Kepanikan moral atau panik moral adalah rasa ketakutan yang menyebar dalam sejumlah besar orang bahwa suatu kejahatan sedang mengancam ketertiban masyarakat.[1][2]
Media adalah pemain kunci dalam penyebaran kepanikan moral. Pelaporan fakta saja sudah cukup untuk menciptakan keresahan, kegelisahan, atau kepanikan.[3]Stanley Cohen mengatakan bahwa kepanikan moral terjadi ketika "suatu kondisi, situasi, orang, atau sekelompok orang, muncul dan didefinisikan sebagai ancaman bagi nilai atau kepentingan masyarakat." Contoh kepanikan moral adalah kepercayaan akan adanya penculikan anak-anak oleh pedofil predator,[4][5][6] kepercayaan akan adanya kekerasan akan perempuan dan anak-anak dalam ritus kultus Satanik,[7]Perang Melawan Narkoba di Amerika Serikat,[3][8] serta masalah kesehatan umum lainnya.
Penggunaan istilah dalam ilmu sosial
Marshall McLuhan menjelaskan istilah ini secara akademik dalam bukunya Understanding Media, yang diterbitkan pada tahun 1964.[9] Menurut Stanley Cohen, penulis studi sosisologi tentang budaya dan media remaja, Folk Devils and Moral Panics (1972),[10] kepanikan moral muncul ketika "... suatu kondisi, situasi, orang, atau sekelompok orang, muncul dan didefinisikan sebagai ancaman bagi nilai dan kepentingan masyarakat.".[3] Pihak yang memulai kepanikan ketika mereka mulai merasa suatu nilai sosial atau budaya terancam, sebagaimana disebut dalam banyak terjemahan bahasa Indonesia buku-buku sosiologi, adalah 'pengusaha moral' (moral entrepreneur). Sebaliknya, pihak yang dikatakan sebagai pengancam ketertiban sosial disebut 'setan rakyat' (folk devil).
Perbedaan sosiologi Amerika Serikat dan Inggris
Beberapa sosiolog mencatat perbedaan antara definisi kepanikan moral sebagaimana digambarkan oleh sosiolog Amerika Serikat dan Inggris. Kenneth Thompson menggambarkan bahwa sosiolog Amerika cenderung menekankan faktor psikologis kepanikan moral, sementara sosiolog Inggris cenderung menggambarkan "kepanikan moral" sebagai krisis kapitalisme.[11][12]
Kriminolog Jock Young menggunakan istilah ini dalam studi observasi partisipannya mengenai perilaku menggunakan narkoba di Porthmadog, antara 1967 dan 1969.[13] Dalam Policing the Crisis: Mugging, the State and Law and Order (1978), Stuart Hall dan kolega-koleganya meneliti tetang reaksi publik atas fenomena perampokan dan persepsinya bahwa kejahatan semacam ini diimpor dari budaya Amerika Serikat ke Inggris. Hall menggunakan definisi kepanikan moral dari Cohen dan berteori bahwa informasi statistika mengenai peningkatan tingkat kejahatan memiliki fungsi ideologis yang terkait dengan kontrol sosial. Menurut pandangan Hall, statistika kejahatan sering dimanipulasi untuk kepentingan politik dan ekonomi. Dengan demikian, kepanikan moral dapat diciptakan untuk menimbulkan dukungan umum untuk "... menertibkan keamanan."[14]
Tahapan kepanikan moral menurut Cohen
Menurut Stanley Cohen, yang tampaknya telah meminjam istilah 'kepanikan moral' dari Marshall McLuhan, terdapat lima tingkatan dalam penciptaan kepanikan moral:[3]
Seseorang, sesuatu, atau suatu kelompok, didefinisikan sebagai ancaman terhadap norma sosial atau kepentingan masyarakat
Media kemudian menggambarkan ancaman ini dengan simbol atau bentuk yang sederhana dan mudah dikenali
Penggambaran simbol ini menimbulkan keresahan umum
Timbul respons dari otoritas dan pembuat kebijakan
Kepanikan moral yang muncul atas masalah ini kemudian menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat
Media massa
Menurut Stanley Cohen dalam Folk Devils and Moral Panics, konsep "kepanikan moral" terkait dengan beberapa asumsi tertentu mengenai media massa.[3] Stanley Cohen menunjukkan bahwa media massa adalah sumber utama pengetahuan masyarakat tentang penyimpangan dan masalah sosial. Ia juga mengatakan bahwa kepanikan moral memunculkan 'setan rakyat' dengan cara memberikan label bagi aksi dan orang.[3]
Menurut Cohen, media memainkan salah satu atau semua peran berikut ini saat terjadi drama kepanikan moral:[3]
Menciptakan agenda - memilih penyimpangan atau kegiatan yang problematis secara sosial dan cocok dinaikkan menjadi berita, kemudian difilter secara lebih teliti untuk menentukan peristiwa apa yang dapat menciptakan kepanikan moral
Transmisi gambar - menyampaikan klaim dengan retorika kepanikan moral
Berhenti diam dan mulai membuat klaim.
