Desa adat Jimbaran pada mulanya merupakan kampung nelayan serta petani. Semenjak di wilayah pantai Jimbaran muncul banyak tempat makan hasil laut (seafood) yang pertama di Bali selatan serta beberapa hotel bertaraf internasional, kini mata pencaharian penduduk lokal lebih ke arah pariwisata.
Sejarah
Desa Adat Jimbaran, berasal dari kata "Jimbar" yang artinya luas. Jika dilihat dari keadeaannya sekarang, sesungguhnya mempunyai kata di atas, karena Desa Adat Jimbaran ini mempunyai wilayah yang sangat luas. Mengenai wilayah ini, selengkapnya dimuat dalam ”Palemahan”. Menurut sejarah, desa Adat Jimbaran, ada yang dimuat dalam Babad Jimbaran yang ditulis dalam Aksara Bali di lontar hingga saat ini masih disungsung di Pura Dukuh Jimbaran. Prasasti yang ditulis diTembaga berada di Griya Satria Denpasar. Juga terdapat prasasti yang berupa lontar dalam bentuk tulisan aksara Bali yang sekarang disimpan di Jeroan Mangku Nyoman Kusuma, diBanjar Tampuagan, Karangasem.[4]
Menurut penduduk setempat, nama Jimbaran beserta nama tempat dan pura di dalamnya memiliki catatan tertulis. Berikut ini merupakan terjemahan bebas dari halaman 12a-17b salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan milik Nyoman Bagia (Jro Mangku Gede di Pura Sarin Bwana):
Pada masa pemerintahan Śri Astasura Ratna Bumi Banten di Bedahulu, selamat sejahtera Negara Bali, sebab ia selalu menjalani tapa berata semadhi sejak kecil, maka itu ia disebut Sri Tapa Hulung, bagaikan Sanghyang Wisnu kenyataan, kuat, dan taat dalam memerintah, itu sebabnya ia diberi sebutan Sri Batu Ireng, juga kakaknya bernama Sri Batu Putih, karena ia selalu menjalani hidup suci, bertempat tinggal di Jimbarwana, menjalani tapa berata semadhi, mencari kebenaran sesungguhnya.
Selanjutnya diceritakan, Sri Batu Putih telah lama berpisah dengan saudaranya, yang menjadi raja di Bedahulu. Setelah lama memegang tahta kerajaan, Sri Batu Ireng ingat dengan kakaknya yang bernama Sri Batu Putih yang ada di Jimbarwana, sebab itu, ia mengikuti jejak perjalanan kakaknya, lantas menuju ke Jimbarwana, tetapi ia berdua sama-sama tidak tahu akan rupa wajahnya, karena terlalu lamanya ia berpisah. Setelah Sri Batu Ireng sampai di puri Sri Batu Putih, bertemu dengan istri Sri Batu Putih, dan langsung menuju dapur, membuka persiapan hidangan untuk Sri Batu Putih, maka Sri Batu Ireng berkata kepada seorang istri, "Ah, Ah, kamu seorang istri, saya bertanya kepadamu, dimana kakakku Sri Batu Putih sekarang, silahkan beritahu aku, karena sudah lama aku tidak bertemu", menjawab sang istri, "baiklah yang baru datang, ia Sri Batu Putih ada di mal (kebun) sedang memeriksa tanaman", baru demikian tanpa berterima kasih, ia Sri Batu Ireng terus menuju kebun, setelah sampai dan melihat-lihat kebun itu, kagum ia dengan tanaman disana, setiap tanaman tumbuh dengan subur, lebat, itu sebabnya, ditempat ia Sri Batu Putih ngastiti Hyang Pramawisesa, bernama Sarining Bwana, karena dari tempat ia memohon muncul Sarin Bwana, begitu ujar ia Sri Batu Ireng, karena tidak ketemu dengan kakaknya di kebun, pastilah ia lewat berlainan arah,
