Pernikahan adat Batak Toba

Perkawinan adat Batak Toba adalah salah satu upacara ritual adat Batak Toba. Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan tak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat bersangkutan. Demikian juga keseluruhan rangkaian ritual perkawinan adat Batak Toba mengiyakan pentingnya peran masyarakat, bahkan ia tak dapat dipisahkan dari peran masyarakat itu sendiri.

Ritus Perkawinan Adat

Dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan otonom; diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan. Dengan demikian, tata upacara perkawinan terdiri dari “tata cara penyatuan tetap atau permanen” kedalam lingkungan (sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal.[1]

Berdasarkan jenisnya ritus atau tata cara yang digunakan, perkawinan adat Bata Toba dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan:

  • UNJUK: ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur adat Batak Dalihan Na Tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara ritus perkawinan biasa (unjuk);
  • MANGADATI: ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut memiliki anak; dan
  • PASAHAT SULANG-SULANGNI PAHOMPU: ritus perkawinan yang dilakukan di luar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan bersangkutan mangalus dan ritusnya diadakan setelah memiliki anak.

Fungsi dan Peran Dalam Perkawinan Adat

Kompleksitas upacara perkawinan adat Batak Toba meliputi peran subyek dan objek yang terlibat di dalamnya. Menurut Arnold van Gennep,[2] kompleksitas upacara perkawinan dapat dijelaskan dalam 5 pokok permasalahan, yakni dua jenis kelemain yang berbeda, garis keturunan, keluarga, suku, dan tempat tinggal.

Menurut Arnold, “The collectivities in question are: the two sex groups, sometimes represented by the ushers and bridesmaids, or by the male relatives on one hand and the female relatives on the other; patrilineal or matrilineal descent groups; the families of each spouse in the usual sense of the word, and sometimes families broadly speaking, including all relatives; groups such as a totem clan, fraternity, age group, community of the faithful, occupational association, or caste to which one or both of the young people, their mothers and fathers, or all their relatives belong; the local group (hamlet, village, quarter of a city, plantation, etc).

Uniknya, dalam ritus perkawinan adat Batak Toba, selain kedua mempelai juga dilibatkan seluruh perangkat masyarakat. Perbedaannya, peran-peran dalam rangkaian upacara perkawinan adat Batak Toba selalu terkait dengan tiga kedudukan utama dalam adat: dongan-sabutuha atau dongantubu, hulahula dan boru.

Perkawinan Adat dan Pertukaran Prestasi

Selain pentingnya inisiasi (masa peralihan) dan peran-peran yang terlibat, perkawinan juga menyangkut aspek ekonomi dengan segala macam kepentingan di dalamnya, termasuk dalam hal perencanaan pesta perkawinan yang akan dilaksanakan.

Peranan dasar aspek ekonomi ini, misalnya, tampak jelas dalam

  1. menetapkan jumlah uang sebagai pembayaran, pengembalian pembayaran harga pengantin (sinamot),
  2. pembayaran para pelayanan pengantin selama upacara perkawinan berlangsung, dan seterusnya.

Konsep “pembayaran” dalam perkawinan adapt mencakup “pembayaran” oleh pihak pengantin laki-laki atau kerabatnya kepada ayah atau pemelihara pengantin wanita. Pembayaran ini merupakan bagian utama dari pengesahan perkawinan menurut adat Batak Toba. Bila pertukaran ini sudah sudah terpenuhi, maka perkawinan itu menjadi sah dan keluarga yang baru itu sudah mandiri; dan bila sebaliknya yang terjadi, maka pengantin pria harus membaktikan diri untuk keluarga wanita sampai tuntutan nikah ini terpenuhi (dapat dibandingkan dalam Alkitab tentang Kisah Yakub dan Rahel dalam Kejadian 29:20). Artinya, pengesahan suatu perkawinan mencakup seluruh rangkaian “prestasi”: suatu tindakan membayar apa yang dituntut adat / tuntutan adat untuk membayar sesuatu yang berasal dari usaha atau kemampuan seseorang.

Pertimbangannya adalah jika keluarga, desa, atau suku tertentu kehilangan anggota-anggotanya yang produktif (laki-laki atau perempuan yang akan menikah), sedikitnya haruslah memperoleh “imbalan” dari pihak yang “mendapatkan” mereka. Dalam upacara perkawinan adapt Batak Toba, hal ini dijelaskan dalam tindakan simbolik pembagian makanan, pakaian, perhiasan, dan diatas semuanya itu banyak tata cara yang mencakup “uang tebusan”.