Ciri-ciri
Terdapat beberapa hal yang mencirikan kepanikan moral. Menurut Goode dan Ben-Yehuda, kepanikan moral dapat dicirikan sebagai berikut:[7]
Keresahan - harus ada kepercayaan bahwa perilaku kelompok atau aktivitas yang dianggap menyimpang tersebut kemungkinan besar akan berefek negatif bagi masyarakat
Permusuhan - permusuhan terhadap kelompok yang bersangkutan meningkat dan kelompok tersebut dianggap "setan rakyat". Timbul perbedaan yang jelas antara "mereka" dan "kita."
Konsensus - keresahan tidak perlu dalam lingkup nasional, akan tetapi perlu ada penerimaan luas bahwa kelompok yang bersangkutan mengancam masyarakat. Pada tingkat ini, "pengusaha moral" harus mulai vokal dan "setan rakyat" tersebut harus tampak lemah dan tidak terorganisasi.
Ketidakseimbangan - aksi yang diambil tidak seimbang dengan ancaman sebenarnya yang dibawakan oleh kelompok yang dituduh.
Ketidaktentuan - kepanikan moral biasanya amat tidak menentu dan cenderung menghilang secepat datangnya karena minat publik cepat berubah atau laporan berita berubah menjadi narasi yang lain.[2]
Contoh
Abad 20-21: kesehatan masyarakat
Ketakutan akan penyakit (atau ketakutan akan ancaman bagi kesehatan masyarakat) dan penyebaran kepanikan bermula beberapa abad yang lalu, dan masih terus ada di abad 21. Penyakit yang pernah menimbulkan panik adalah AIDS, Ebola, H1N1, Zika, dan SARS. Ide Cohen mengenai "setan rakyat" dan epidemi dapat diperbandingkan karena perannya yang mirip dalam penyebaran kepanikan dan ketakutan massal.[15] Although the water was safe to drink in most parts of London, such a panic had arisen that very few people would dare drink the water.[15]
1970an-masa kini: peningkatan tingkat kejahatan
Riset menunjukkan bahwa ketakutan akan peningkatan tingkat kejahatan sering merupakan sumber kepanikan moral.[3][14][16][17] Penelitian terbaru menunjukkan bahwa meskipun tingkat kejahatan sebenarnya menurun, akan tetapi fenomena ini terus berjalan dalam berbagai budaya. Ahli hukum Jepang, Koichi Hamai, menjelaskan bahwa perubahan pencatatan kejahatan di Jepang sejak tahun 1990an menyebabkan orang-orang percaya bahwa tingkat kejahatan terus meningkat dan kejahatan yang dilakukan semakin parah.[18]
Sejak industri permainan video mulai muncul, sudah ada panggilan untuk meregulasi kekerasan dalam permainan video. Contoh paling awal adalah Death Race.[19][20] Akan tetapi, pada tahun 1990an, terjadi peningkatan dalam teknologi permainan video dan permainan video baru seperti Mortal Kombat dan Doom dapat menampilkan depiksi kekerasan yang tampak lebih nyata. Industri permainan video menciptakan kontroversi mengenai isi kekerasannya, juga ada keresahan mengenai efek yang mungkin timbul pada para pemainnya. Hal ini kemudian menciptakan laporan media yang sering menggambarkan koneksi antara permainan video dan tindakan kekerasan, serta muncul pula beberapa riset akademis yang melaporkan penemuan yang saling berkonflik dalam korelasinya.[19] Christopher Ferguson berpendapat bahwa laporan media yang hanya mencari sensasi serta masyarakat ilmuwan bekerja sama secara tidak langsung untuk "menciptakan ketakutan permainan video yang tidak beralasan".[21] Ketakutan dari beberapa warga masyarakat mengenai permainan berkekerasan pada akhirnya menimbulkan laporan berita yang kadang berlebihan, peringatan dari politisi dan figur lainnya, serta pencarian telitian untuk membuktikan hubungan tersebut. Pada akhirnya, riset menjadi "berbicara lebih jauh daripada data dan terjadinya klaim-klaim ekstrem tanpa kewaspadaan dan skeptisisme ilmiah."[21]
Ferguson dkk. menjelaskan bahwa kepanikan moral permainan video adalah satu bagian dari sebuah siklus yang dilewati semua media baru.[21][22][23] Pada tahun 2011, Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa pelarangan penjualan permainan video kepada anak-anak adalah inkonstitusional dan menyatakan bahwa riset yang diberikan untuk mendukung pelarangan tersebut tidak persuasif.[21]
