik seperti Nyarumkop dan Sekadau.[5]
Sosial dan ekonomi
Kehidupan sosial masyarakat Jangkang saat ini masih cukup kuat karena adat masih dijalankan dengan baik. Dewan Adat Dayak Kecamatan Jangkang telah mengodifikasi Hukum Adat Kecamatan Jangkang yang dapat digunakan untuk penyelesaian hukum dan berbagai kasus moral dan kriminal sehari-hari. Dayak Jangkang punya moto, “Adat nya’ bopugokng, ukupm nya’ bolinokng” (adat adalah pedoman hidup, hukum dan ketetapan untuk berlindung)”.[6]
Ekonomi Dayak Jangkang saat ini boleh dikatakan cukup baik. Kesuburan tanah dan melimpahnya hasil bumi membuat penduduk hidup berkecukupan. Hasil perkebunan berupa karet, lada, sawit, serta dari hasil sawah dan ladang cukup untuk menghidupi penduduk. Warung-warung dan toko-toko di ibukota kecamatan, Balai Sebut dan di sentra ekonomi seperti di Mongkau dan Jangkang, didominasi penduduk asli.[6]
Mata pencaharian
Dari sisi mata pencaharian, Dayak Jangkang pada umumnya berprofesi sebagai pegawai negeri, guru, dosen, pegawai swasta, buruh pabrik, mandor di perkebunan sawit, pedagang, pengusaha, pandai besi, biarawan/wati hingga politikus. Tidak sedikit warga Dayak Jangkang yang merantau ke luar daerah, bahkan beberapa di Jawa dan tinggal di Kota Jakarta.[1]
Adat dan budaya
Olahraga
Di samping sebagai wujud seni, Pangka’ Gasing (main gasing) juga merupakan bentuk olah raga di kalangan Dayak Jangkang. Selain itu, main tucet (menggunakan potongan kayu, tanah dilubangi, dipukul hingga jauh sembari berlari dan dikejar), main jingke’ (main lari-sembunyi seperti petak umpet), dan bobulet (pada musim menugal dengan arang menghitamkan wajah seseorang sembari kejar-lari).[7]
Rumah adat
Rumah Panjang adalah rumah adat Dayak Jangkang. Pada zaman Orde Baru, Rumah Panjang mengalami degradasi dengan instruksi bahwa rumah panjang harus dibongkar semua, dengan alasan kesehatan dan keamanan seperti contohnya rawan terbakar.[7]
Masakan khas
Masakan khas Dayak Jangkang biasanya menggunakan media bambu, seperti lemang (ketan di masak dalam buluh), pansuh (makanan dimasak dalam buluh), dan bingka’ (kue bakar dari bahan ubi kayu). Ada pula makanan khas Dayak Jangkang hasil fermentasi seperti tempoyak, pekasam (daging yang difermentasi), salai (daging asap), dan belongsong (ikan yang diasinkan), poda’ (ikan yang difermentasi dengan asam kandis), dan rebung asam.[8]
Catatan
^Sejatinya, secara dialek kampung-kampung yang agak jauh dari Jangkang seperti Kawai, Sebao, Tumbuk, Pisang, Rosak, Entawa, Teriang (kecuali Ketori) berbeda dengan Jangkang. Penutur Dayak Djo ini disebut “Bi Tojok” (orang ujung). Mereka cenderung mengayun-ngayunkan ujung kata dan kalimat. Misalnya, omo (kamu) dilafalkan omuo, onih (apa) dilafalkan onieh, dan sebagainya. Khusus Ketori, karena pendiri kampung ini langsung dari Kobang, bawaan asli Jangkang-Kobang masih sangat kental.[1]
"Makna di Balik Teks yang Melabeli Dayak sebagai Etnis Headhunter". Jurnal Communication Spectrum. Vol. 1 (No. 2). Agustus 2011-Januari 2012.Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
Lonsen, F.X.; Sareb, L.C. (2018). Saputra, Fidelis, ed. Hukum Adat Dayak kecamatan Jangkang. Palangka Raya: Lembaga Literasi Dayak (LLD). ISBN978-979-22-6767-9.