Tidak lama setelah Sri Batu Ireng keluar dari puri, Sri Batu Putih sudah tiba di Purinya, lantas berkata istrinya sambil menangis, memberitahukan tingkah polah sang tamu, tinggi besar, hitam warna kulitnya, acak-acakkan bagaikan seorang raksasa, membuka hidangan baginda di dapur. Demikian diberitahukan oleh sang istri, tak disangka marah besar ia Sri Batu Putih, seraya mengambil Gandawa (busur) dan mencari Sri Batu Ireng, yang disebut raksasa itu, karena pakaiannya urak-urakan datang ke Jimbarwana. Tak berapa lama berkelahi ia berdua, berkelahi habis-habisan, sama-sama tangguh dalam perkelahian, saling seruduk, saling menekan, namun tak ada yang berdarah, karena sama-sama sakti ia berdua, saling kejar, menyelinap ia Sri Batu Ireng, tiba di sungai, mengaso sekejap disana, karena ditebing ia bersembunyi, berkata ia , semoga sungai ini kelak bernama Batumabing, tak begitu lama dikejar oleh Sri Batu Putih, lagi berkelahi tak henti-hentinya, lari ia sang raksasa bersembunyi di goa batu, tak begitu lama datang Sri Batu Putih, lari ia Sri Batu Ireng, berujar Sri Batu Putih, semoga kelak disini dibangun pura bernama Pura Batumagwung, kemudian direbut sang raksasa itu oleh rakyat ia Sri Batu Putih, namun berhasil ia menyelinap, berkata Sri Batu Putih, semoga kelak tempat ini dikemudian hari bersama Sekhang, artinya Sri Batu Ireng direbut oleh rakyatnya Sri Batu Putih Jimbaran, menghilang wajah ia sang danawa namun Sri Batu Putih tidak bisa dihapus, ketahuan wajahnya, berkata ia , semoga kelak ditempat ini dibangun pura bernama Pura Muaya, seketika itu marah ia Sri Batu Ireng, kembali terjadi perang tanding mereka berdua dengan sangat dahsyat sekali, saling pukul dada, sama-sama memakai tipuan, berhamburan tanahnya, sama-sama perkasa sampai lemah lunglai mereka berdua, tak ada yang kalah, sama-sama menyelinap, karena perang tanding itu bagaikan pergumulan sanghyang kala-kali, dikemudian hari semoga tempat ini bernama Kali, setelah dapat bernafas sejenak, ia Sri Batu Putih memerintahkan pasukannya untuk menghadang langkahnya sang raksasa, akhirnya bertemu ia sedang membuka cecepan (tempat tembakau), lagi dikejar raksasa itu berjalan ketengah kabut, lesu berhangsur-hangsur nafasnya naik, setelah ketemu ditempat dimana bersembunyi memijit dan mengusa-usap kakinya, berkata ia Sri Batu Putih, kelak semoga dikemudian hari, tempat menghadang sang raksasa menjadi tempat bernama Tambak, tempat dimana ia membuka tembakau bernama Sesepan, tempat nafas tertatih-tatih bernama Ungah-ungahan, dan tempat mengusap-usap kaki bernama Gaing-gaingan, setelah payah mereka berdua dan duduk ditanah dan berujar salah satunya, berkata Sri Batu Putih,
"Hai kamu raksasa, siapa kamu, dari mana, sakti tak tertandingi, tak bisa dikalahkan kamu, apa maksud kamu datang kemari, kasih tahu aku",
"Om, Om, Om, sang maha sakti, aku bergelar Sri Batu Ireng, dari Bedahulu, datang kemari hendak bertemu kakakku, yang bernama Sri Batu Putih, Om, Om, Om",
"aduh adikku, aku Sri Batu Putih",
seketika itu kaget ia berdua, berpelukan, bergulingan di tanah, karena saking bahagianya ia berdua, dan disambut oleh seluruh pasukan dan rakyatnya, berujarlah ia berdua, semoga kelak disini dibangun pura bernama Ulun Swi, sebagai tonggak pertemuan dengan sanak saudara. Dengan demikian, nama desa Jimbaran berasal dari kata Jimbarwana (hutan luas) karena perkembangan zaman dan sesuai dengan bahasa setempat menjadi Jimbaran.
