Ratna Indraswari (24 April 1949 – 28 Maret 2011) merupakan seorang Sastrawan berkebangsaan Indonesia. Dia melahirkan karya sastra secara produktif, walaupun kemampuan fisiknya nyaris tidak berfungsi, kesetiaan berkarya Ratna di dunia sastra ditandai dengan lebih dari 400 karya cerpen dan novel yang dihasilkannya sejak usia remaja hingga akhir hayatnya.
Kehidupan awal
Ratna lahir dari keluarga perantau Minang di Malang dari pasangan suami istri Saleh Ibrahim dan Siti Bidasari binti Arifin.[1]
Kehidupan pribadi
Pada masa kanak-kanak, Ratna menderita penyakit rachitis (radang tulang) yang mengakibatkan kedua kaki dan tangannya tidak berfungsi. Hal inilah yang menyebabkan semenjak berusia 10 tahun Ratna harus menjalani semua aktivitas kehidupannya dengan duduk di atas kursi roda. Namun keterbatasan fisik ini bukan menjadi hambatan baginya untuk mengembangkan kemampuannya dalam menulis. Ratna menulis dengan cara mendiktekan pemikirannya pada para asistennya untuk mengetik.[2]
Karier
Ratna pernah berkuliah di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, tetapi tidak dirampungkannya, ia memilih untuk menekuni dunia penulisan. Dengan perjuangan keterbatasan fisik seperti itulah cerpen dan novelnya lahir, dan memiliki karakter yang sangat khas dengan kewanitaannya.
Dalam perjalanan hidupnya, sebagai difabel, Ratna mengaku pernah mengalami masa-masa yang disebutnya sebagai "kemarahan usia remaja". Ratna sudah menandatangani kontrak dengan sebuah penerbit di Jakarta. Novel tersebut belum berjudul, menggarap romantika dunia aktivis di tengah pergolakan reformasi 1998 [3] yang belum sempat diselesaikannya, karena ajal menjemput.
Kematian
Pada hari Senin, 28 Maret 2011, pukul 09.55 wib, Ratna Indraswari Ibrahim meninggal dunia dalam usia 62 tahun di RSU Dr. Syaiful Anwar, Malang, Jawa Timur, akibat sakit stroke yang kesekian kalinya, komplikasi dengan penyakit jantung dan paru-paru. Jam 13.30 wib, di bawah guyuran hujan, jenazah cerpenis, novelis, budayawan dan aktivis ini dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Samaan, Kelurahan Samaan, Kecamatan Klojen, Kota Malang.[4]
Karya
- Antologi Kado Istimewa (1992)
- Pelajaran Mengarang (1993)
- Lampor (1994)
- Aminah di Suatu Hari, Menjelang Pati (1994)
- Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995)
- Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997)
- Namanya Massa (2000)
- Lakon Di Kota Senja (2002)
- Waktu Nayla (2003)
- Sumi dan Gambarnya (2003)
- Bukan Pinang di Belah Dua (2003)
- Lemah Tanjung (2003)
- Pecinan di Kota Malang (2007)
- Lipstik di Tas Doni (2007)
Penghargaan
Atas peran aktifnya dalam dunia sastra, tercatat beberapa kali Ratna meraih beberapa penghargaan dalam dunia sastra, antara lain, tiga kali berturut-turut cerpennya masuk dalam antologi cerpen pilihan Kompas (1993-1996), cerpen pilihan harian Surabaya Post (1993) serta juara tiga lomba penulisan cerpen dan cerbung majalah Femina (1996-1997). Karyanya juga terpilih masuk dalam Antologi Cerpen Perempuan ASEAN (1996).
Di samping rajin menulis, sejak 1977 Mbak Ratna juga aktif menjadi ketua Yayasan Bhakti Nurani Malang dan Direktur I LSM Entropic Malang (1991). Karena aktivitas sosialnya inilah ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai seminar internasional, seperti Disable People International di Sydney, Australia, (1993), Kongres Internasional Perempuan di Beijing, RRC (1995), Leadership Training MIUSA di Eugene Oregon, Amerika Serikat (1997), Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, Amerika Serikat (1997), serta pernah mendapat predikat Wanita Berprestasi dari Pemerintah RI (1994).
Ada sebuah penghargaan “lucu” yang pernah diterima Ratna dan membuatnya terbahak. Pada tanggal 26 Juni 1996, Ratna mendapat piagam penghargaan yang ditandangani Menteri Negara Peranan Wanita Tutty Alawiyah AS dalam acara “Temu Tokoh Seribu Wajah Wanita Indonesia”. Dalam piagam tertera “prestasi” Ratna, yakni “kepemimpinan dan manajemen peningkatan peran wanita”. Merasa tak berhak menerima penghargaan dengan kriteria tak jelas itu, Ratna lalu mengembalikan piagam penghargaan itu lewat jasa pos ke kantor Menteri Peranan Perempuan di Jakarta.
