Sejarah pertahanan keamanan indonesia yang bermula pada tahun 1945, telah memberikan pengalaman yang berharga dan nilai-nilai perjuangan yang penting dihimpun dan disusun dalam suatu konsepsi pertahanan keamanan yang tangguh dan ampuh, bagi upaya dalam pertahanan keamanan Negara berdasarkan falsafah bangsa dan idiologi serta dasar Negara Pancasila dan Undang Undang Dasar RI 1945 (UUD 1945).
Kurun Waktu 1945 – 1950
Pada bulan September – Oktober 1945 berdasarkan Civil Affairs Agreement Tentara Pendudukan Sekutu (Satuan Tentara Inggris) yang tergabung dalam Komando SEAC yang bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (RAPWI), berturut-turut mendarat di Medan, Padang, Jakarta, Semarang, Surabaya dengan melanjutkan gerakannya ke Bogor, Bandung, Ambarawa dan Magelang. Satuan tentara Australia mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah pada pihak sekutu dan Pulau Morotai telah diduduki oleh satuan tentara Amerika Serikat di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur, Panglima SWPAC (South West Pacific Area Command)[1]
Namun kenyataannya, tentara pendudukan ini menyelundupkan unsur-unsur alat pemerintah penjajah Belanda yang disebut The Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang mengakibatkan berbagai insiden dan provokasi sehingga membangkitkan perlawanan patriotik dan heroik bangsa Indonesia sebagaimana terbukti dalam berbagai peristiwa.
Dalam pertempuran pertama di Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1945, Tentara Pendudukan Inggris telah menderita kerugian dengan gugurnya seorang Komandan Brigade Istimewa ke-49, Brigadir Mallaby. Peristiwa ini mengakibatkan pecahnya pertempuran besar di Surabaya yang dikenal dengan peristiwa 10 November yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Gerakan maju Tentara Inggeris ke Ambarawa dan Magelang pada tanggal 14 Desember 1945 akhirnya dapat dipukul mundur yang dalam peristiwa sejarah dikenal sebagai Palagan Ambarawa.
Pada akhir September 1946, tentara Belanda mengambil alih posisi dan wilayah pendudukan dari tentara sekutu (Inggris) sesudah mendatangkan bala bantuan dari negeri Belanda yang dikenal dengan “Divisi 7 Desember”. Hingga bulan Oktober 1946, Belanda telah dapat menghimpun kekuatan militernya sebanyak 3 divisi di Jawa dan 3 Brigade di Sumatra. Tentera Inggris menyerahkan secara resmi tugas pendudukannya kepada Tentara Belanda pada tanggal 30 November 1946. Dari segi perimbangan kekuatan militer pada masa itu, pihak Belanda telah merasa cukup kuat untuk menegakkan kembali kekuasaan dan kedaulatannya di Indonesia, dengan memaksakan keinginannya terhadap rakyat dan pemerintah Republik Indonesia.
Perundingan antara pihak Belanda dan Indonesia yang diselenggarakan di Linggarjati, Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 12 November 1946 sebagai usaha saling memahami oleh kedua belah pihak, tetapi karena sikap pendirian masing-masing yang tidak dapat dipertemukan, usaha tersebut menemui kegagalan.
Perang Kemerdekaan I
Pada tanggal 21 Juli 1947 pukul 05.00 WIB, Belanda melancarkan operasi militernya yang dinamakan aksi polisionil, sedangkan bagi bangsa Indonesia peristiwa tersebut dikenal sebagai Perang Kemerdekaan I.
Tujuan utama operasi militer Belanda adalah untuk menguasai wilayah yang sebelumnya pada Perang Dunia II merupakan penghasil devisa bagi pemerintah Hindia Belanda seperti perkebunan di Jawa dan Sumatra. Tujuan kedua ialah untuk menguasai kota-kota sebagai pusat administrasi dan pemerintahan, serta kota-kota pelabuhan penting di Jawa dan Sumatra dalam usaha memblokade dan memutuskan hubungan Indonesia dengan dunia luar. Kota-kota pelabuhan di Jawa, di antaranya Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Cilacap, serta kota pelabuhan di Sumatra ialah Belawan di Medan dan Padang.