Dikenal pula sebagai "panik satanik". Peristiwa ini adalah satu seri kepanikan moral mengenai kekerasan ritus Satanik yang berawal di Amerika Serikat dan menyebar ke negara-negara berbahasa Inggris lainnya pada tahun 1980an dan 1990an. Beberapa orang yang tidak bersalah ditangkap.[7][24][25][26]
1980an-masa kini: HIV/AIDS
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat menimbulkan atau memperparah kondisi kesehatan lainnya, seperti pneumonia, infeksi jamur, tuberkulosis, toksoplasmosis, dan sitomegalovirus. Penelitian dari Asosiasi Sosiologi Inggris yang berjudul "AIDS: Kepanikan Moral Terkini" ("AIDS: The Latest Moral Panic") pada akhirnya muncul karena minat sosiolog medis dan kaum profesional kesehatan mengenai AIDS semakin tumbuh. Penelitian ini muncul ketika kedua kelompok tersebut sedang meresahkan perhatian media yang semakin tumbuh terkait AIDS.[27] Pada tahun 1980an, kepanikan moral mengenai HIV/AIDS tercipta di media. Di Inggris, sebuah iklan pemerintah menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengenal HIV/AIDS karena kurangnya informasi akurat yang bisa diakses publik.[28]
Pada tahun 1990an, yang dipersalahkan kemudian "orang Afrika yang tidak beradab". Sebuah teori populer kemudian beredar bahwa HIV berasal dari manusia yang berhubungan seks dengan monyet. Teori ini kemudian sudah dibantah oleh berbagai ahli.[29]
1990an-masa kini: kriminal seks
Narasi media mengenai kriminal seks mengedepankan bahwa tindakan-tindakan kriminal itu sudah biasa dilakukan oleh siapa pun kriminalnya. Media juga mendistorsi fakta dalam beberapa kasus.[30] Kedua hal ini telah membuat para pembuat hukum mengkritik konsep diskresi judisial[30] dan mengharuskan pendaftaran para kriminal seks ini berdasarkan beberapa tindakan kriminal yang sudah ditentukan sebelumnya, dan bukan berdasarkan pada risiko atau keparahan kejahatan yang sesungguhnya. Hal ini membuat para kriminal seks kecil menjadi terkena hukum kasar untuk kriminal besar.
Pada tahun 1990an dan 2000an, ada banyak kejadian kepanikan moral di Inggris dan Amerika yang berkaitan dengan penggunaan awam istilah pedofilia, yang diberikan pada kasus kriminal penculikan anak yang terkenal.[24]
2000-masa kini: penjualan manusia
Para kritikus mengenai aktivisme antiprostitusi kontemporer mengatakan bahwa keresahan tentang penjualan manusia dan perluasannya yang lebih besar dengan prostitusi dan bentuk kerja seks lainnya memiliki tanda-tanda kepanikan moral.[31][32][33][34]
Kritik
Paul Joosse (2017) berpendapat bahwa teori kepanikan moral klasik tampak seperti bagian 'revolusi skeptis' yang mencoba mengkritik fungsionalisme struktural. Di sisi lain, teori ini tampak mirip dengan penggambaran Durkheim mengenai cara hati nurani kolektif diperkuat dengan reaksinya terhadap penyimpangan (misalnya, dalam kasus Cohen, 'para pemikir kanan' menggunakan konsep setan rakyat untuk memperkuat ortodoksi sosial). Dalam analisisnya mengenai kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2016, Joosse memikirkan kembali kepanikan moral dengan cara Weberian. Ia menggambarkan bagaimana para pengusaha moral yang karismatik dapat menghina setan rakyat sambil tetap menghindari rekapitulasi moral konservatif yang diprediksikan teori kepanikan moral klasik.[35]
Kritik lain adalah tentang ketidakseimbangan. Tidak ada cara yang jelas untuk mengukur reaksi yang seimbang pada suatu aksi.[3]:xxvi–xxxi Jarrett Thibodeaux (2014) lebih jauh berargumen, di balik kriteria ketidakseimbangan ini terdapat asumsi yang salah bahwa masalah sosial harus berhubungan dengan kriteria objektif tertentu mengenai kerugian.[36]