Sejarah penamaan Jimbaran juga tertuang dalam Prasasti Dhalem Putih Jimbaran. Putra Dhalem Putih yang bernama Dhalem Petak Jingga membangun Pura Ulun Swi, Pura Kahyangan Pangulun Setra, dan Pura Dukuh. Keturunan mereka menjadi Pemangku di parahyangan (tempat suci) tersebut. Isi prasasti sebagaimana diterjemahkan oleh tim (2005:3) adalah sebagai berikut:
Alkisah Sri Ratu Dalem mempunyai dua orang putra masing-masing bernama Dhalem Ireng (Putra Sulung) dan Dhalem Putih (Putra Bungsu). Dalem Putih membangun Pasraman di wilayah telajakan Uluwatu, telah lamanya bermukim dalam Pasraman / Pondok tersebut, tidak disangka-sangka datang seorang yang tidak dikenalnya (Dhalem Ireng) langsung masuk ke dalam pondok menuju tempat hidangan yang telah disiapkan sebelumya serta langsung membuka, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kearah barat laut. Tiada berselang beberapa lama datanglah Dhalem Putih hendak menikmati hidangannya, Dhalem Putih mengetahui bahwa hidangan / makanannya telah dibuka oleh orang yang tidak dikenalnya, lalu Dhalem marah seketika mengambil senjata pusaka dan langsung mencari jejak orang yang dicurigai.
Dhalem Putih dengan segera dapat menjumpai orang tersebut tanpa sepatah katapun langsung menikam / menyerang dengan keris pusaka didada lawannya. Senjata Dhalem Putih tidak mampu mengalahkan, kemudian terjadilah tikam menikam silih berganti, ternyata keduanya sama-sama sakti mandraguna, sama teguhnya serta tidak termakan oleh senjata dalam apapun sehingga dalam perkelahian tersebut tidak ada yang kalah dan menang.
Perkelahian semakin seru, semakin dahsyat sehingga binatang-binatang dalam hutan berkeliaran lari tanpa tujuan. Tak seorangpun mengetahui, akhirnya perkelahian itu berhenti dengan sendirinya karena sama-sama payah dan kemudian dilanjukan dengan pergulatan yang lebih seru. Pada suatu saat, perkelahian berhenti kemudian saling bertanya dan masing-masing menyebutkan nama orang tuanya. Ternyata lahir dari orang tua yang sama atau dengan kata lain mereka bersaudara kandung. Dengan berakhirnya perkelahian tersebut (Dhalem Ireng dengan Dhalem Putih) maka mereka menamakan tempat perkelahian itu “Desa Kali”, yaitu suatu daerah tempat mereka perundingan. Kali merupakan sungai kecil yang saat ini masih ada.
Selanjutnya, Dhalem Ireng tidak disebutkan lagi, digantikan oleh Dhalem Putih yang memegang peranan penting dalam sejarah. Dalam hutan yang luas, Dhalem Putih bermukim sampai ia menurunkan seorang putra yang bernama Petak Jingga, ia menyadari bahwa dalam hutan yang sangat luas hanya tinggal seorang diri tanpa ada penghuni lainnya, sehingga bersamaan dengan kelahiran putranya tersebut, hutan itu diberi nama “Jimbaran” Asal Kata “Jimbar” yang artinya luas, dimana penduduknya tidak ada saat itu. Kemudian ia (Dhalem Putih) menciptakan membangun beberapa parahyangan, antara lain:
Meru Tumpang/Tingkat sebelas yang disebut Pura Ulun Swi, dimana pada waktu itu I Gusti Tegeh Kuri sebagai pemangkunya.
Kahyangan Ulun Setra yang sekarang disebut Pura Dhalem Kahyangan, I Gusti Celuk ditunjuk sebagai pemangkunya.
Meru Tumpang/Tingkat Tiga serta Paibon (kumpulan dadia) yang bernama Pura Dukuh dan Pasek Kusamba sebagai pemangkunya. (Team, 2005:3).
