Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi. Kitab ini seluruhnya berisi 129 ayat.
Dalam disertasi Dr. Noehardi Magetsari (2000) disebutkan bahwa Borobudur sesungguhnya adalah sebuah candi yang strukturnya menampilkan tahap-tahap perkembangan pengalaman seorang yogi untuk mencapai titik Kebudhaan di mana perasaan dan pikiran berhenti. Sebutan Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu yang populer di Borobudur juga terdapat dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan.[1]
Sejarah
Menurut penelitian yang pernah dilakukan, kitab Sanghyang Kamahayanikan disusun antara tahun 929-947 Masehi oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Jawa Timur, yaitu penerus Kerajaan Mataram yang bergeser ke Jawa Timur. Naskah tertua Sanghyang Kamahayanikan ditemukan di pulau Lombok pada tahun 1900 Masehi yang kemudian dibahas oleh Profesor Yunboll pada tahun 1908 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh J.deKatt pada tahun 1940. Setelah itu, naskah tersebut diteliti lagi oleh Profesor Wuff dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa. Proses penerjemahan terakhir dilakukan oleh "Tim Penerjemah Kitab Suci Agama Buddha Ditura Buddha", Ditjen BimasHindu dan Buddha, Departemen Agama RI.[2]
Isi
Kitab ini isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana (khususnya Tantrayana). Kebanyakan mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.
Menurut dr. DK. Widya, isi kitab Sanghyang Kamahayanikan mengajarkan bagaimana seseorang mencapai Kebuddhaan, yaitu seorang siswa pertama-tama harus melaksanakan Catur Paramita (Empat Paramita), kemudian dijelaskan Paramaguhya dan Mahaguhya. Selain itu, dijelaskan juga falsafah Adwaya yang mengatasi dualisme "ada" dan "tidak ada".[2] Dalam kitab itu terdapat uraian yang sangat rinci bagaimana seorang yogi penganut Tantrayana menyiapkan diri di jalan spiritual, mulai fase pembaiatan hingga pelaksanaan peribadatan yang bertingkat-tingkat. Di situ disebutkan bahwa ajaran Tantrayana adalah laku meditasi terhadap Panca Tathagata. Dengan memuja mereka, seorang yogi dapat mencapai kesucian pikiran.[1]
Namun, sebagian besar penganut Buddha masih belum mengenal dan memperlajari kitab ini karena Sanghyang Kamahayanikan ditulis dalam bahasa sastra (penuh metafora) sehingga diperlukan kemampuan lebih serta bimbingan guru supaya tidak salah dalam mempelajarinya. Sebagai kitab beraliran Mahayana-Tantrayana, Sang Hyang Kamahayanikan menempatkan mantra-mantra dan diagram serta mudra dalam posisi sentral sebagai bentuk formula rahasia yang bersifat mistis.[1]
Kitab Sanghyang Kamahayanikan juga menjelaskan waktu dalam tiga jenis, yaitu waktu lampau (atīta), waktu kini (wartamana), dan waktu yang akan datang (anagata). Masing-masing waktu selalu terdapat Buddha: masa lalu terdapat Bhatara Wipaçye, Wiçwabhu, Krakucchanda, Kanakamuni, dan Kāçyapa; masa sekarang adalah Sakyamuni; sedangkan Buddha yang akan lahir pada masa datang adalah Maitreya atau Samantabhadra. Sang Hyang Kamahayanikan juga menyebutkan bahwa pokok ajaran Buddha adalah kebenaran yang digambarkan seperti lingkaran atau roda, yaitu dharmacakra: roda kebenaran dari sebab akibat, sebab yang satu akan muncul dari akibat yang lain. Gambaran tersebut sangat erat dengan wujud dasar candi Borobudur.[1]
Kultur populer
- Sanghyang Kamahayanikan Award adalah nama penghargaan yang akan menjadi ciri khas penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival. Penghargaan tersebut diberikan kepada tokoh perorangan atau kelompok yang telah berjasa dan memiliki kontribusi besar dalam pengkajian budaya dan sejarah Nusantara baik sejarawan, sastrawan, arkeolog, budayawan, penulis buku berlatar sejarah, dramawan, dalang, rohaniawan, filolog dan sebagainya.[1]
Lihat pula
Referensi
Pranala luar