Prabu Tawangalun II

Prabu Tawangalun II atau Kangjeng Susuhunan Prabu Agung Tawangalun II lahir di Balambangan dengan nama Mas Raka Sanepa atau Raden Mas Kembar. Prabu Tawangalun II adalah raja terbesar di Kerajaan Blambangan yang pernah dua kali berkuasa yakni antara tahun 1649-1652 dan antara tahun 1655-1691.

Nama beliau nunggak semi dengan nama sang ayah, Menak Seruyu, yang juga disebut sebagai Prabu Tawangalun Nyakra atau Tawangalun I, yang berkuasa di Kuthadawung (Kedawung, di Paleran Umbulsari, Jember) sebagai raja Balambangan ke-7 yang berkuasa antara tahun 1633-1647.

Asal usul dan Silsilah

Menurut Babad Sembar, penguasa pertama Blambangan adalah Mas Sembar dengan ibukota daerah Semboro (di Jember), suatu daerah di sebelah timur wilayah ayahnya, Lembu Miruda (di Tepasana Lumajang).

Menjelang awal abad ke-15, pada tahun 1489, putra Mas Sembar yang bernama Bima Koncar telah meneguhkan dirinya sebagai penguasa Blambangan kedua yang memerintah hingga tahun 1501.

Dari laporan Tome Pires, Bima Koncar memiliki putra bernama Pate Pimtor (Menak Pentor), memerintah antara 1501-1531, yang berhasil memperluas wilayah Blambangan. Di bawah kekuasaan Menak Pentor, Blambangan menjadi kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur.

Pada saat Sultan Trenggana raja ke-3 Kesultanan Demak pada 1546, memperluas wilayah kekuasaannya ke timur, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya, termasuk merebut Pasuruan dan Pajarakan dari tangan Blambangan pada tahun 1545.

Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan mengalami kendala bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu menembus kota Panarukan. Pemimpin Panarukan yang terkenal kala itu bernama Sontoguno.

Setelah Demak mundur, giliran Kerajaan Gelgel dari Bali yang menyerang dan berusaha merebut Blambangan dari tangan Menak Pangseng putra Menak Pentor.

Pada tahun 1597, giliran Blambangan diserang oleh pasukan Pasuruan namun Blambangan dapat mengatasinya. Setelah mengalahkan Pasuruan, terjadi huru-hara di internal Blambangan dan tampillah Menak Pati atau Sang Dipati Lampor dan putranya Menak Lumpat.

Selanjutnya Menak Lumpat digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Singosari atau Menak Seruyu bergelar Prabu Tawangalun I.

Masa Pemerintahan

Pemerintahan Pertama

Pada tahun 1638-1639, Kesultanan Mataram menyerang Blambangan, hingga membuat Prabu Tawangalun I terpaksa melarikan diri ke timur gunung (wilayah Banyuwangi saat ini di daerah Kedawung Sraten, Cluring, Banyuwangi), sedangkan putra mahkotanya, Mas Kembar, menjadi tawanan dan diboyong ke Mataram.

Blambangan dapat bertahan di sebelah timur gunung dan usaha-usaha Mataram melebarkan kekuasaan ke daerah ini tidak pernah berhasil. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan Timur (Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengah. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku.

Di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, pada tahun 1649, Raden Mas Kembar naik tahta sebagai Adipati Miji dengan gelar Pangeran Tawangalun. Sepeninggal Sultan Agung dari Mataram, ketika Mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat Agung (mangkurat I), Prabu Tawangalun II mendeklarasikan kemerdekaan Blambangan ketika menghadiri Pisowanan (tahun 1652) di istana Mataram. Mulai sejak saat itu Blambangan adalah wilayah yang merdeka. Sepulangnya ke Blambangan dia menyandang gelar sebagai Susuhunan Macanputih untuk menegaskan bahwa tahtanya sederajat dengan tahta Susuhunan Mataram.

Pemerintahan Kedua

Karena bersitegang dengan Patih-nya yakni Mas Wila yang tak lain adalah adiknya sendiri,[1] Pangeran Tawangalun kemudian mengalah dan bertapa di Pangabekten di kaki Gunung Bayu (Gunung Raung). dimana dia kemudian bertemu seekor Harimau putih yang menunjukkannya tempat untuk membangun pusat pemerintahan yang baru di Alas Sudimara (kini daerah Macanputih, Kabat, Banyuwangi). Di lokasi tersebut dia membangun Kota Macanputih selama lima tahun sepuluh bulan.