Serangan terobosan oleh pihak Belanda yang dilancarkan dengan cepat serta dikoordinasikan dengan serangan udara, pasukan Indonesia harus menghindar dari kehancuran total, hal itu dilaksanakan dengan mengundurkan diri ke pedalaman sambil memusnahkan objek-objek vital, seperti fasilitas dan instansi perkebunan, sarana dan prasarana perhubungan dan lain sebagainya.
Kemerosotan moral dari pasukan Indonesia sebagai akibat serangan Belanda yang dilancarkan secara mendadak dan cepat, secara berangsur-angsur dapat dipulihkan pada waktu mereka bergabung kembali pada induk pasukan masing-masing, serta dapat mengkonsolidasikan kekuatan pasukan di daerah pedalaman, sehingga membentuk kantung-kantung perlawanan di daerah pendudukan Belanda.
Tempat pemusatan pasukan di daerah pendudukan Belanda selain merupakan basis perlawanan gerilya terhadap Belanda, juga berfungsi sebagai tempat aparat pemerintahan darurat Republik Indonesia.
Terbentuknya kantung-kantung sebagai basis perlawanan gerilya serta merupakan aparat atau unsur pemerintahan darurat Republik Indonesia di daerah pendudukan Belanda, dimungkinkan karena adanya kebulatan tekad dan hasrat rakyat dan bangsa Indonesia untuk tidak menerima kembalinya kekuasaan dan kedaulatan pemerintah Belanda di bumi Indonesia. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan bersenjata tanpa mengenal menyerah.
Dengan dilancarkannya peperangan gerilya yang didukung oleh segenap kekuatan rakyat (semesta), pasukan Indonesia dapat beralih mengambil inisiatif dari taktik defensif ke taktik ofensif. Pengembangan ini dimungkinkan kerana rakyat mau menerima kehadiran para putera pejuang di tengah-tengah mereka, bahkan secara bahu-membahu ikut berjuang dengan melancarkan serangan dan gangguan terhadap kedudukan tentera Belanda.
Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Jendral Abdul Haris Nasution, yang pada masa itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, yang antara lain berbunyi: …..Pihak Belanda dengan kekuatan militer yang dimilikinya mungkin dapat menduduki kota-kota dan wilayah lainnya, tetapi demikian ia tak akan mampu menguasai seluruh wilayah kerana akan menghadapi perlawanan sengit dari rakyat Indonesia. Dengan aksi perlawanan tersebut posisi Indonesia menjadi pulih kekuatannya, sedangkan militer Belanda menjadi semakin lemah untuk dapat menguasai dan menduduki tempat-tempat yang strategis secara terus menerus. Pihak Indonesia secara berangsur-angsur dapat melancarkan serangan-serangan gerilya, sedangkan pihak musuh terikat pada pengawalan pos-pos yang statis defensif.
Pada masa itu, pasukan-pasukan Indonesia sudah mampu mendekati kota-kota dan mengancam kedudukan Belanda di mana-mana. Daerah-daerah pengaruh gerilya semakin meluas. Belanda benar-benar kehilangan akal, aparatur pemerintahannya tidak dapat berjalan, tentaranya terpaku di tempat-tempat kedudukannya. Belanda gagal melaksanakan rencananya semula, untuk menguasai daerah-daerah Jawa Timur, Jawa Barat, dan pantai utara Jawa Tengah, untuk selanjutnya meniadakan sisa daerah atau wilayah kekuasaan Republik Indonesia dalam rangka menguasai kembali seluruh wilayah Indonesia.
Perjanjian Renville
Situasi di medan juang tidak lagi menguntungkan pihak Belanda, selain adanya reaksi dan kecaman dari dunia internasional terhadap serangan yang dilancarkannya, sehingga mendesak Belanda untuk kembali berunding dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Perundingan yang diselenggarakan di atas sebuah kapal perang Amerika Serikat bernama Renville yang membuang sauh di Teluk Jakarta, telah menghasilkan suatu Persetujuan Renville. Isi persetujuan Renville menetapkan diterimanya tuntutan pihak Belanda, agar pemerintah Indonesia mengosongkan kantung-kantung dalam arti menarik pasukan bersenjata yang bergerilya dan unsur atau aparat pemerintahan darurat Indonesia di daerah pendudukan Belanda.
Dengan hijrahnya prajurit-prajurit pejuang dari kantung-kantung di Jawa Barat dan Jawa Timur kedaerah Indonesia, pihak Belanda dapat mengkoordinasikan kekuasaan dan kekuatannya diseluruh daerah yang diduduki nya, sedangkan posisi Indonesia dalam artian militer menjadi semakin terpojok baik dalam arti strategis mahupun taktis.
