Mayor JenderalTNI (Purn.) Soedharmo Djajadiwangsa (29 Maret 1923 – 6 Oktober 1985) adalah seorang perwira tinggi angkatan darat, birokrat, dan diplomat berkebangsaan Indonesia yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembangunan Desa dari tahun 1969 hingga 1973 dan Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri dari tahun 1973 hingga 1979. Setelah pensiun dari pemerintahan, Soedharmo ditempatkan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Sri Lanka dari tahun 1980 hingga 1983.
Kehidupan awal
Soedharmo dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1923 di Pare, Kediri.[1][2] Ayahnya bekerja sebagai wakil manajer di Bank Perkreditan Rakyat (Volkscrediet) Pare. Soedharmo menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Sekolah Menengah Pertama) Kediri dan Middelbare Handelsschool (Sekolah Menengah Dagang) di Surabaya.[3][4]
Karier militer
PETA, TKR, dan pendidikan militer lanjutan
Soedharmo memulai karier militernya sebagai anggota Pembela Tanah Air (PETA), sebuah organisasi paramiliter yang didirikan pada masa Jepang. Soedharmo ditempatkan sebagai seorang Chudancho (komandan kompi) PETA. Beberapa saat kemudian, Soedharmo dipromosikan menjadi Daidancho (komandan batalyon) di Mojokerto dan dipindahtugaskan dengan posisi yang sama di Gresik.[3]
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Soedharmo bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat yang baru saja dibentuk.[5] Ia menjadi anggota Resimen ke-17 TKR di Pekalongan pada bulan Oktober 1945 dan dipromosikan menjadi kepala staf resimen tersebut sebulan kemudian,[5] menggantikan Mayor Boestomi yang melarikan diri ke Yogyakarta[6] setelah komandan mereka, K. H. Iskandar Idris, ditahan oleh sebuah kelompok pemberontak.[7] Soedharmo dan komandan sementara resimen tersebut, Wadyono, melakukan penambahan jumlah anggota staf resimen dari empat menjadi delapan dan membentuk seksi-seksi baru dalam resimen tersebut.[6]
Dalam sebuah wawancara, Wadyono menggambarkan Soedharmo sebagai seorang "pemuda berdarah panas yang buta politik".[8] Soedharmo pernah memimpin sebuah pasukan balabantuan untuk membebaskan Batalyon ke-3 — sebuah batalyon dari resimen tersebut — yang terkepung di Tegal oleh demonstran yang menduga bahwa batalyon tersebut menyembuyikan pimpinan organisasi pemberontak Angkatan Pemuda Indonesia. Namun, balabantuan tersebut terhenti di Pemalang dan harus kembali ke Pekalongan.[9]
Setelah perang kemerdekaan usai, Soedharmo ditempatkan sebagai komandan militer kota Pekalongan. Pada bulan Mei 1951, Soedharmo memimpin regu tembak yang mengeksekusi Sachjani (Kutil), seorang pemberontak yang dituduh memimpin Peristiwa Tiga Daerah.[10]
Beberapa waktu kemudian, Soedharmo dipindahkan dari posisinya. Soedharmo memempuh berbagai penugasan militer dan pada akhir 1950-an dia diperintahkan untuk menempuh pendidikan militer lanjutan di Defence Service Staff College, sebuah akademi setingkat Sekolah Staf dan Komando yang terletak di Wellington, India. Ia lulus dari pendidikan tersebut pada tahun 1960, beberapa hari setelah ditetapkan sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam).[1] Selain di Defence Service Staff College, Soedharmo juga pernah menempuh pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat.[4]
Pangdam XII/Tandjungpura