Pada tahun 1659, adiknya yang waktu itu menjadi raja Kedawung, Mas Wilabrata, menyerang Macanputih namun dapat dipukul mundur dengan kemenangan di pihak Macanputih. Sejak itu Kedawung dan Macanputih disatukan kembali dan Ibukota Kerajaan Blambangan dipindahkan dari Kedhawung ke Macanputih. Prabu Tawangalun II berkuasa kembali sebagai raja Blambangan antara tahun 1655-1691.

Kepahlawanan

Menengahi Konflik di Bali

Tahun 1651, Patih Gelgel yang bernama Patih Agung Kryan Maruti merebut tahta Kerajaan Gelgel dari tangan Dewa Agung Segening (Dalem Seganing) dan sempat berkuasa sebagai raja Gelgel bergelar I Gusti Agung Maruti (1651-1687). Selanjutnya putra Dalem Seganing yang bernama Dewa Agung Jambe dari Sidemen, Karangasem merebut kembali haknya dari tangan I Gusti Agung Maruti.

Di sini kemudian Kangjeng Suhunan Tawangalun II tampil sebagai penengah untuk mendamaikan kedua belah pihak. Setelah berdamai, Pangeran Dewa Agung Jambe mendirikan istana baru di Semarapura dan sejak itu berdirilah Kerajaan Klungkung. Dewa Agung Jambe menjadi raja pertama dengan gelar I Dewa Agung Jambe (1687-1700).

Putra-putra dari I Gusti Agung Maruti kemudian mengungsi ke desa Jimbaran. Mereka bernama I Gusti Agung Putu Agung dan I Gusti Agung Made Agung, keduanya menjadi penguasa di desa Jimbaran dan mendirikan Kerajaan Mengwi dan Pura Taman Ayun. Tahta pertama dipegang oleh I Gusti Agung Made Agung dengan gelar I Gusti Agung Bima Sakti. Sedangkan I Gusti Agung Putu Agung memilih menjadi seorang petapa (selanjutnya mendirikan Kerajaan Kuramas (lihat Puri Gede Keramas).

Membantu Pangeran Trunajaya

Selanjutnya Kangjeng Suhunan Tawangalun II membantu Raden Trunajaya dan Karaeng Galesong melawan Mangkurat Agung (Amangkurat I). Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Trunajaya (atau Perang Trunajaya, juga dieja Pemberontakan Trunojoyo) karena dipimpin oleh bangsawan Madura, Raden Trunajaya, dan sekutunya, pasukan dari Makassar, melawan Kesultanan Mataram yang dibantu oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Jawa pada dekade 1670-an.

Perang ini berawal dengan kemenangan pihak Pangeran Trunajaya dan sekutu-sekutunya. Pasukan Trunajaya mengalahkan pasukan Mataram di Gegodog (1676), lalu berhasil menduduki hampir seluruh pantai utara Jawa dan merebut keraton Mataram di Keraton Plered (1677).

Dalam Perang Trunajaya tersebut Kerajaan Blambangan yang berada di pihak Trunajaya berhasil merebut kembali daerah-daerah kekuasaannya dari tangan Mataram. Di bawah pemerintahan Kangjeng Suhunan Tawangalun II, kerajaan Blambangan maju dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu dari Banyuwangi, hingga ke Kediri.

Perang Saudara Keturunan Prabu Tawangalun II

Ketika Kangjeng Sunan Tawang Alun II wafat tahun 1691, putra tertuanya yang bernama Pangeran Senapati Sasranagara tampil menjadi raja tanpa bermusyawarah dengan adik-adiknya. Karena itu kemudian terjadi huru-hara perang saudara sehingga Sunan Macanputih II itu gugur dan tampillah adiknya yang bernama Pangeran Arya Keta/Macanagara dan Pangeran Mas Macanapura.

Setelah berkuasa selama dua tahun (1691-1692), raja kembar ini berperang lagi saling mengalahkan hingga kemenangan diraih oleh Pangeran Mas Macanapura yang dapat berkuasa selama tujuh tahun (1691-1697), dengan gelar bergelar Pangeran Pati I.