Ratna sebagai sastrawan
Menulis bagi Ratna hanyalah salah satu kegiatan, tetapi berbuat nyata dan menginspirasi orang lain adalah “tugas besar” yang terus ditunaikannya semasa hidupnya, sekalipun dari atas kursi roda. Salah satunya, pada tahun 2001, Ratna membentuk Forum Kajian Ilmiah Pelangi yang bermarkas di rumahnya, Jl. Diponegoro 3.A Malang. Forum ini mampu menjadi oase, kantong budaya, karena mengakomodasi berbagai elemen masyarakat dalam diskusi beragam persoalan aktual setiap bulannya.
Semasa hidupnya, hampir setiap hari, khususnya pada siang hari, rumah Ratna selalu dikunjungi tamu dari berbagai latar belakang. Semuanya disambut dengan ramah, meskipun ia harus menghentikan sementara proses penulisan cerpen atau novelnya. Ratna menyebut kunjungan tamu-tamu ini sebagai 'gangguan yang indah".
Dari dialog dengan para tamu, anak-anak muda, pasangan suami-istri, membaca koran, majalah, buku, dan lain-lain, lahirlah ide-ide untuk menulis cerpen. Menurut Ratna, ide bisa diperoleh dari mana saja, tetapi tetap harus ada usaha untuk menemukannya. Setelah gagasan itu matang, mulailah Ratna menulis. Lebih tepat: mendiktekan kalimat demi kalimat kepada asisten pribadinya. Biasanya tidak butuh waktu lama bagi Ratna untuk melahirkan sebuah cerpen.
Dalam karya-karyanya, seluruh tokoh protagonis dalam cerpen Ratna adalah perempuan. Tokoh-tokohnya tak terbatas pada kaum marginal, tetapi wanita-wanita dari segala kelas. Tampak jelas Ratna adalah seorang pembela kaum perempuan. Namun tidak hanya tema pembelaan kaum perempuan yang ditulisnya, novel Lemah Tanjung merupakan karya pembelaan Ratna kepada lingkungan hidup.[5]
Novel yang ditulisnya dalam waktu dua tahun ini boleh dikata merupakan karya Ratna yang paling komplet. Pergulatan batin dan emosinya begitu kental, pergolakan liku-liku hidup, cinta, kesadaran sejarah, dan napas perlawanan dalam novel Lemah Tanjung sedemikian kuat dan gampang terbaca.
Novel yang diterbitkan pada 2003 ditulis berdasarkan kisah nyata. Warga Kota Malang mengenal Lemah Tanjung yaitu lahan bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) seluas 28,5 hektare, yang juga merupakan hutan kota. Hutan Lemah Tanjung saat itu menjadi satu-satunya paru-paru kota yang tersisa, sekaligus menjadi buffer zone Kota Malang. Di dalamnya terdapat hutan heterogen, kebun kopi, kakao, sawit, ladang jagung, hamparan sawah, pun lapangan rumput terbuka. Hidup pula sedikitnya 128 spesies tanaman, yang beberapa di antaranya belum teridentifikasi dan menjadi tempat bernaung tak kurang dari 36 spesies burung langka.
Rencana pengalihan fungsi hutan kota APP menjadi perumahan mewah ditentang banyak kalangan, terutama warga setempat, akademisi dan aktivis lingkungan. Dalam pembelaannya terhadap APP, Ratna tidak saja berperan sebagai sastrawan, tetapi juga bertindak sebagai aktivis tulen, ia turut terlibat aktif dalam berbagai diskusi dan unjuk rasa menentang pengalihan fungsi hutan kota menjadi perumahan mewah tersebut.
Ratna menulis novel Lemah Tanjung sebagai doku-drama dari bahan yang otentik karena ia sendiri terlibat dalam aksi-aksi perjuangan penolakan penggusuran. Rapat para demonstran dan aktivis melawan penggusuran APP Tanjung pada tahun 1999 juga tak jarang dilakukan di rumah Ratna. Ratna benar-benar mendedikasikan novel Lemah Tanjung tersebut bagi warga yang menentang pembangunan perumahan mewah di atas lahan hutan kota APP. Novel Lemah Tanjung yang sempat pula diangkat sebagai cerita bersambung di harian Jawa Pos. Demikianlah perjuangan Ratna untuk APP yang secara totalitas dilakukannya dengan segala keterbatasannya beraktivitas di atas kursi roda.
Referensi
Pranala luar