Sumber ketiga terdapat dalam Purana Pura Pucak Kembar disalin oleh I Ketut Sudarsana dalam Bahasa Indonesia berikut:
Sekarang dceritakan Dhalem Ireng dengan segera menuju desa Jimbaran, pada saat yang baik itu ia bertemu dengan hamba sahaja (dayang) Dhalem Sweta, dimana dayang tersebut sedang mempersiapkan santapan yang akan disuguhkan kepada majikannya Dhalem Sweta, dengan melihat santapan tersebut tiada tertahan nafsunya untuk menikmati, maka dengan lahapnya Dhalem Ireng menyantap hidangan tersebut, terkejutlah si dayang yang bernama Ni Pring Gading, lalu bertanya: siapakah gerangan tuan, hamba tidak mengenal tuan sebelumnya, mengapa tuan berani memakan santapan yang akan kami hidangkan untuk tuan hamba Dhalem Sweta, mendengar kata Ni Pring Gading yang demkian itu, mendadak Dhalem Ireng berhenti menyantapnya, lalu ia berhenti menyantapnya, lalu ia bertanya: Hai dayang dimanakah kini berada Dhalem Sweta, ya tuanku ia kini berada di tempat pagagan (ladang padi gaga), demikian jawab si dayang, dengan segera Dhalem Ireng menuju tempat pegagan, namun Dhalem Sweta tidak pula dijumpai, sebab Dhalem Sweta sudah kembali menuju desa Jimbaran, dalam perjalanan pulang ia sempat menyinggahi ladang orang-orang kampung, namun setelah tibanya Dhalem Sweta di istana, dengan sangat hormat dayang Ni Pring Gading humatur, maafkan tuanku Bhatara Dhalem Sweta, ijinkan hamba melaporkan kehadapan duli tuanku, bahwasannya ada seorang yang datang dengan bentuk tubuh besar, tinggi kekar rupanya bagaikan setan, orang tesebut telah berani lancang membuka langsung menyantap santapan tuanku raja, tiada tertahan takut hamba, dan lagi pula orang tersebut menanyakan paduka tuanku raja, mendengar hatur si dayang yang demikian itu, sungguh tiada tertahan murkanya Bhatara Dhalem Sweta dan dengan segera kembali ke tempat pegagan, hal kian sampailah pada tempat pegagan dan bertemu dengan Dhalem Ireng, karena saking emosionalnya pertempuran kedua belah pihak tidak dapat dihindari, perang tandingpun terjadi, sama-sama bersenjata keris, saling tusuk, namun keduanya tidak ada yang terlukai karena sama-sama kebal, karena tiada terkalahkan, akhirnya kedua belah pihak sama-sama kepayahan, dalam pada itu ia berdua saling tegur sapa, siapakah gerangan anda, aku bernama Dhalem Ireng, aku Dhalem Sweta, setelah bertegur sapa, barulah menyadari tentang asal usul dan pesan Ki Lembu Sanghyang Pasupati yang masing-masing membawa senjata yaitu: Dhalem Sweta bersenjatakan Keris Kala Kateggeng, dan Dhalem Ireng bersenjatakan Keris Miring Agung, barulah ia menyadari bahwa yang diajak perang tanding adalah saudaranya sendiri, sehingga suasana berubah dari tegang menjadi terharu, sama-sama menceriterakan pengalaman masing-masing. Akhirnya Dhalem Ireng berkata kepada kakaknya Dhalem Sweta: Ya kakakku Dhalem Sweta, banyak sekali kakanda memberikan nama desa dan yang terakhir kanda berada di desa Jimbaran, sudah seyogianya kanda disebut Dhalem Putih Jimbaran, sekarang ijinkan saya mohon pamit, sayapun juga berniat memberikan nama suatu tempat atau desa yang bercirikan watu, yang merupakan ciri bahwa aku pernah melintasi daerah tersebut. Dan ijinkan adinda menuju kearah utara, kalau demikian baiklah, tetapi kanda mohon tempat kita berperang tadi kita namakan Bukit Kali.
