Pulau Rote, juga disebut Pulau Roti, adalah sebuah pulau dalam kepulauan Rote di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kepulauan Rote merupakan wilayah paling selatan Indonesia.[2] Pulau ini terkenal dengan kekhasan budidaya lontar, wisata alam pantai, musik sasando, dan topi adat Ti’i Langga.[3] Rote beserta pulau-pulau kecil dalam kepulauan Rote disekitarnya berstatus sebagai kabupaten dengan nama Kabupaten Rote Ndao melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002.[4]
Geografi
Kepulauan
Pulau Rote termasuk ke dalam Kepulauan Rote yang terdiri atas 96 pulau, 6 di antaranya berpenghuni. Wilayah ini beriklim kering yang dipengaruhi angin muson dan musim hujan relatif pendek (3-4 bulan). Bagian utara dan selatan berupa pantai dengan dataran rendah, sementara bagian tengah merupakan lembah dan perbukitan.
pulau ini dapat dikelilingi dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Transportasi
Dari Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur, daerah ini bisa dicapai dengan angkutan laut maupun pesawat terbang. Lalu lintas barang dan jasa umumnya mengandalkan kapal feri yang setiap hari melayani rute Kupang-Pantai Baru sekitar empat jam atau dengan kapal cepat rute Kupang ke Baa sekitar dua jam. Hanya saja jalur ini terkadang terhalang cuaca buruk. Rute lain dilayani oleh perahu dan kapal motor dari pelayaran rakyat (Pelra), seperti Papela (Rote Timur), Oelaba (Rote Barat Laut), Batutua (Rote Barat Daya), dan Ndao (Pulau Ndao). Jalur udara sekarang telah dilayani sehari sekali dari Kupang ke Baa.
Sejarah
Beberapa raja Rote yang terekam dalam sejarah adalah raja Tou Dengga Lilo. Moyang Tou dengga Lilo berasal dari Bula Kay, dengan urutan keturunan: Bula Kay memperanakan Loma Bula, Loma Bula memperanakan Ou Loma, Ou Loma memperanakan Kadau Ou, Kadau Ou memperanakan Kasu Kadau, Kasu Kadau memperanakan Doitama Kasu, Doitama Kasu memperanakan Tou Dengga Lilo.
Tou Dengga Lilo dinobatkan sebagai Raja Baa dan kekuasaannya meliputi Rote Baa pada zaman penjajahan Portugis dan kolonial Belanda.
Tou Dengga Lilo memperanakkan Nduk dan Bulakh. Dari keturunan Nduk inilah maka muncul marga-marga suku Ene, diantaranya Panie, Dae Panie, Fola Panie, Foeh, Detaq, dan lain-lain.
Raja Baa yang terakhir tercatat dalam sejarah adalah Ishak Dae Panie yang kemudian diserahkan kepada Paulus Dae Panie sebagai raja Baa yang terakhir, karena raja-raja pada saat itu dijadikan pegawai negeri sipil, yang mana pegawai negeri sipil tidak boleh menjabat sebagai raja.
Pertanian
Peran tanaman pangan 18,22% dari total pertanian yang menyumbang setengah kegiatan ekonomi, sementara peternakan 17,48% dan perikanan 12,22%. Dari 53.986 orang usia 15 tahun ke atas yang bekerja, mereka yang berkegiatan di pertanian tanaman pangan paling tinggi (62,46%) — terutama di Lobalain dan Rote Barat Laut — sedangkan perikanan meyumbang 5,74% dan peternakan 2,14%.
Luas lahan sekitar 53.797 hektaree, 13.000 di antaranya sawah irigasi untuk padi gogo rancah. Produksi per hektare 4-5 ton atau rata-rata 23.697 ton per tahun. Di luar padi, tanaman yang cukup penting nilainya adalah kacang tanah biji besar yang berkadar kolesterol rendah, bawang merah, semangka, lombok, jagung, dan sorgum. Sebagian besar dihasilkan di Rote Barat Daya, Rote Barat Laut, Rote Timur, dan Pantai Baru.
Komoditas lain
Komoditas lain yang terkenal adalah lontar, kelapa, dan jambu mete. Dengan lahan sekitar 82.000 ha, dihasilkan gula rata-rata 200 ton per tahun. Penduduk biasanya mengolah nira lontar menjadi gula lempeng, gula semut, gula air, dan sopi. Sopi adalah minuman khas Rote Ndao yang merupakan fermentasi nira dan mengandung alkohol tinggi. Jika diolah lebih lanjut, hasilnya bisa dipakai alkohol medik.
Peternakan
Di balik keterpencilannya, Rote memiliki lahan penggembalaan ternak. Sampai sekarang padang penggembalaan yang dimanfaatkan 20.512 ha atau sekitar 16% dari luas wilayah. Ini belum termasuk 40.000-an ha lahan tidur yang bisa dipakai untuk kegiatan itu. Sebagian besar merupakan padang rumput alam, terutama jenis andropogon, sedang pada lahan tidur merupakan rumput alam dan lahan kering dengan vegetasi semak belukar.
Sapi, kerbau, dan kuda banyak diternakkan di Rote Timur, Rote Tengah, dan Rote Barat Laut. Sampai tahun lalu, populasi sapi 19.277 ekor, kerbau 10.524 ekor, dan kuda 4.095 ekor. Ketiganya menjadi komoditas yang dijual ke Jakarta dan Makassar melalui Kupang. Hingga Februari 2004, "ekspor" sapi potong 1.336 ekor, kerbau 1.000 ekor, dan kuda 350 ekor. Untuk pasar Jawa, kuda diperlukan untuk hewan penarik, sedang di Makassar sebagai kuda beban di daerah yang belum terjangkau transportasi darat.
Beternak merupakan tradisi orang Rote sejak dulu. Sistem pemeliharaan pun masih tradisional, dilepas bebas di alam terbuka dan dikandangkan kalau ada keperluan. Sebagai daerah peternakan, keperluan daging pasar lokal sudah terpenuhi. Sebelum lepas dari kabupaten induk yakni Kabupaten Kupang, daerah ini merupakan penghasil tingkat provinsi.
Komoditas ternak rupanya mengalami sejumlah masalah. Selain pola pemeliharaan, kondisi alam membuat suplai pakan dan air pada musim kemarau menurun. Umumnya sungai ada di bagian yang rendah. Debit air di musim kemarau amat kecil, bahkan banyak yang kering karena daerah tangkapan air (hulu) sungai tidak berhutan. Kendala lainnya adalah kerugian akibat wabah penyakit hewan seperti septihemia epizootica (SE) yang menyerang sapi dan kerbau dan hog cholera pada babi. Dikarenakan banyak jalan yang belum diaspal, biaya transportasi dari kecamatan ke pelabuhan menjadi tinggi. Di sisi lain, angkutan laut (untuk ternak) ke Kupang hanya mengandalkan kapal feri. Selain itu, pencurian, modal peternak yang terbatas, dan ancaman rumput belalang serta acasia nilotika (yang mematikan rumput alam) juga menjadi masalah.