Pada tahun 1697, Pangeran Pati I dikalahkan oleh putra Pangeran Senapati Sasranagara yang bernama Pangeran Mas Purba. Pangeran muda ini sebelumnya mengungsi ke Pasuruan dalam perlindungan Untung Suropati. Setelah berhasil merebut tahta, dia bergelar Prabu Danureja atau Pangeran Pati II (1697-1736). Perang saudara setelah meninggalnya Kangjeng Sunan Tawang Alun II, membuat kedaton Macanputih rusak.

Keturunan Prabu Tawangalun II

Kangjeng Suhunan Prabu Tawang Alun II, memiliki 2 orang istri utama dan beberapa orang selir, sehingga keturunannya menjadi beberapa cabang garis keturunan. Di antaranya adalah;

Kangjeng Susuhunan Prabu Tawang Alun II, memiliki putra putri dari Mas Ayu Rangdyah (Ratu Kulon, dari Mataram), berputra:

  • Pangeran Adipati Mas Macanapura/Pangeran Pati I

Kangjeng Susuhunan Prabu Tawang Alun II, memiliki putra putri dari Sekardewi Irawuni (Ratu Wetan, dari Blater-Blambangan) menurunkan:

  • Pangeran Senapati Sasranagara (Pangeran Dipati Rayi), menurunkan:
    • Pangeran Putra/Mas Purba (Prabu Danureja), menurunkan:
      • Pangeran Mas Noyang (Prabu Danuningrat), menurunkan:
        • Mas Jelei/Jali (Mas Anom Sutajiwa)
      • Pangeran Putra II (Wong Agung Wilis), menurunkan:
        • Dalem Puger (Mas Surawijaya)
  • Pangeran Arya Keta (Macanagara)
  • Pangeran Arya Kertanegara
  • Pangeran Arya Gajah Binarong


Dari para selir menurunkan:

  • Mas Dalem Jurang Mangun
  • Mas Dalem Puger, Ki Janingrat (Jayaningrat)
  • Mas Dalem Wiroguno, menurunkan:
  • Mas Dalem Wiroluko
  • Mas Dalem Wiroludro
  • Mas Dalem Wilokromo
  • Mas Dalem Wilo Atmojo
  • Mas Dalem Wiroyudo
  • Mas Dalem Wilotulis

Referensi

  • I Made Sudjana, Nagari tawon madu: sejarah politik Blambangan abad XVIII blambangan&hl=id&source=gbs similarbooks, Larasan-Sejarah, 2001, ISBN 978-979-96250-0-7
  • M. Hidayat Aji Ramawidi, Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi, 2022, ISBN 978-623-978-422-5
  • Purwasastra, Babad Wilis,Wilis.html?id=3LotAAAAMAAJ&redir esc=y Naskah dan Dokumen Nusantara: Textes et Documents Nousantariens, I.pp. lxxxviii, 393, 9 pl., map. Jakarta, Bandung, Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh: École Française d'Extrême-Orient, 1980.
  • Samsubur, Sejarah Kerajaan Blambangan, 2011, ISBN 979-722-356-6
  • Sri Margana, Java's last Frontier, Universiteit Leiden
  • Winarsih Arifin, Babad Sembar: chroniques de l'est javanais, Presses de l'École française d'Extrême-Orient, 1995, ISBN 978-2-85539-777-1
  • Winarsih Arifin, Babad Blambangan, 1995, ISBN 979-8793-11-1
  • https://balambangan.id/prabu-tawangalun/ (Prabu Tawangalun)
  • https://balambangan.id/mengenal-kerajaan-blambangan/ (Mengenal Kerajaan Blambangan)
  1. ^ Rahmawanto, Dwi; Pudjiastuti, Titik; Buduroh, Mamlahatun; Setyani, Turita Indah; Raharjo, Rias Antho Rahmi; Mu’jizah, Mu’jizah; Suwargono, Eko (2024-07-01). "Representasi Konflik Masyarakat Jawa Bagian Timur dalam Babad Blambangan". JENTERA: Jurnal Kajian Sastra. 13 (1): 26–42. doi:10.26499/jentera.v13i1.7283. ISSN 2579-8138.