Sang Hyang Kamahayanikan Award adalah penghargaan tertinggi yang diserahkan oleh Panitia Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) kepada para tokoh, baik perorangan maupun kelompok, yang dipandang memiliki kontribusi besar dalam bidang seni-budaya dan humaniora di tengah masyarakat. Nama Sang Hyang Kamahayanikan diadopsi dari sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi. Kitab ini seluruhnya berisi 129 ayat. Dalam disertasi Dr. Noehardi Magetsari (2000) disebutkan bahwa Borobudur sesungguhnya adalah sebuah candi yang strukturnya menampilkan tahap-tahap perkembangan pengalaman seorang yogi untuk mencapai titik Kebudhaan di mana perasaan dan pikiran berhenti. Sebutan Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu yang populer di Borobudur juga terdapat dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan.
Penyerahan penghargaan ini berlangsung setiap tahun, sejak BWCF pertama, tahun 2012. Para kurator yang terdiri dari Romo Mudji Sutrisno SJ, Seno Joko Suyono, Imam Muhtahrom, dan Yessy Apriati, menginventarisasi nama-nama tokoh yang sekiranya kontribusinya selaras dengan tema besar yang diangkat, kemudian menentukan salah satunya untuk menerima penghargaan itu.
Penerima
Tahun
|
Nama Penerima
|
Dedikasi
|
2012
|
SH Mintardja[1]
|
Pelopor genre sastra silat
|
2013
|
AB Lapian[2]
|
Sejarawan bahari, atas penelitiannya yang dalam atas dunia kemaritiman Indonesia
|
2014
|
Peter Carey[3]
|
Sejarawan yang menulis riwayat Pangeran Diponegoro dan sejarah perang Jawa
|
2015
|
Hadi Sidomulyo (Nigel Bullough)[4]
|
Pecinta sejarah yang menapaktilasi lagi nama-nama desa yang ada di kitab Negara Kertagama
|
2016
|
Halilintar Latief[5]
|
Memberdayakan komunitas bissu di Sulawesi Selatan
|
Kartono Kamajaya
|
Menerjemahan dan menuliskan Serat Centhini ke dalam huruf latin
|
2017
|
Prof. Dr. Noerhadi Magetsari[6]
|
Melakukan penelitian, menulis buku tentang kajian Borobudur yang berangkat dari kajian sutra, kajian paling komprehensif yang pernah muncul dari kalangan akademis Indonesia
|
2018
|
Dr. Tan Ta Sen[7]
|
Peneliti dari Singapura yang berdedikasi untuk mencari tahu perjalanan Cheng Ho di Kawasan Asia Tenggara termasuk Nusantara. Dr Tan Ta Sen bahkan mendirikan museum Cheng Ho dan dibuka secara umum
|
2019
|
Prof. Dr. Achadiati Ikram
|
Guru besar Universitas Indonesia yang memiliki jasa besar dalam bidang filologi di Indonesia.[8]
|
Lihat pula
Referensi