Sepeda di Hindia Belanda

Sepeda di Hindia Belanda pertama kali didatangkan dari Eropa pada tahun 1890 bersamaan dengan emigrasi orang Belanda ke Hindia Belanda. Awalnya, sepeda hanya dipakai oleh pegawai, bangsawan, misionaris dan saudagar kaya di Hindia Belanda. Periklanan sepeda mulai dilakukan pada tahun 1902 dan diperdagangkan melalui merek dagang asal Belanda, Inggris dan Jerman.

Pada tahun 1910, sepeda mulai menjadi salah satu moda transportasi umum di Hindia Belanda yang digunakan oleh pasukan militer Belanda di Hindia Belanda. Bersamaan dengan penggunaan sepeda motor, para elite Belanda mulai menganggap sepeda sebagai simbol kemiskinan yang hanya cocok untuk digunakan oleh orang pribumi di Indonesia. Sementara itu, penduduk pribumi di Batavia dan Jambi mulai menggunakan sepeda untuk pengangkutan darat pada awal abad ke-20 M. Masyarakat perkotaan di Hindia Belanda menggunakan sepeda onthel.

Pada dekade 1930-an, Jepang mendominasi penjualan sepeda di Hindia Belanda. Para pengusaha Jepang mendirikan toko sepeda dengan penjualan secara eceran, kredit dan harga jual yang murah. Tujuannya untuk propaganda ke penduduk Hindia Belanda bahwa pemerintahan Jepang lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan Belanda di Hindia Belanda.

Sejarah keberadaan

Pada akhir abad ke-19, orang-orang Eropa mulai melakukan emigrasi dari Belanda ke Hindia Belanda. Kedatangan mereka menambahkan populasi dan membuat budaya baru bagi Hindia Belanda. Salah satunya ialah penggunaan sepeda.[1] Sepeda pertama kali didatangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1890.[2]

Pemakaian

Awalnya, sepeda hanya digunakan oleh para pegawai Hindia Belanda dan para bangsawan. Kemudian, para misionaris dan saudagar kaya juga mulai menggunakannya. Sepeda di Hindia Belanda mulai digunakan sebagai alat transportasi umum sekitar tahun 1910. Pada tahun 1912, pasukan militer Belanda telah menggunakan sepeda untuk patroli di Hindia Belanda.[3]

Pada awal 1900-an, sepeda mulai menjadi simbol status kemiskinan oleh kalangan elite Belanda di Hindia Belanda. Pada periode ini, kendaraan bermotor mulai dijadikan sebagai simbol bagi kekayaan.[4] Kecenderungan atas pandangan merendahkan sepeda oleh kalangan elite Belanda di Hindia Belanda terutama menguat ketika persatuan pengendara sepeda motor bernama Magneet didirikan pada tahun 1913.[5] Magneet menerbitkan majalah bernama sama yaitu Magneet yang isinya terutama menyiratkan bahwa sepeda hanya cocok untuk pribumi berkulit cokelat yang akan menjadi calon priyayi. Sementara itu, terdapat pandangan dari kalangan elite Belanda di Hindia Belanda bahwa sepeda motor hanya cocok untuk orang Belanda tulen yang merupakan orang kulit putih.[6]

Sepeda mulai menjadi salah satu sarana pengangkutan darat bagi masyarakat umum di Batavia sejak awal abad ke-20.[7] Di Jambi, sepeda mulai digunakan oleh penduduk pribumi setelah memperoleh kemakmuran pada dekade 1920-an. Perolehan kemakmuran ini setelah pola penanaman karet diperkenalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan orang Tionghoa sejak tahun 1910 yang meningkatkan produksi dan perdagangan karet.[8] Sepeda tetap menjadi salah satu moda transportasi di Hindia Belanda oleh penduduk kelas menengah hingga dekade 1940-an.

Jenis

Jenis sepeda yang digunakan di Hindia Belanda ialah sepeda onthel.[9] Pemakaian sepeda onthel umumnya oleh masyarakat perkotaan di Hindia Belanda.[10]

Pengiklanan dan perdagangan

Pengiklanan sepeda dimulai di Hindia Belanda pada tahun 1902. Sepeda di Hindia Belanda awalnya diperoleh melalui perdagangan sepeda dari pasar sepeda di Belanda. Beberapa merek dagang sepeda dari Belanda ialah Fongers, Batavus, Sparta dan Gazelle,[3] Setelah diperdagangkannya sepeda buatan Belanda, beberapa sepeda buatan Inggris dan Jerman juga mulai diperdagangkan beberapa tahun berikutnya. Merek dagang sepeda dari Inggris antara lain Humber, Phillips, dan Raleigh. Sedangkan merek dangan sepeda dari Jerman antara lain Göricke dan Fahrrad.[11]