Luas daerah atau wilayah kekuasaan Indonesia semakin sedikit, hanya meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Kedu, Madiun, sebagian dari keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal bahagian selatan dan Banyumas, yang dari segi ekonomi dan militer secara keseluruhan dalam keadaan dikepung dan diblok oleh Belanda.
Dari segi politik dengan ditariknya kekuatan perlawanan bersenjata dari kantung-kantung di wilayah yang diduduki Belanda, maka aspek dukungan militer terhadap diplomasi Republik Indonesia dalam menghadapi Belanda telah hilang, di samping itu Belanda sendiri telah mendirikan negara-negara boneka baik di Jawa dan Madura, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, dalam rangka memperketat pengepungan serta meningkatkan ofensif politiknya terhadap Indonesia.
Persatuan nasional sebagai kekuatan pokok untuk menghadapi serangan tentera Belanda yang dapat dilancarkan sewaktu-waktu, telah menunjukkan kemerosotan yang mencemaskan sebagai akibat terbentuknya oposisi yang kuat oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) terhadap kebijaksanaan pemerintah di forum Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada masa itu.
Situasi kritis yang sedang dihadapi pemerintah dan bangsa Indonesia dibidang politik, ekonomi dan militer semakin memuncak dengan dilancarkannya pemberontakan yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)/Muso di Madiun pada bulan September 1948. Pemberontakkan yang didalangi oleh PKI/Muso tersebut sangatlah keji, pada masa bangsa dan pemerintah Indonesia sedang menghadapi ancaman Belanda dalam suatu perjuangan hidup dan mati.
Kerana kesigapan dan juga loyalitas sebahagian besar Angkatan Bersenjata baik yang berasal dari kantung-kantung maupun yang ada di Jawa Tengah sendiri serta bantuan dan dukungan unsur-unsur kekuatan lainnya, maka pemberontakkan PKI/Muso dapat dihancurkan dan dipadamkan dalam waktu yang relatif singkat.
Perang Kemerdekaan II
Pada tanggal 19 Desember 1948 setelah dapat menambah jumlah kekuatan militernya dengan mendatangkan lagi bantuannya dari negeri Belanda sehingga mencapai sekitar 100.000 orang, Belanda melancarkan lagi serangan militernya yang merupakan ‘aksi polisional II’ atau bagi bangsa Indonesia dikenal sebagai Perang Kemerdekaan II.
Aksi polisional II Belanda, bagi prajurit Angkatan Bersenjata yang berasal dari kantung-kantung merupakan suatu hal yang dinanti-nantikan, kerana apabila Belanda melancarkan serangan ketenteraannya, maka hal itu akan membuka peluang untuk kembali bergerilya di tempat asal masing-masing.
Dalam waktu singkat tentara Belanda mampu menguasai kota-kota penting dan jalan-jalan raya diseluruh sisa daerah kekuasaan Indonesia di Jawa dan Sumatra kecuali Daerah Istimewa Aceh, bagian dari Sumatera Selatan dan Keresidenan Banten. Mengenai jalannya aksi polisional II, Jendral Spoor, Panglima Tentera Belanda dengan nada optimis antara lain menyatakan …operasi-operasi pokok telah selesai, seterusnya kita hanya melakukan gerakan pembersihan terhadap sisa-sisa kekuatan lawan, yang akan menghabiskan waktu dua atau tiga bulan.
Pernyataan Jendral Spoor tersebut tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, bahwa serangan-serangan terhadap pos-pos dan kedudukan pasukan Belanda telah menyebar ke daerah-daerah yang tadinya ditinggalkan ‘hijrah’ oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sedangkan perlawanan dan serangan terhadap kekuatan militer dan aparat pemerintahan sipil Belanda di luar Pulau Jawa dan Sumatra masih tetap ada, bahkan masing sering terjadi.
Pendadakan dan kejutan yang sangat memalukan serta menjatuhkan martabat Belanda dimata dunia internasional ialah, pada waktu terjadi serangan terhadap Yogyakarta yang dilancarkan pada tanggal 1 Maret 1949. Walaupun Yogyakarta dapat direbut atau diduduki hanya dalam waktu enam jam, tetapi dampaknya terhadap moral bangsa Indonesia dan diplomasi di forum internasional cukup besar, serta merupakan bukti bahwa keberadaan dan perjuangan bangsa dan Negara Indonesia masih tetap berlanjut.
