Pulau Fani adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudra Pasifik dan berbatasan dengan negara Palau. Pulau Fani ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Raja Ampat, provinsi Papua Barat Daya.[1] Pulau ini berada di sebelah utara dari Kota Sorong dengan koordinat 1° 4′28″ LU, 131° 16′49″ BT.
Letak
Pulau Fani terletak di koordinat 01° 04’ 28,02’’ LU – 131° 15’ 49,04’’ BT berada di perbatasan Indonesia dengan negara Palau. Pulau Fani mempunyai panjang 4400 meter dan lebar 500 meter dan banyak ditumbuhi oleh pohon kelapa, sukun, keladi, dan pohon-pohon karang. Air tawar cukup mudah ditemui, di sekeliling pulau dapat dengan mudah ditemukan air tawar dengan cara menggali sumur sedalam 2 meter. Namun di pulau tidak ditemui sungai maupun ketinggian. Daratan pulau Fani merupakan tanah berkarang di mana karang lebih dominan dari tanah. Tidak dijumpai sungai, goa atau dataran tinggi. Terdapat dua tanjung yang mengarah ke timur.
Pulau Fani terletak di Samudra Pasifik yang berbatasan dengan laut, dengan batas-batas:
- Sebelah Utara : Negara Republik Palau
- Sebelah Selatan : Pulau Igi, Pulau Miaren, dan Kepulauan Ayau
- Sebelah Timur : Kepulauan Maphia
- Sebelah Barat : Kepulauan Halmahera
Kependudukan
Penduduk yang ada di pulau Fani pada umumnya penduduk pendatang yang tidak menetap. Mereka berasal dari masyarakat Reni dan Rutum. Untuk data terbaru penduduk musiman yang ada jumlahnya ada 11 KK. Jumlah kedatangan mereka tidak menentu dan tidak bersamaan antar pulau. Di antara masyarakat pendatang musiman tersebut terdiri dari berbagai suku di mana setiap suku merasa berhak atas pulau tersebut. Kadang-kadang sesama mereka berebut lahan untuk lahan berkebun. Bahasa yang mereka pakai sehari hari mengunakan bahasa Papua namun mereka lancar menggunakan bahasa Indonesia. Kedatangan mereka tergantung kondisi cuaca. Mayoritas agama yang mereka anut adalah kristen. Kehidupan sosial sesama mayarakat sangat bagus di mana saling menghormati sesama pemeluk agama, baik dengan masyarakat pendatang maupun sesama mereka. Masyarakat masih memegang teguh pelestarian adat istiadat dan kebudayaan setempat.
Budaya
Kehidupan sosial masyarakat pendatang musiman yang ada di Pulau Fani tidak jauh berbeda dengan yang ada di kampung Reni dan kampung Rutum karena berasal dari Distrik Reni Rutum dan pada umumnya masih memegang adat istiadat yang ada, Kepercayaan umum penduduk pendatang Pulau fani adalah roh halus nenek moyang, mahluk halus suwanggi, dongeng gaib, sumpah-sumpah dan nujum, binatang-binatang setempat tertentu dapat mempengaruhinya karena di anggap suci seperti, keong biawak, dan kuskus. Contoh memancing menggunakan keong, menangkap kuskus/biawak akan mendatangkan cuaca buruk. Merusak atau menebang pohon kelapa tanpa izin kepala adat akan didatangi roh penunggu pulau.
Tingkat kepatuhan dan loyalitas masyarakat terhadap pimpinan adat dan pimpinan agama sangat tinggi dan bahkan sering mengalahkan kepatuhan dan loyalitas masyarakat kepada aparat pemerintah sehingga sering terjadi dalam penyelesaian permasalahan selalu mengedepankan hukum adat daripada hukum positif.
Sesama masyarakat masih sering terjadi berebut lahan untuk berkebun di mana salah satu dari keturunan Marga mereka merasa sebagai orang pertama yang berhak atas pulau tersebut Suku yang mendiami pulau Fani merupakan bagian dari suku di Pulau Reni Rutum yaitu: Dimara, Mayor, Mirino, Mambrasar, Wafdarum, Wanma, Fakdawer, dan Arfan.
Bahasa
Bahasa yang digunakan di Pulau pada umumnya bahasa Indonesia. Bahasa daerah tiap kampung berbeda dialek dan variasinya, sehingga dimengerti oleh satu suku atau satu kampung saja.Bahasa daerah yang lebih mudah untuk di pelajari karena sudah mempunyai tata bahasa dan dapat di terapkan dalam kamus yaitu Bahasa daerah Yapen waropen
Agama
Kerukunan beragama bagi masyarakat di Pulau Fani yang beragama Kristen cukup baik dengan pendatang Personel yang beragama islam. Terdapat 3 tempat peribadatan gereja terbuka dan 1 mushola.