Pada awal dekade 1930-an, kebijakan percepatan industri diberlakukan di Jepang. Kondisi ini menimbulkan produksi massal dari berbagai jenis barang dengan harga jual yang murah. Barang-barang untuk kebutuhan harian dipasarkan oleh Jepang ke Hindia Belanda. Salah satunya ialah ban sepeda. Penjualan di Hindia Belanda dilakukan oleh para pengusaha dari Jepang dengan mendirikan toko eceran di berbagai kota besar di Hindia Belanda. Akibatnya, terbentuk jaringan perdagangan barang buatan Jepang di Hindia Belanda.[12]

Sepeda buatan Jepang mulai mendominasi pasar di Hindia Belanda setelah terjadinya devaluasi mata uang Yen pada bulan Desember 1931.[13] Pada tahun 1938, terdapat sebuah toko Jepang yang menjual sepeda di Cakranegara yaitu Miyore. Toko ini menjual sepeda dengan harga yang sangat murah dan dijual secara kredit ke desa-desa. Para petugas di toko Miyore yang keliling menjajakan sepeda kepada langganan bertujuan untuk mengadakan propaganda mengenai kebaikan Jepang. Tujuannya untuk meyakinkan masyarakat Hindia Belanda bahwa mereka akan memiliki masa depan yang lebih baik jika dalam pemerintahan Jepang dibandingkan dengan pemerintahan Belanda.[14]

Pada dekade 1940-an, sepeda diiklankan melalui media pers dengan merek dagang luar negeri maupun lokal. Beberapa merek dagang yang berasal dari luar negeri yakni Simplex, Raleigh, Humber, Fiscal, Harford, Vedette, Columbia dan Cleveland. Merek dagang lokal antara lain Sarekat Islam dan Madjid Asnoen.[15]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Kamilah, A., dan Abdullah, A. F. A. (Oktober 2023). Gaya Busana Bangsawan Mangkunegaran dalam Balutan Budaya Indis Eropa 1914-1944. Bantul: Jejak Pustaka. hlm. 33. ISBN 978-623-183-544-4. 
  2. ^ Kartodiwirio, S. K., dan Abadi, L. (2005). Album Bandoeng Tempo Doeloe. NavPress Indonesia. hlm. 209. ISBN 978-979-989-468-7. 
  3. ^ a b Khastiti 2011, hlm. 5.
  4. ^ Arif 2010, hlm. 3.
  5. ^ Arif 2010, hlm. 3-4.
  6. ^ Arif 2010, hlm. 4.
  7. ^ Baihaqi, Fauzan (Mei 2020). Guepedia/At, ed. Penyelenggaraan Ibadah Haji Hindia Belanda sejak Liberalisasi hingga Depresi Ekonomi. Guepedia. hlm. 69. ISBN 978-623-7667-03-2. 
  8. ^ Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia (Juli 2019). Sejarah Nasional Indonesia V Edisi Pemutakhiran: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 245. ISBN 979-407-411-X. 
  9. ^ Fernandi, Aloysius (2023). Irawan, Girardo, ed. Cara Merawat Sepeda Ontel dan Sepeda Listrik. Yogyakarta: Rumah Baca. hlm. 7. ISBN 978-623-8494-50-7. 
  10. ^ Soehadi, A. W., dan Murdiyanto, D. (Mei 2014). Yulianto, E., dan Maryono, H., ed. The Power of Brand Aura. Prasetiya Mulya Publishing. hlm. 83. 
  11. ^ Khastiti 2011, hlm. 5-6.
  12. ^ Basundoro, Purnawan (Agustus 2023). Pengantar Kajian Sejarah Ekonomi Perkotaan Indonesia. Jakarta: Kencana. hlm. 126. ISBN 978-623-384-485-7. 
  13. ^ Oktorino, Nino (2016). Di Bawah Matahari Terbit: Sejarah Pendudukan Jepang di indonesia 1941–45. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 19–20. ISBN 978-602-02-8811-6. 
  14. ^ Wacana, L., Ismail, A. W. H., dan Sumpeno, J. (Agustus 1991). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 101–102. 
  15. ^ Riyanto, Bedjo (2019). Siasat Mengemas Nikmat: Ambiguitas Gaya Hidup dalam Iklan Rokok di Masa Hindia Belanda sampai Pasca Orde Baru 1925-2000. hlm. 52. ISBN 978-602-5607-61-5. 

Daftar pustaka