Kelurahan Jimbaran terbagi dalam 12 Banjar adat, yakni:[4]
Banjar Ubung
Banjar Pantai Sari
Banjar Menega
Banjar Pesalakan
Banjar Teba
Banjar Jero Kuta
Banjar Kalanganyar
Banjar Tegal
Banjar Angga Suara
Banjar Perarudan
Banjar Buana Gubug
Banjar Mekar Sari
dan dua banjar dinas, yakni:
Lingkungan Taman Griya
Lingkungan Cenggiling
Tempat ibadah
Parahyangan
Beberapa pura yang ada di kelurahan Jimbaran, antara lain:[4]
Pemerajan/Sanggah, yang merupakan pura keluarga.
Pura Banjar, yang ada di masing-masing bale banjar.
Pura Kahyangan, yang meliputi Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Desa.
Pura Pakideh, Beberapa pura pakideh desa, yaitu pura yang berada di lingkungan desa adat Jimbaran, antara lain:
Pura Kahyangan Jagad Ulun Sui
Pura Parerepan
Pura Gaing Mas, dahulu sebagai tempat pemujaan para petani garam.
Pura Tukad Nangka
Pura Gua Gong
Pura Kayu Sugih
Pura Tegeh Sari
Pura Sarin Buana, sebagai tempat pemujaan oleh para petani.
Pura Batu Maguung
Pura Batu Mejan
Pura Tegal Wangi, sebagai tempat pemujaan oleh para nelayan.
Pura Dalem Segara
Pura Samuaya/Muaya, sebagai tempat untuk melaksanakan Upacara Ngusaba Nini (setiap Purnamaning Kalima)
Selain pura-pura tersebut di atas, ada juga pura-pura yang disungsung oleh warga Desa Adat Jimbaran, tapi pangempon (penanggungjawab) sudah diambil oleh keluarga, menurut dresta sejak dulu. Pura-pura ini ada yang berlokasi di gua-gua dan tegal, yaitu:
Pura Paibon Dukuh di wilayah Banjar Perarudan
Pura Pasambahyangan Gubug di Gubug
Pura Batu Maguwung di Sekaang
Pura Tukad Nangka di Tukad Nangka
Pura Lempinis di Lempinis
Pura Celebingkah di Celebingkah
Pura Tegeh Gumi di Lobok
Pura Dalem Balangan di Balangan
Pura Parerepan stana Ida Bhatara Dewa Ayu
Penduduk
Penduduk kelurahan Jimbaran sampai dengan tahun 2016, sebanyak 50.537 jiwa terdiri dari 25.671 laki-laki dan 24.866 perempuan dengan sex rasio 103. Tingkat kelahiran selama tahun 2016 sebanyak 1.395 jiwa dan kematian 44 jiwa. Tingkat migrasi tahun 2016 tercatat, 105 orang pindah dan 6.546 orang pendatang baru.[1]
Pantai Tegal Wangi (wisata memancing, prewedding foto)
Jimbaran terkenal akan wisata kulinernya, yaitu ikan bakar Jimbaran. Wisata kuliner ini dimulai dari inisiatif perkampungan nelayan di Jimbaran yang menjual ikan hasil tangkapan mereka dalam bentuk ikan yang diasap menggunakan sabut kelapa. Pengasapan membuat ikan menjadi matang sempurna, dibandingkan ikan bakar menggunakan api besar yang sering kali hanya membuat bagian luarnya kering sementara dalamnya masih kurang matang. Ikan asap ini disajikan dengan sambal matah atau sambal yang menggunakan bahan-bahan mentah. Sebelum wisata kuliner ikan bakar Jimbaran dikenal hingga dunia internasional, Pantai Jimbaran awalnya menawarkan wisata air. Para nelayan setempat hanya menjual minuman sambil membawa bekal ikan bakar untuk mereka makan. Namun, ternyata banyak wisatawan yang tertarik untuk ikut mencicipi bekal para penjual minuman tersebut hingga akhirnya muncul ide penduduk setempat untuk membuka warung-warung ikan bakar.
Galeri Foto
Restoran seafood di pantai Jimbaran
Pantai, menghadap selatan
Kapal nelayan berlabuh di Pantai Jimbaran
Hasil tangkapan ikan marlin di pagi hari.
Pantai Jimbaran.
Senja di Pantai Jimbaran.
Suasana makan malam di restoran seafood Pantai Jimbaran