Pada tahun 1995, kepanikan moral yang muncul di Inggris setelah beberapa kasus pembunuhan oleh anak-anak, terutama pembunuhan James Bulger yang berumur dua tahun oleh dua orang anak-anak umur 10 tahun, serta pembunuhan Edna Phillips oleh dua orang pemudi berumur 17 tahun, sosiolog Colin Hay menunjukkan bahwa dalam kasus seperti ini, setan rakyatnya menjadi ambigu. Para pelaku anak-anak tersebut biasanya akan dianggap tidak bersalah.[37]
Kriminolog Inggris, Yvonne Jewkes, juga mempermasalahkan istilah 'moralitas', bagaimana istilah tersebut diterima tanpa masalah dalam konsep 'kepanikan moral', dan bagaimana riset mengenai kepanikan moral tidak mampu mendekati istilah tersebut dengan kritis.[38]
Kriminolog Inggris lainnya, Steve Hall, berpendapat lebih jauh dengan mengatakan bahwa istilah 'kepanikan moral' adalah kesalahan kategoris yang fundamental. Hall berpendapat bahwa meskipun ada kejahatan yang disensasionalkan oleh media, akan tetapi pada struktur umum narasi kejahatan/kendali, kemampuan sistem keadilan negara yang ada untuk melindungi kepentingan umum juga terlalu ditampilkan secara berlebihan.[39]
Sosiolog Thompson dan Williams menjawab Hall dengan mengatakan bahwa konsep 'kepanikan moral' bukan merupakan respons rasional untuk fenomena reaksi sosial, akan tetapi merupakan hasil ketakutan kelas menengah yang tidak rasional mengenai 'keramaian' kelas pekerja yang dibayangkan. Mereka menggunakan contoh demonstrasi damai dan taat hukum yang dilakukan ibu-ibu atas pemulangan beberapa kriminal seks di perumahan mereka. Thompson dan Williams menunjukkan bahwa demonisasi sensasionalis mengenai para demonstran oleh para teoris kepanikan moral dan pers liberal malah sama irasionalnya dengan demonisasi kriminal seks oleh para demonstran dan pers tabloid.[40]
Banyak sosiolog dan kriminolog (seperti Ungar, Hier, Rohloff) yang telah merevisi wahana pemikiran awal Cohen. Revisi-revisi tersebut cocok dengan teorisasi Cohen mengenai kepanikan yang tertulis dalam edisi ketiga Introduction to Folk Devils and Moral Panics.[41]
^Hesselink-Louw, Anne; Olivier, Karen (2001). "A criminological analysis of crimes against disabled children: the adult male sexual offender". CARSA. 2 (2): 15–20.
^ abcdFerguson, Christopher J. (2013). "Violent video games and the Supreme Court: Lessons for the scientific community in the wake of Brown v. Entertainment Merchants Association". American Psychologist. 68 (2): 57–74. doi:10.1037/a0030597. PMID23421606.
^Ferguson, Christopher J. (2010). "Blazing angels or resident evil? Can violent video games be a force for good?". Review of General Psychology. 14 (2): 68. doi:10.1037/a0018941.
^Gilligan, J. H., and Coxon, A. P. M. (eds.), 1985, AIDS: The Latest Moral Panic, Occasional Paper No 11, December, The School of Social Studies, University College of Swansea[halaman dibutuhkan]
^ abFox, Kathryn J. (2012). "Incurable Sex Offenders, Lousy Judges & the Media: Moral Panic Sustenance in the Age of New Media". American Journal of Criminal Justice. 38: 160. doi:10.1007/s12103-012-9154-6.
^Cunneen, Chris; Salter, Michael (2009). "Women's bodies, moral panic and the world game: Sex trafficking, the 2006 Football World Cup and beyond". Proceedings of the Second Australia and New Zealand Critical Criminology Conference. hlm. 222–42. doi:10.2139/ssrn.1333994. ISBN978-0-646-50737-8.
^Milivojevic, Sanja; Pickering, Sharon (2008). "Football and sex: The 2006 FIFA World Cup and sex trafficking". Temida. 11 (2): 21–47. doi:10.2298/TEM0802021M.
^Joosse, Paul (2017). "Expanding Moral Panic Theory to Include the Agency of Charismatic Entrepreneurs". British Journal of Criminology. doi:10.1093/bjc/azx047.
^Thibodeaux, J. (2014). "Three Versions of Constructionism and their Reliance on Social Conditions in Social Problems Research". Sociology. 48 (4): 829. doi:10.1177/0038038513511560.