Sarana
Kesehatan didukung Marinir terdiri 2 orang tenaga kesehatan yang selain melayani anggota satgas juga memberikan pengobatan secara Cuma-Cuma terhadap penduduk fani. Mata pencaharian penduduk pulau fani adalah pada malam hari mencari teripang, ikan ikan karang dan pada siang hari mencari kopra dan membuat minyak kelapa. Terdapat Sarana penerangan ( Central Listrik Solar Cell ) berkekuatan 3000 Watt / 220 volt yang mampu menyuplay listrik kampung reni, rutum sampai pos Marinir. Sarana Komunikasidi Pulau fani belum terdapat sarana komunikasi, masyarakat sekitar hanya mengandalkan informasi dari personel marinir atau yang menggunakan sarana komunikasi melalui radio.
Kerawanan
Pembalakan
Pelaksanaan operasi Hutan Lestari yang dilaksanakan secara rutin di wilayah Raja Ampat mengakibatkan penurunan kegiatan illegal logging secara signifikan. Adanya keinginan masyarakat agar Pemerintah memperhatikan dan memperjelas status kayu non police line yang masih banyak di sejumlah tempat seperti di daerah Kab. Sorong Selatan dan Kab. Teluk Bintuni Kab Raja ampat
Pencemaran laut
Dengan adanya beberapa perusahaan pertambangan nikel di Pulau Gag, Pulau Kawei dan Manuran Kepulauan Waigeo Utara berpotensi menimbulkan pencemaran laut karena pada umumnya perusahaan tersebut belum mempunyai sarana pelabuhan yang memadai yang bisa berimbas sampai ke pulau Fani
Penyelundupan
Kepulauan Fani yang berada di perbatasan dengan negara tetangga Palau mempunyai potensi terjadinya penyelundupan namun karena kondisi sosial dan ekonomi di wilayah perbatasan Pulau Fani dan Kepulauan Ayau Raja Ampat kurang menguntungkan sehingga indikasi terhadap kegiatan ini belum terlihat.
Survei illegal
Wilayah Raja Ampat Khususnya Kepulauan Fani yang mempunyai sumber daya laut yang melimpah seperti keanekaragaman hayati bawah laut tentunya menarik minat para peneliti untuk melakukan kegiatan survei termasuk survei illegal.
Pelanggaran wilayah
Pelanggaran wilayah kegiatan illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan dari Philipina dan negara Palau
Pengrusakan sumber daya laut
Illegal fishing pada umumnya kegiatan illegal fishing dilakukan oleh nelayan asing dari Philipina. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (handak) yang dilakukan oleh oknum-oknum pelaku yang berasal dari Pulau Ram/Buaya dan nelayan yang berasal dari Buton Sulawesi Tenggara. Bahan pembuat bom yaitu “pupuk urea” didapatkan dari nelayan-nelayan dari Sulawesi Tenggara. Masih adanya kegiatan penangkapan ikan hidup jenis Napoleon (Maming) dan Kerapu(Garopa) yang diduga menggunakan potasium yang dilakukan oleh kapal-kapal dari luar wilayah Sorong dan Raja Ampat .
Aksesibilitas
Akses menuju Pulau Fani dapat melalui jalur laut. Penyewaan perahu motor menuju Pulau Fani bisa dilakukan di Kabupaten Sorong. Waktu tembuh menuju Pulau Fani dari Kabupaten Sorong sekitar 6-12 jam tergantung kecepatan perahu motor.[2]
Status pulau
Pada 2 Maret 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan Pulau Fani bersama 110 pulau kecil lainnya sebagai pulau berstatus pulau-pulau kecil terluar. Status pulau tersebut tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar.[3]
Lihat pula
Referensi
- ^ Geospasial, Badan Informasi. "Data Detail Toponim: Pulau Fani". Sistem Informasi Nama Rupabumi. Diakses tanggal 2023-01-27.
- ^ "Pulau FANI". www.ppk-kp3k.kkp.go.id. Diakses tanggal 2023-01-27.
- ^ "111 Pulau Ini Ditetapkan Presiden Jokowi Sebagai Pulau-Pulau Kecil Terluar". Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 2017-03-07. Diakses tanggal 2023-01-27.