Stuart Hall (ahli teori kebudayaan)
Stuart McPhail Hall, FBA (3 Februari 1932 – 10 Februari 2014) adalah seorang teoris kebudayaan, aktivis politik, dan sosiolog Marxis yang hidup dan bekerja di Inggris Raya sejak tahun 1951. Hall, bersama Richard Hoggart dan Raymond Williams, adalah salah satu pendiri aliran pemikiran yang kini dikenal sebagai Kajian Budaya Inggris atau Aliran Kajian Budaya Birmingham.[1] Pada tahun 1950an, Hall mendirikan New Left Review, sebuah terbitan yang besar pengaruhnya. Ia kemudian diundang Hoggart untuk masuk ke Pusat Kajian Budaya Kontemporer di Universitas Birmingham pada tahun 1964. Hall kemudian menjadi direktur pelaksana pusat kajian ini, menggantikan Hoggart, pada tahun 1968. Ia naik tingkat menjadi direkturnya pada tahun 1972, dan melanjutkan posisinya hingga tahun 1979.[2] Di pusat kajian ini, Hall berjasa dalam memperluas cakupan kajian budaya hingga membahas masalah ras dan jender, serta turut pula memasukkan ide-ide baru dari teoris budaya Prancis seperti Michel Foucault.[3] Hall meninggalkan pusat kajian ini pada tahun 1979 dan menjadi profesor sosiologi di Universitas Terbuka Inggris.[4] Ia menjadi Presiden Asosiasi Sosiologis Inggris pada tahun 1995 hingga 1997. Ia kemudian pensiun dari Universitas Terbuka pada tahun 1997 dan menjadi profesor emeritus.[5] Koran Inggris, The Observer, menyatakan bahwa ia adalah "salah satu teoris kebudayaan terdepan di negeri ini."[6] Hall juga tergabung dalam Gerakan Seni Hitam. Sutradara film seperti John Akomfrah dan Isaac Julien memandangnya sebagai salah satu pahlawan mereka.[7] Hall menikah dengan Catherine Hall, seorang dosen sejarah Inggris modern feminis di University College London. BiografiStuart Hall lahir di Kingston, Jamaika. Ia lahir di sebuah keluarga Jamaika kelas menengah. Nenek moyangnya diperkirakan merupakan orang Afrika, Inggris, Yahudi Portugis, dan kemungkinan besar India.[6] Ia bersekolah di Kolese Jamaika dan mengenyam pendidikan yang mirip dengan sistem sekolah Inggris.[8] Dalam sebuah wawancara, Hall menggambarkan dirinya waktu itu sebagai "ilmuwan yang pintar dan menjanjikan" dan pendidikan formalnya sebagai "pendidikan yang amat 'klasik', amat baik tetapi juga amat formal secara akademik." Guru-guru yang suka padanya membantunya mencari buku "T. S. Eliot, James Joyce, Sigmund Freud, Karl Marx, Lenin, dan juga beberapa karya sastra dan puisi modern", serta "sastra Karibia".[9] Karya-karya terakhir Hall menunjukkan bahwa kondisi keluarganya yang lahir di Hindia Barat kolonial yang mendiskriminasi berdasarkan warna kulit, serta warna kulitnya yang lebih gelap daripada anggota keluarganya yang lain, amat berpengaruh pada pandangan-pandangannya.[10][11] Pada tahun 1951, Hall memenangkan Beasiswa Rhodes ke Kolese Merton di Universitas Oxford. Di sana, ia mempelajari sastra Inggris dan menerima gelar Master of Arts.[12][13] Ia merupakan bagian dari generasi Windrush, generasi emigran skala besar pertama dari Hindia Barat Inggris. Ia melanjutkan studinya di Oxford dengan sebuah disertasi mengenai Henry James, akan tetapi ia meninggalkan disertasi ini pada tahun 1957 atau 1958 karena ia ingin berfokus pada kerja politiknya setelah memerhatikan invasi Soviet di Hungaria pada tahun 1956 (yang menyebabkan bubarnya ribuan anggota Partai Komunis Inggris) dan Krisis Suez. Pada tahun 1957, Hall bergabung dalam Kampanye Perlucutan Nuklir, dan dalam sebuah demonstrasi kampanye inilah ia bertemu dengan istrinya.