^Jewkes, Yvonne (2011) [2004], "Media and moral panics", dalam Jewkes, Yvonne, Media & Crime (edisi ke-2nd), London & Thousand Oaks, California: SAGE, hlm. 76–77, ISBN9781848607033
^Thompson, W.; Williams, A. (2013). The Myth of Moral Panics: Sex, Snuff, and Satan. Routledge Advances in Criminology. London: Routledge. ISBN9780415812665.[halaman dibutuhkan]
^Hier, Sean P. (2011). "Tightening the focus: Moral panic, moral regulation and liberal government". The British Journal of Sociology. 62 (3): 523–41. doi:10.1111/j.1468-4446.2011.01377.x. PMID21899526.
Bacaan lanjutan
Barron, Christie; Lacombe, Dany (2008). "Moral Panic and the Nasty Girl". Canadian Review of Sociology/Revue canadienne de sociologie. 42: 51. doi:10.1111/j.1755-618X.2005.tb00790.x.
Boëthius, Ulf (1995), "Youth, the media and moral panics", dalam Fornäs, Johan; Bolin, Göran, Youth culture in late modernity, London Thousand Oaks, California: Sage, hlm. 39–57, ISBN9780803988996.
Colomb, Wendy; Damphousse, Kelly (2004). "Examination of newspaper coverage of Hate Crimes: A moral panic perspective". American Journal of Criminal Justice. 28 (2): 147. doi:10.1007/BF02885869.
Cree, Viviene E.; Clapton, Gary; Smith, Mark (2015). Revisiting moral panics. Bristol, UK Chicago, Illinois, USA: Policy Press. ISBN9781447321859.
Gill, Aisha K; Harrison, Karen (2015). "Child Grooming and Sexual Exploitation: Are South Asian Men the UK Media's New Folk Devils?". International Journal for Crime, Justice and Social Democracy. 4 (2). doi:10.5204/ijcjsd.v4i2.214.
Fitzgerald, Maureen H. (2005). "Punctuated Equilibrium, Moral Panics and the Ethics Review Process". Journal of Academic Ethics. 2 (4): 315. doi:10.1007/s10805-005-9004-y.
Frankfurter, David (2008). Evil Incarnate: Rumors of Demonic Conspiracy and Satanic Abuse in History. Princeton: Princeton University Press. ISBN9780691136295.
Hier, S. P. (2002). "Conceptualizing Moral Panic through a Moral Economy of Harm". Critical Sociology. 28 (3): 311. doi:10.1177/08969205020280030301.
Hunt, Arnold (1997). "'Moral Panic' and Moral Language in the Media". The British Journal of Sociology. 48 (4): 629. doi:10.2307/591600. JSTOR591600.
Jasper, James M. (2001), "Moral panics", dalam Smelser, Neil J.; Baltes, Paul B., International encyclopedia of the social & behavioral sciences, Amsterdam New York: Elsevier, hlm. 10029–10033, ISBN9780080430768.
Jenkins, Philip. Intimate Enemies: Moral Panics in Contemporary Great Britain (1992),
Klocke, Brian V.; Muschert, Glenn W. (2010). "A Hybrid Model of Moral Panics: Synthesizing the Theory and Practice of Moral Panic Research". Sociology Compass. 4 (5): 295. doi:10.1111/j.1751-9020.2010.00281.x.
Also available as: McRobbie, Angela; Thornton, Sarah L. (1995). "Rethinking 'Moral Panic' for Multi-Mediated Social Worlds". The British Journal of Sociology. 46 (4): 559. doi:10.2307/591571. JSTOR591571.
Monod, Sarah Wright ed. Making Sense of Moral Panics: A Framework for Research (Palgrave Studies in Risk, Crime and Society, 2017)
Pearce, J. M.; Charman, E. (2011). "A social psychological approach to understanding moral panic". Crime, Media, Culture. 7 (3): 293. doi:10.1177/1741659011417607.
Rodwell, Grant (2011). "One newspaper's role in the demise of the Tasmanian Essential Learnings Curriculum: Adding new understandings to Cohen's moral panic theory in analyzing curriculum change". Journal of Educational Change. 12 (4): 441. doi:10.1007/s10833-011-9163-0.
Rohloff, A.; Wright, S. (2010). "Moral Panic and Social Theory: Beyond the Heuristic". Current Sociology. 58 (3): 403. doi:10.1177/0011392110364039.
Ungar, Sheldon (2001). "Moral panic versus the risk society: The implications of the changing sites of social anxiety". British Journal of Sociology. 52 (2): 271–91. doi:10.1080/00071310120044980. PMID11440057.