“Tebusan-tebusan” ini selalu terjadi pada waktu bersamaan dengan upacara-upacara perpisahan. Harga mempelai wanita, menurut hukum adat, dimiliki oleh anak perempuan; dan kesepakatan itu ditinjau dari makan bersama, saling mengunjungi di antara keluarga-keluarga, pertukaran hadiah-hadiah yang diberikan oleh para kerabat, sahabat, dan tetangga.

Ciri-ciri Perkawinan Adat Batak Toba

A. Eksogami

Proses perkawinan adat L Batak Toba menganut hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba:

  1. orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto),
  2. perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki.
  3. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki.

Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni

  1. Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan
  2. Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan), dan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak.

Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi apabila tondi mereka tidak bisa lagi hidup rukun (so olo marrongkap tondina) dan itu akan tampak di kemudian hari. Ketidakrukunan ini mungkin akan mengakibatkan terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali mereka sudah melahirkan anak, ikatan antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta semakin kokoh.

Hukum eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan sudah melekat dalam diri setiap orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya tidak mengherankan, apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya.

Hambatan untuk benar-benar mematahkan belenggu eksogami adalah rasa takut akan meledaknya roh para leluhur. Rasa takut itu semakin meningkat oleh munculnya beberapa kasus, yaitu pelanggaran sengaja yang dilakukan oleh beberapa pasangan terhadap larangan marsubang (tabu) yang berakhir buruk bagi para pelakunya.

B. Marsumbang / Marsubang

Yang termasuk pelanggaran, antara lain na tarboan-boan rohana (yang dikuasai oleh nafsu-keinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto (saudara perempuan dari anggota marga sendiri). Selain larangan marsubang, hubungan lain yang tidak diperkenenkan adalah marpadanpadan (kumpul kebo).

Marsumbang baru dibolehkan jika perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan.

Ritusnya adalah sebagai berikut:

  1. gondang mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku.
  2. Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi." (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu).

Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat.

Ritusnya adalah sebagai berikut: Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. Makanan yang dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (panagurasion) terhadap tanah dan penghuninya.

Tahapan Perkawinan Adat Batak Toba

Pemotongan Jambar.
  1. Paranakkon Hata - Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan). Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada ‘suruhan’ pihak laki-laki pada hari itu juga dan pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.
  2. Marhusip - Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan). Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya. Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru-tubu, dan dongan-sahuta.
  3. Marhata Sinamot - Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta. Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman. Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.
  4. Marpudun Saut - Dalam Marpudun saut sudah diputuskan: ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat. Tahapannya sebagai berikut: [1] Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam Paranak Hata, Marhusip, dan marhata sinamot. [2] Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun (disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Itulah yang dimaksud dengan dipudun saut. [3] Setelah semua itu diputuskan dan disahkan oleh pihak paranak dan parboru, maka tahap selanjutnya adalah menyerahkan bohi ni sinamot (uang muka maskawin) kepada parboru sesuai dengan yang dibicarakan. Setelah bohi ni sinamot sampai kepada parboru, barulah diadakan makan bersama dan padalan jambar (pembagian jambar). [4] Dalam marpudun saut tidak ada pembicaraan tawar-menawar sinamot, karena langsung diberitahukan kepada hadirin, kemudian parsinabung parboru mengambil alih pembicaraan. Pariban adalah pihak pertama yang diberi kesempatan untuk berbicara, disusul oleh simandokkon, pamarai, dan terkahir oleh Tulang. Setelah selesai pembicaraan dengan si jalo todoan maka keputusan parboru sudah selesai; selanjutnya keputusan itu disampaikan kepada paranak untuk melaksanakan penyerahan bohi ni sinamot dan bohi ni sijalo todoan. Sisanya akan diserahkan pada puncak acara, yakni pada saat upacara perkawinan nanti.).
  5. Unjuk - Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan, berikut adalah tata geraknya: [1] Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk. Mengenai tempat duduk di dalam upacara perkawinan diuraikan dalam Dalihan Na Tolu. [2] Mempersiapkan makanan: (a) Paranak memberikan Na Margoar Ni Sipanganon dari parjuhut horbo. (b) Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas)
  6. Doa makan
  7. Membagikan Jambar
  8. Marhata adat – yang terdiri dari tanggapan oleh parsinabung ni paranak; dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru; tanggapan parsinabung ni paranak, dan tanggapan parsinabung ni parboru.
  9. Pasahat sinamot dan todoan,
  10. Mangulosi dan Padalan Olopolop.
  11. Tangiang Parujungan - Doa penutup pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.

Referensi

  1. ^ Arnold van Gennep, The Rites of Passage. London & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1965, hlm. 116
  2. ^ Arnold van Gennep, The Rites of Passage. London & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1965, hlm. 117-118

Catatan kaki