[14] Dari tahun 1958 hingga 1960, Hall bekerja sebagai seorang guru di sekolah menengah pertama London,[15] serta sekolah kejar paket untuk orang dewasa, dan pada tahun 1964 ia menikah dengan Catherine Hall. Di dekat waktu ini pula, ia menyimpulkan bahwa ia kemungkinan besar tidak akan kembali secara permanen ke Karibia.[13] Setelah bergabung dengan Universities and Left Review saat sedang bekerja di Oxford, Hall mengikuti E. P. Thompson, Raymond Williams, dkk. untuk menyatukan terbitan itu dengan The New Reasoner dan mendirikan New Left Review pada tahun 1960, dengan Hall bertindak sebagai editor pendiri.[8] Pada tahun 1958, kelompok yang sama, ditambah Raphael Samuel, mendirikan Partisan Coffee House di Soho sebagai tempat berkumpul untuk orang-orang sayap kiri.[16] Hall meninggalkan ruang editor New Left Review pada tahun 1961[17] atau 1962.[11] Karier akademik Hall mulai menanjak pada tahun 1964, setelah ia menulis sebuah buku bersama dengan Paddy Whannel mengenai Institut Film Inggris; buku ini konon "merupakan salah satu buku pertama yang mempelajari film sebagai hiburan dengan serius", yaitu The Popular Arts.[18] Sebagai hasil langsung, Richard Hoggart kemudian mengajak Hall untuk bergabung dengan Pusat Kajian Budaya Kontemporer di Universitas Birmingham, pada awalnya sebagai fellow riset yang dibayar Hoggart.[11] Pada tahun 1968, Hall naik jabatan sebagai direktur pelaksana pusat kajian tersebut. Ia menulis beberapa artikel berpengaruh pada tahun-tahun selanjutnya, termasuk Situating Marx: Evaluations and Departures (1972) dan Encoding and Decoding in the Television Discourse (1973). Ia juga berkontribusi pada buku Policing the Crisis (1978) dan membantu penyuntingan buku berpengaruh, Resistance Through Rituals (1975). Setelah penempatannya sebagai profesor sosiologi di Universitas Terbuka pada tahun 1979, Hall menerbitkan buku-buku berpengaruh selanjutnya, termasuk The Hard Road to Renewal (1988), Formations of Modernity (1992), Questions of Cultural Identity (1996), dan Cultural Representations and Signifying Practices (1997). Sepanjang tahun 1970an dan 1980an, Hall dekat dengan jurnal Marxism Today.[19] Pada tahun 1995, ia menjadi editor pendiri Soundings: A Journal of Politics and Culture.[20] Hall banyak memberikan pidato dan diskusi mengenai kajian budaya di dunia internasional, termasuk satu seri kuliah pada tahun 1983 di Universitas Illinois di Urbana-Champaign yang direkam dan beberapa dekade kemudian menjadi dasar untuk buku Cultural Studies 1983: A Theoretical History yang diterbitkan tahun 2016.[21] Hall adalah pendiri Iniva (Institut Seni Visual Internasional) dan organisasi fotografi Autograph ABP (Asosiasi Fotografer Kulit Hitam).[22] Hall pensiun dari Universitas Terbuka pada tahun 1997. Ia kemudian dipilih menjadi Fellow of the British Academy (FBA) pada tahun 2005, dan menerima Penghargaan Putri Margriet dari Yayasan Kebudayaan Eropa pada tahun 2008.[2] Ia meninggal pada 10 Februari 2014 akibat komplikasi gagal ginjal, seminggu setelah ulang tahunnya ke-82. Pada waktu kematiannya, ia dikenal sebagai "ayah baptis multikulturalisme".