Soedharmo dilantik sebagai Panglima Daerah Militer XII/Tandjungpura dengan pangkat kolonel pada tanggal 20 Desember 1959.[11] Selang beberapa bulan kemudian, pada tanggal 21 November 1960, Soedharmo menunjuk Letkol Widji Alvisa Sastrodihardjo sebagai Kepala Staf Daerah Militer (Kasdam) XII/Tandjungpura, menggantikan Letkol Iwan Supardi yang ditunjuk menjadi Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Dua tahun kemudian, pada tanggal 13 Januari 1962, jabatan Kasdam kembali diserahterimakan kepada Letkol Soegijono. Letkol Soegijono tidak memegang jabatan ini dalam waktu lama karena Soedharmo telah menunjuk Kasdam baru, yakni Letkol Roostomo, pada tanggal 1 Desember 1962.[12]
Selama menjabat sebagai Pangdam, Soedharmo melakukan reorganisasi dalam struktur Kodam Tanjungpura. Pada tanggal 1 November 1960, Soedharmo membentuk tujuh komando distrik militer yang membawahi sejumlah Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakjat (sekarang disebut Komando Rayon Militer) di wilayah Kodam Tanjungpura. Dari tahun 1961 hingga 1962, Soedharmo juga membentuk sejumlah badan-badan pelaksana dan pembantu pusat, seperti pembentukan jabatan Asisten V dan VI Kasdam, Inspektur Kehakiman Daerah Militer (Ikehdam), Detasemen Markas Staf Komando Daerah Militer (Denma Skodam), dan Inspektorat Daerah Militer (Itdam). Soedharmo mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 10 September 1963 dan menyerahkan tampuk kepemimpinan Kodam XII/Tandjungpura kepada Kolonel Musannif Ryacudu.[12]
Pendidikan di Lemhannas
Setelah mengakhiri tugasnya di Kodam XII, Soedharmo kembali menempuh pendidikan lanjutan. Ia mengikuti kursus reguler di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), sebuah lembaga pendidikan nasional yang baru didirikan pada saat itu. Kursus tersebut dijalaninya dari tanggal 20 Mei 1965 sampai 12 Desember 1965.[1]
Karier birokrat
Direktur Jenderal Pembangunan Desa
Setelah bertugas di militer selama beberapa lama, Soedharmo dikaryakan ke Departemen Dalam Negeri sebagai Direktur Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (Dirjen PMD). Ia dilantik untuk jabatan tersebut pada tanggal 29 Maret 1969 bersamaan dengan Abdulrachman Setjowibowo yang dilantik sebagai Direktur Jenderal Agraria.[13]
Selama menjabat sebagai Dirjen PMD, Soedharmo menerapkan kebijakan intensifikasi pembinaan ekonomi desa melalui sejumlah metode, salah satunya adalah pembentukan Lembaga Sosial Desa (LSD) di desa-desa.[14] Meskipun begitu, pada akhir masa jabatannya, Soedharmo mengakui bahwa ada sejumlah 6.000 dari 56.000 desa di Indonesia yang belum memiliki LSD.[15]
Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri
Soedharmo meninggalkan jabatannya sebagai Dirjen PMD dan dilantik sebagai Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri (Irjen Depdagri) pada tanggal 26 September 1973.[1]
Duta Besar Indonesia untuk Sri Lanka
Beberapa saat setelah ia meninggalkan Departemen Dalam Negeri, Soedharmo dilantik sebagai Duta Besar Indonesia untuk Sri Lanka pada tanggal 19 Januari 1980.[16] Ia meninggalkan Indonesia dan mulai menjabat sebagai duta besar pada tanggal 25 Mei.[17] Setelah menjabat sebagai duta besar selama tiga tahun, Soedharmo digantikan oleh Sufri Jusuf on 21 May 1983.[18]
Selama menjabat sebagai duta besar, Soedharmo menyerahkan delapan kornea mata dari Bank Mata Sri Lanka kepada Bank Mata Pusat Indonesia.[19] Selain itu, Soedharmo juga mendaftarkan dirinya sebagai penyumbang kornea mata bagi masyarakat Sri Lanka setelah ia wafat.[20]