Tamparan kedua bagi Belanda adalah pada waktu terjadi serangan umum terhadap Surakarta antara tanggal 7 hingga 10 Agustus 1949, empat hari menjelang dihentikannya tembak menembak oleh pihak Belanda dan Indonesia yang menghasilkan didudukinya sebagian dari kota Surakarta oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Aksi polisional II merupakan kegagalan Belanda untuk memaksa rakyat dan pemerintah Republik Indonesia bertekuk lutut serta menerima kembali kedaulatan dan kekuasaannya di Indonesia. Akhirnya Belanda harus mengakui kedaulatan dan kekuasaan (rakyat dan) pemerintah Republik Indonesia diseluruh bekas wilayah jajahannya di kepuluan Nusantara.
Pengakuan kedaulatan oleh Belanda tersebut secara resmi dikukuhkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag negeri Belanda.
Kurun Waktu 1950 – 1965
Pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh dunia internasional masih belum luput dari berbagai cobaan maupun rongrongan yang bersumber dari unsur-unsur destruktif, baik di dalam maupun dari luar negeri, seperti yang tercatat dalam rangkaian sejarah berikut:
Angkatan Perang Ratu Adil
Gerakan teror Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung, Jawa Barat, dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling yang menolak pembubaran Negara Pasundan, walaupun menggunakan APRA sebagai mitos untuk memengaruhi opini masyarakat Jawa Barat, tetapi karena tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat, maka gebrakan operasi militernya hanya berlangsung beberapa hari dan pada akhirnya dengan mudah dapat ditumpas oleh aparat keamanan Negara Indonesia.
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, tetapi juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, tetapi dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal total.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakkan Andi Azis, salah seorang komandan bekas satuan tentera Belanda yang meletus pada tanggal 5 April 1950 di Makasar, Ujung Pandang dengan motivasi yang menuntut status dan perlakuan khusus dari pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Antara pihak pemberontak dengan utusan pihak pemerintah dari Jakarta, semula diusahakan pemecahan masalah melalui perundingan yang kemudian disusul dengan ultimatum, sehingga pada akhirnya harus diambil tindakan militer. Pada tanggal 20 Ogos 1950 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dapat menguasai seluruh kota Makasar atau Ujung Pandang
Gerakan Republik Maluku Selatan
Gerakan Republik Maluku Selatan yang dipimpin oleh MR. Dr. Christiaan Robbert Steven Soumokil, yang bertujuan ingin mendirikan Negara Republik Maluku Selatan yang terpisah dari Negara Indonesia Serikat.
Gerakan RMS mulai bergolak hampir bersamaan dengan pemberontakan Andi Azis di Makasar, Ujung Pandang. Kota Ambon dapat dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat pada tanggal 15 November 1950 melalui Gerakan Operasi Senopati I dan II.
Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
Gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamasikan oleh Letnan Kolonel Achmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan pada tanggal 15 Februari 1958 di Sumatera Barat dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual yang semula menjabat KSAD PRRI/Permesta.
Penumpasan PRRI di Sumatra dilakukan dengan operasi gabungan yang terdiri dari unsur-unsur kekuatan Tentara Angkatan Darat, Laut dan Udara dari dua jurusan, melalui pendaratan di Padang dan penerjunan pasukan para komando di Pekanbaru dan Tabing. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein bersama pasukannya secara rasmi melaporkan diri kepada Brigadir Jenderal Djatikoesoemo, Deputi Wilayah Sumatera Barat.
Disamping itu, perpecahan yang terjadi di antara para pimpinan Permesta telah melemahkan kekuatan militer Permesta, sehingga pada akhirnya pada tanggal 4 April 1961 antara Somba dari pihak Permesta dan Pangdam XIII Merdeka Kolonel Sunandar Priyosudarmo dilangsungkan penandatanganan naskah penyelesaian Permesta.
Lihat pula
Catatan
- ^ Menurut pembagian wilayah perang Amerika Serikat, seluruh wilayah Hindia Belanda, kecuali Sumatra termasuk wilayah komando Asia Barat Daya.
Sumber
- Lembaga Ketahanan Nasional.1991. Kewiraan Untuk Mahasiswa. Dirjend Pendidikan Tinggi Depdikbud & PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.