[2][23][24][25] Memoirnya, Familiar Stranger: A Life Between Two Islands, (yang ditulis dengan Bill Schwarz), diterbitkan pada tahun 2017. IdeHall banyak membahas mengenai hegemoni dan kajian budaya. Ia mengambil posisi pasca-Gramscian. Ia menganggap bahwa penggunaan-bahasa beroperasi di dalam wahana kekuasaan, institusi, serta politik/ekonomi. Dengan pandangan ini, ia menganggap bahwa orang-orang adalah produsen dan konsumen budaya pada waktu yang sama. (Hegemoni, dalam teori Gramscian, merujuk pada produksi sosiokultural "izin" dan "pemaksaan".) Bagi Hall, budaya bukanlah sesuatu yang hanya untuk diapresiasi atau dipelajari, tetapi juga sebagai "tempat aksi dan intervensi sosial kritis, tempat relasi kuasa berdiri dan memiliki kemungkinan untuk dibubarkan."[26] Hall menjadi salah satu pemrakarsa teori resepsi dan mengembangkan model mengenai enkoding dan dekoding. Pendekatan analisis tekstual ini berfokus pada lingkup negosiasi dan oposisi para audiens. Maksudnya, audiens tidak menerima begitu saja kendali teks-sosial. Statistika kejahatan, menurut Hall, sering dimanipulasi untuk kegunaan ekonomis dan politis. Kepanikan moral, misalnya mengenai perampokan, dapat ditimbulkan untuk menciptakan dukungan moral bagi perlunya "penertiban krisis". Media memainkan peran sentral dalam "produksi sosial berita", agar dapat menerima buah dari laporan kejahatan yang terpampang jelas.[27] Karya Hall, misalnya studi yang menunjukkan kaitan antara prasangka rasial dan media massa, memiliki reputasi yang amat baik dan berpengaruh. Karyanya dianggap sebagai teks dasar yang penting bagi kajian budaya kontemporer. Ia juga membahas konsep-konsep identitas kebudayaan, ras, dan etnisitas, terutama dalam penciptaan politik identitas diasporik kulit hitam. Hall percaya bahwa identitas adalah produk yang terus berjalan dari sejarah dan budaya, dan bukan merupakan produk yang sudah selesai. Dalam esainya, "Reconstruction Work: Images of Postwar Black Settlement", Hall juga menekankan pertanyaan mengenai memori dan visualitas sejarah dalam kaitannya dengan fotografi sebagai teknologi kolonial. Untuk dapat memahami dan menulis mengenai sejarah migrasi kulit hitam di Inggris pada masa pascaperang, seseorang membutuhkan mata yang jeli agar dapat memeriksa arsip sejarah yang terbatas secara hati-hati dan kritis. Dalam hal ini, bukti fotografis menjadi amat berharga. Akan tetapi, gambar fotografi sering dianggap sebagai suatu medium yang lebih objektif daripada representasi lainnya, dan hal ini berbahaya. Seseorang harus memeriksa secara kritis siapa yang memproduksi gambar tersebut, apa tujuan mereka memproduksi gambar itu, serta cara mereka memajukan agendanya (misalnya, apa yang telah dimasukkan dan dikeluarkan secara sengaja dari gambar). Sebagai contoh, dalam konteks Inggris pascaperang, foto seperti yang ditampilkan dalam artikel Kiriman Bergambar berjudul "Thirty Thousand Colour Problems" mengontruksikan migrasi kulit hitam dan kulit hitam di Inggris sebagai "sebuah masalah".[28] Foto-foto tersebut mengontruksikan pernikahan antarras sebagai "pusat masalah", "masalah masalah", atau "masalah inti".[28] Pengaruh politik Hall melebar hingga Partai Buruh, mungkin berkaitan dengan artikel-artikel berpengaruh yang ia tulis untuk jurnal teoretis Partai Komunis Inggris berjudul Marxism Today yang menantang pandangan orang kiri mengenai pasar dan konservatisme politik dan organisasional secara umum. Diskursus ini amat berdampak bagi Partai Buruh, di bawah pimpinan Neil Kinnock dan Tony Blair, meskipun Hall kemudian menyayangkan Buruh Baru yang menurutnya "beroperasi menurut lanskap yang didefinisikan Thatcherisme".[24] Model enkoding dan dekodingHall menyampaikan pemikirannya mengenai enkoding dan dekoding dalam berbagai publikasi, dan dalam beberapa acara diskusi. Ia pertama kali menyampaikan pemikiran ini dalam "Encoding and Decoding in the Television Discourse" (1973), sebuah paper yang ia tulis untuk Kolokium Majelis Eropa mengenai "Pelatihan dalam Pembacaan Kritis Bahasa Televisi", yang dilaksanakan oleh Majelis dan Pusat Riset Komunikasi Massa di Universitas Leicester. Esai ini diberikan kepada mahasiswa di Pusat Kajian Budaya Kontemporer.[29] Pada tahun 1974, esai ini dipresentasikan di sebuah simposium bertajuk Broadcasters and the Audience di Wina. Hall juga menyampaikan model enkoding dan dekoding dalam "Encoding/Decoding", dalam Culture, Media, Language, pada tahun 1980. Beberapa kritik mencatat perbedaan waktu antara publikasi pertama Hall mengenai enkoding/dekoding pada tahun 1973, dan penerbitan bukunya pada tahun 1980. Suatu hal yang perlu dicatat adalah perpindahan Hall dari Pusat Kajian Budaya Kontemporer ke Universitas Terbuka.[29] Hall amat berpengaruh bagi kajian budaya. Kebanyakan istilah yang ia gunakan dalam teksnya masih digunakan dalam bidang ini. Teksnya tahun 1973 dipandang sebagai sebuah titik perpindahan riset Hall menuju strukturalisme, dan memberikan pandangan yang mendalam mengenai beberapa perkembangan teoretis utama yang ditelitinya dalam Pusat Kajian Budaya Kontemporer. Hall menggunakan pendekatan semiotika dan melengkapi karya Roland Barthes dan Umberto Eco.[30] Esainya menantang asumsi-asumsi yang sudah lama dipegang orang mengenai cara produksi, sirkulasi, dan konsumsi pesan media. Pada dasarnya, ia mendirikan teori komunikasi baru.[31] "'Objek' praktik dan struktur produksi dalam televisi, adalah produksi pesan; yakni, pesan-wahana yang terorganisasi, seperti bentuk komunikasi atau bahasa lainnya, melalui operasi kode, di dalam rantai sintagmatik diskursus."[32] Hall menantang keempat komponen model komunikasi massa. Ia berargumen bahwa:
Misalnya, sebuah film dokumenter tentang pencari suaka yang berupaya untuk menggambarkan mereka secara simpatik, tidak menjamin bahwa para penontonnya akan merasa simpatik. Meskipun film tersebut realistik dan menyampaikan fakta, dokuemtner itu harus tetap berkomunikasi melalui sistem tanda (tanda aural-visual televisi) yang mendistorsi niatan produsen dan memberikan perasaan berlawanan dalam audiens pada waktu yang sama.[31] Distorsi sudah ada di dalam sistem dan bukan merupakan "kegagalan" produsen atau penonton. Menurut Hall, memang ada "ketidakcocokan" antara "dua sisi dalam pertukaran komunikatif", yaitu antara momen produksi pesan ("enkoding") dan momen penerimaan pesan ("dekoding").[31] Pandangan mengenai identitas budaya dan diaspora AfrikaDalam esai berpengaruhnya yang dikeluarkan tahun 1996, "Cultural Identity and Diaspora", Hall memberikan dua definisi yang berbeda terkait identitas budaya. Dalam definisi pertama, identitas budaya adalah "semacam kolektif 'suatu kedirian yang sebenarnya' ... yang dipegang oleh orang-orang dengan sejarah dan moyang yang sama."[33] Dalam pandangan ini, identitas budaya memberikan "bingkai wahana referensi dan makna yang stabil, tidak berubah, dan terus ada", yang tetap berjalan dalam ombak sejarah.[33] Dengan demikian, orang-orang berkulit hitam yang tinggal di dalam diaspora, hanya perlu "menggali kembali" masa lalu Afrika mereka untuk menemukan identitas budaya mereka yang sesungguhnya.[33] Hall menyukai efek baik yang ditimbulkan pandangan mengenai identitas budaya ini dalam dunia pascakolonial. Akan tetapi, ia juga memberikan definisi kedua identitas budaya, yang dipandangnya superior. Definisi kedua Hall mengenai identitas budaya "menyadari bahwa, meskipun banyak kesamaan, ada pula titik-titik perbedaan yang kritis dan signifikan, yang mendirikan 'diri kita yang sebenarnya'; atau, karena sejarah ikut campur, 'diri kita yang telah menjadi.'"[33] Dalam pandangan ini, identitas budaya bukanlah semacam esensi ajeg yang berakar pada masa lalu. Identitas budaya "melewati perubahan konstan" sepanjang sejarah karena "terus-menerus bermain dalam sejarah, kebudayaan, dan kekuasaan".[33] Hall mendefinisikan identitas budaya sebagai "nama yang kita berikan kepada metode-metode yang digunakan narasi masa lalu untuk memosisikan kita dan sebaliknya, yaitu cara kita memosisikan diri di dalam narasi masa lalu."[33] Dengan kata lain, bagi Hall, identitas budaya "bukanlah sebuah esensi, melainkan suatu penempatan."[33] Publikasi (tidak lengkap)1960an
1970an
1980an
1990an
2000an
2010an
Peninggalan
FilmHall menjadi presenter dalam seri televisi tujuh-bagian berjudul Redemption Song — yang diproduksi oleh Barraclough Carey Productions dan disiarkan melalui BBC2 antara 30 Juni dan 12 Agustus 1991. Di dalam seri televisi itu, ia menjelajahi elemen-elemen yang mencirikan dunia Karibia, sejarah Karibia, serta mewawancarai orang-orang yang tinggal di sana.[37] Berikut ini episode-episode seri televisi tersebut:
Kuliah Hall kini tersedia dalam bentuk video yang didistribusikan Yayasan Pendidikan Media:
Mike Dibb memproduksi sebuah film yang berdasar pada wawancara panjang antara jurnalis Maya Jaggi dan Stuart Hall, yang diberi judul Personally Speaking (2009).[38][39] Hall menjadi tokoh dalam dua film yang disutradarai oleh John Akomfrah, berjudul The Unfinished Conversation (2012) dan The Stuart Hall Project (2013). Film yang pertama ditampilkan tanggal 26 Oktober 2013 hingga 23 Maret 2014, di Tate Britain, Millbank, London.[40] Film yang kedua tersedia dalam format DVD.[41] The Stuart Hall Project terdiri dari klip-klip yang diambil dari lebih dari 100 jam video arsip Hall, digabungkan dengan musik jazz karya Miles Davis, yang menjadi inspirasi Hall dan Akomfrah.[42] Pada bulan Agustus 2012, Profesor Sut Jhally mewawancarai Hall mengenai beberapa tema dan isu dalam kajian budaya.[43] Buku
Referensi
Further reading
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Stuart Hall (cultural theorist). Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Stuart Hall (ahli teori kebudayaan).
|